NovelToon NovelToon
KAMAR TERLARANG

KAMAR TERLARANG

Status: tamat
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Iblis / Tamat
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
​Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
​Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HARI TERAKHIR

Suara gemerisik kertas dan ketukan pulpen menjadi musik yang mengiringi sore terakhir Aryan di tempat kerjanya selama tiga tahun. Ia duduk di ruang Personalia, di hadapan Bapak Rian yang wajahnya tampak netral, seolah ini adalah rutinitas yang ia jalani setiap bulan. Di atas meja, sebuah amplop tebal berwarna cokelat, berisi hasil perhitungan akhir kerja kerasnya, dan selembar surat pernyataan pelepasan.

​"Ini semua berkas yang kamu butuhkan, Yan," ujar Bapak Rian, mendorong amplop itu perlahan ke hadapan Aryan. "Cek kembali rincian di lembar ini, pastikan angkanya sesuai dengan yang kamu hitung. Pesangon, uang cuti yang belum terambil, semua ada di sana."

​Aryan mengangguk, namun matanya hanya melihat ke kejauhan, menembus dinding ruangan, seolah mencari jawab atas pertanyaan yang bersarang di benaknya: Lalu, ke mana setelah ini? Angka-angka di kertas itu—jumlah uang yang seharusnya memberinya rasa lega—kini terasa seperti beban yang mematikan. Uang ini adalah waktu, dan waktu sedang habis.

​"Terima kasih, Pak," jawab Aryan, suaranya sedikit serak. Ia mengambil pulpen dan dengan tangan yang sedikit bergetar, ia membubuhkan tanda tangan di tempat yang telah ditandai dengan stabilo kuning. Tindakan kecil itu adalah akhir dari satu babak, penutup permanen pada masa lalunya.

​"Kamu punya rencana, Yan?" tanya Bapak Rian, nadanya kini sedikit melunak, keluar dari peran profesionalnya. "Dengar, kamu staf yang baik. Cuma situasi perusahaan memang sedang tidak menentu. Aku berharap kamu segera dapat tempat yang lebih stabil."

​Aryan menarik napas panjang. "Belum ada, Pak. Baru hari ini saya resmi selesai. Tadinya saya pikir akan ada tawaran perpanjangan, setidaknya kontrak jangka pendek. Jujur, saya bingung. Saya sudah kirim beberapa lamaran daring, tapi responsnya nihil. Mungkin saya harus coba yang di luar bidang saya, ya?"

​"Jangan berkecil hati. Coba fokus ke jaringan yang kamu punya dulu. Kalau perlu surat rekomendasi, jangan ragu untuk menghubungi. Aku dan Bu Tati akan senang hati membuatnya," balas Rian. Ia berdiri, mengulurkan tangan. "Sekali lagi, sukses selalu, Yan."

​Jabat tangan itu terasa final. Aryan mengambil tas ranselnya, memasukkan amplop cokelat itu ke saku terdalam, seolah uang itu bisa menghilang jika tidak dijaga. Saat melangkah keluar dari ruangan, ia bertemu pandang dengan Mbak Sarah, rekan satu divisinya. Mbak Sarah menatapnya dengan pandangan campur aduk antara simpati dan rasa syukur karena bukan dia yang berada di posisi Aryan hari itu.

​"Mau langsung pulang, Yan?" bisik Mbak Sarah, menepuk bahu Aryan. "Aku turut sedih, lho. Kamu orang yang paling rajin di sini."

​"Ya, Mbak. Langsung pulang," kata Aryan sambil memaksakan senyum yang terasa tawar. "Mau ke mana lagi? Cari kerja? Sekarang sudah pukul lima. Toko-toko di mal sudah mau tutup, apalagi kantor."

​"Minum kopi sebentar? Biar rileks sebelum mikirin besok," ajak Mbak Sarah.

​Aryan menggeleng pelan. "Enggak usah, Mbak. Saya harus segera ke ATM, mau lihat berapa sisa saldo asli setelah uang ini masuk. Setelah itu, saya harus duduk tenang dan merencanakan pengeluaran bulan depan. Tiap rupiah penting sekarang."

​Mbak Sarah mengerti. "Baiklah. Kabari aku kalau sudah dapat kabar baik, ya. Nomor aku masih yang lama, kan?"

​"Pasti, Mbak. Terima kasih banyak," ujar Aryan. Ia berbalik dan berjalan menuruni tangga. Setiap langkah terasa berat, seolah ia membawa beban seluruh gedung di punggungnya.

​Saat kakinya menyentuh trotoar di luar kantor, keramaian jalan raya ibukota menyambutnya. Bunyi klakson, teriakan pedagang, dan lalu lintas yang padat seolah mengolok-olok keheningan dan kekosongan di hatinya. Aryan mencari bangku kosong di halte yang berjarak dua ratus meter dari gerbang kantor lamanya.

​Ia mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi perbankan, dan melihat angka yang tertera: Saldo tabungannya, ditambah pesangon, hanya cukup untuk bertahan paling lama tiga bulan, dengan asumsi pengeluaran yang sangat ketat. Uang sewa kamar kost harus dibayar minggu depan. Uang makan. Transportasi untuk wawancara.

​Ia menekan tombol panggil. Tujuannya adalah Bima, sahabatnya.

​"Halo, Bim. Kamu sibuk?" tanya Aryan, mencoba menjaga nada suaranya agar terdengar biasa saja.

​Di seberang sana, terdengar suara musik keras. "Sibuk apanya? Baru selesai main futsal. Tumben, Yan. Ada apa?"

​"Enggak, cuma mau bilang... Hari ini hari terakhir aku di kantor yang lama," kata Aryan. Kali ini, ia tidak bisa menyembunyikan getaran dalam suaranya.

​Hening sejenak. "Wah... serius? Jadi, kamu... menganggur sekarang?" tanya Bima, hati-hati.

​"Ya, bisa dibilang begitu," jawab Aryan. Ia menutup mata. Rasa malu dan takut bercampur. "Uangnya memang lumayan, pesangonnya. Tapi, aku enggak tenang. Aku udah kirim puluhan lamaran ke mana-mana, tapi kayaknya enggak ada yang nyangkut. Aku takut, Bim. Takut banget enggak bisa bayar kosan, takut ngerepotin orang tua di kampung."

​"Tenang dulu, Yan. Jangan panik," Bima mencoba menenangkan. "Tiga bulan itu waktu yang cukup. Besok, kita ketemu. Aku bantu cek koneksi. Mungkin ada kenalan Omku yang butuh staf baru. Pokoknya jangan diam. Tapi yang paling penting, malam ini, jangan pikirin itu dulu. Beri dirimu istirahat."

​"Gimana mau istirahat? Aku merasa gagal. Usia dua puluh lima, harusnya udah bisa mapan, atau setidaknya stabil. Aku malah mundur ke nol lagi. Harus mulai dari CV kosong lagi, wawancara lagi," keluh Aryan.

​"Semua orang pernah di posisi itu, Yan," tutup Bima. "Jutaan orang di kota ini juga. Besok pagi, kamu mulai cari. Malam ini, aku telepon kamu lagi. Sekarang, kamu naik angkutan, pulang, dan makan yang enak."

​Aryan mengakhiri panggilan itu, namun kekhawatiran itu tetap berputar-putar di kepalanya. Sambil menatap amplop cokelat di sakunya, ia tahu, hari esok adalah pertarungan baru. Ia harus menemukan pekerjaan apa pun—di hotel, di kafe, di mana saja—sebelum uang itu habis dan ia benar-benar terpuruk. Langkah yang ia ambil dari halte menuju stasiun kereta api terasa membawa harapan, namun juga ketakutan yang mencekik. Ia harus bergerak, dan ia harus segera menentukan arah hidupnya yang baru.

Malam merayap lambat. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan ketika ponsel Aryan bergetar, memecah kesunyian kamar kosnya yang remang-remang. Nama Bima muncul di layar. Itu adalah panggilan yang dijanjikan beberapa jam lalu.

​"Halo, Bim," jawab Aryan, nadanya terdengar sedikit lebih baik setelah sempat tidur sebentar. Ia masih terbaring telungkup di kasur, menatap kosong tumpukan baju kotor.

​"Yan, bagus kamu angkat. Aku tahu kamu lagi galau dan enggak mau diganggu, tapi aku ada ide," suara Bima terdengar bersemangat di seberang sana, jauh berbeda dari kepasrahan Aryan. "Aku lagi di 'Selasar Senja'. Kafe yang baru buka dekat perempatan sana. Kamu datang sekarang. Kita perlu ngomong empat mata di tempat yang lebih netral."

​Aryan mendesah. "Sekarang? Sudah malam, Bim. Aku malas keluar. Aku cuma mau tidur dan bangun besok pagi dengan harapan ada email panggilan kerja."

​"Justru itu! Kamu butuh udara segar. Aku enggak terima kamu cuma di kamar, mikirin nasib sambil natap langit-langit. Buruan ganti baju! Aku tunggu. Ada yang perlu kita bahas serius, dan ini soal perut kamu, Yan." Bima menggunakan nada tegas yang biasa ia pakai saat main futsal dan harus menyusun strategi mendadak.

​Aryan tahu Bima tidak akan menyerah. Setelah beberapa saat bimbang, ia akhirnya berkata, "Oke, oke. Aku datang. Beri aku waktu, satu jam setengah. Aku harus mandi biar kelihatan kayak manusia lagi."

​Bima tertawa lega. "Siap, Bos. Aku pesankan makanan favoritmu, ya. Jangan lama-lama."

​Satu setengah jam kemudian, Aryan tiba di "Selasar Senja". Kafe itu ramai namun nyaman. Musik akustik mengalun pelan, menciptakan suasana yang hangat. Dari ambang pintu, matanya langsung menemukan Bima yang sedang duduk di sudut, diapit dua cangkir kopi mengepul dan sepiring carbonara yang sudah terhidang di meja kecil.

​"Tepat waktu!" sambut Bima, tersenyum lebar. Ia menarik kursi di hadapannya. "Duduk, Yan. Sudah aku siapkan. Ini yang kamu suka, kan? Jangan protes, makan dulu. Kita bahas masa depan setelah perutmu terisi."

​Aryan menjatuhkan diri ke kursi. Ia memperhatikan piring di hadapannya. Perutnya memang lapar, tapi ada perasaan tidak nyaman yang lebih besar daripada rasa lapar itu. Wajahnya jelas menunjukkan kebingungan dan keputusasaan. Dia merasa aneh makan enak saat masa depan finansialnya buram.

​"Makasih, Bim," ujar Aryan pelan. "Tapi, kamu enggak perlu repot begini."

​"Repot apanya? Kita sahabat dari SMP. Makan dan minum. Aku enggak tega lihat mukamu yang udah kayak orang baru diputusin pacar padahal kamu cuma dipecat," canda Bima, berusaha mencairkan suasana. "Aku tahu kamu stres, Yan. Tapi percuma kalau cuma dipendam di kamar. Coba luapkan semua di sini."

​Aryan mengambil garpu, tapi hanya mengaduk-aduk pasta. "Aku enggak tahu, Bim. Aku sudah kirim lamaran ke mana-mana. Semuanya sepi. Aku rasa CV-ku ini kurang keren, atau mungkin nasibku memang lagi apes. Aku bingung harus mulai dari mana lagi."

​Bima menggeser kursinya lebih dekat. "Dengar. Omku pernah bilang, kalau kamu mau dapat pekerjaan yang cepat, jangan cuma bergantung ke portal karier besar. Coba yang namanya aplikasi perekrut online yang khusus pekerja jasa. Dia itu kan butuh staf cepat. Kamu kan sudah pengalaman di administrasi dan front desk."

​Aryan menatap Bima dengan mata skeptis. "Aplikasi? Maksudmu, yang kayak buruh harian itu? Bim, aku lulusan D3, masa harus kerja serabutan begitu? Aku mau kerja yang jelas jenjang kariernya."

​"Siapa bilang serabutan?" tegas Bima, meninggikan suaranya sedikit, namun tetap ramah. "Ini bukan buruh harian, ini platform yang menghubungkan tenaga jasa cepat. Ada banyak hotel baru, apartemen, atau bahkan penginapan besar yang butuh staff dadakan atau kontrak enam bulan. Mereka enggak sempat pasang iklan besar-besaran, mereka pakai aplikasi itu."

​Aryan masih ragu. Ia menghela napas panjang. "Aku enggak yakin, Bim. Rasanya... kayak enggak profesional."

​Bima meletakkan sendoknya. Ia menatap lurus mata sahabatnya. "Aryan. Ini darurat. Kamu bilang uangmu cuma cukup untuk tiga bulan. Kamu tidak punya waktu untuk gengsi. Kamu harus masuk ke sistem apa pun yang bisa memberimu pemasukan. Apa ruginya? Kamu taruh CV-mu di sana, dan kamu tetap cari kerja di tempat yang lebih 'profesional'. Setidaknya, ini jaring pengaman."

​"Maksudmu, aku harus pasang CV-ku di dua tempat?" tanya Aryan.

​"Tentu saja! Kamu harus punya rencana A, B, C, sampai Z. Janji denganku, malam ini juga, setelah kamu pulang dari sini, kamu unggah CV-mu di aplikasi itu. Aku kirimkan tautannya," paksa Bima, seraya mengeluarkan ponselnya. "Aku enggak mau dengar alasan apa pun. Ini jalan cepat. Paham?"

​Ketegasan Bima akhirnya memecah keraguan Aryan. Dia merasa bersalah telah membuat sahabatnya begitu peduli. "Oke, oke. Aku janji. Nanti malam aku unggah," kata Aryan, akhirnya tersenyum tipis.

​"Nah, gitu dong!" Bima menepuk tangan sekali. "Sudah, jangan mikirin itu lagi. Itu urusan nanti malam. Sekarang, fokus ke makananmu. Sambil makan, kita ngobrol yang lain. Gimana kabar kampungmu? Om Tarno masih suka mancing di sungai belakang rumah?"

​Obrolan mereka pun berubah haluan. Mereka larut dalam nostalgia masa lalu, membahas kenangan SMP, guru-guru aneh, hingga lelucon lama. Tawa Aryan mulai terdengar lagi, dan untuk sementara, beban kehilangan pekerjaan itu terangkat. Ia memakan pastanya dengan lahap, menikmati kopi yang hangat, dan malam itu, di bawah temaram lampu kafe, ia menemukan kembali sedikit harapan, meski pekerjaan barunya masih menjadi tanda tanya besar.

1
Nur Bahagia
harus nya lapor ke polisi.. bukan malah mendatangi nyonya lia dan indah
Nur Bahagia
Bima mencurigakan.. jangan2 dia tau tentang rahasia hotel itu🤔
Nur Bahagia
dan mencari masalah 😏
Nur Bahagia
jangan kepoo.. Nanti celaka kamu
Nur Bahagia
proses recruitment rahasia.. mencurigakan
Nur Bahagia
kenapa nunggu nya harus di trotoar.. ga manusiawi bangat 🤨
Nur Bahagia
padahal malah lebih nikmat lho kalo makan langsung dari bungkus nya 🤭
Nur Bahagia
aplikasi apaan kak Thor? 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!