“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05 ~ Seminggu berlalu
Agam Siddiq menjatuhkan tas berisi pakaian sang adik dan keponakannya, bergegas berlari dan memeluk erat tapi tak menyakiti Meutia dari arah belakang.
Hasan menggendong Sabiya dan Intan sekaligus, membawa kedua putri yang menangis itu menjauhi ibu mereka.
“Lepas! Biya mau sama Mamak! Mamak tak jahat, tadi cuma tak sadar saja sudah memeluk kuat-kuat!” Sabiya memberontak, kakinya menendang perut sang paman.
Intan menatap nanar sang ibu yang berusaha menggapainya. Mata sembab itu kembali basah kala melihat derita di depan mata, wanita kesayangannya seolah tak lagi memiliki semangat hidup.
“Kau apa-apaan, Tia?! Mereka itu anakmu dan Ikram!” intonasi suara Agam naik satu oktaf.
Meutia berhenti melawan, tubuhnya kaku seketika. Kesadaran menghantam jiwanya ketika teringat apa yang baru saja dilakukannya kepada Sabiya dan Intan, tangisnya tumpah ruah.
“Tia, aku, ….” Bibirnya bergetar, dia kebingungan hendak merangkai kata. Sungguh tadi dirinya seolah bukan ia. Entah setan mana yang datang merasuki dan berusaha mengambil kendali kewarasannya.
Agam Siddiq ikut menangis sampai bahunya naik turun. Dipeluknya penuh kasih adik bungsunya. “Maafkan Abang, Dek. Tak ada maksud membentakmu – Abang mohon belajarlah ikhlas menerima ketentuan-Nya, Tia!”
Meutia tergugu, menggelengkan kepalanya, menolak usulan menyakitkan itu.
Nirma, adiknya Nur Amala, sahabatnya Meutia Siddiq – menggiring para anak kecil masuk ke dalam rumah.
Lanira, Hazeera, dan Nia … berlari memasuki kamar serba warna merah muda milik Sabiya Rasyid.
Para gadis kecil hampir sebaya dengan putri kedua Meutia itu bersamaan memeluk Sabiya yang berbaring memunggungi pintu kamar.
“Jangan menangis lagi, Sabiya. Nanti engkau batuk dan muntah,” ucap Lanira.
Hazeera menepuk-nepuk punggung sepupunya. “Tak usah bersedih! Masih ada Ayah tua, Ayah besar, Bapak, Abi – yang selalu ada dan bisa kau panggil seperti Ayah muda Ikram.”
“Betul tu Biya, kami rela berbagi Ayah denganmu dan kak Intan,” timpal Nia.
Tangis Sabiya bertambah kencang. Dia berbalik lalu merentangkan kedua tangannya.
Ketiga sahabat sekaligus saudaranya langsung memeluk gadis berhijab instan itu, sama seperti mereka yang sudah terbiasa berpakaian tertutup dan longgar sejak berumur lima tahun.
“Tapi_ tapi hiks hiks.” Dia kesal sendiri saat mau bersuara tersendat-sendat.
“Pelan-pelan. Berhenti dulu nangisnya baru berucap. Biar tak tersedak nanti,” Lanira membantu menghapus lelehan air mata adik sepupunya.
Nia dan Hazeera menolong Sabiya agar bisa duduk.
“Tetap saja beda. Cuma ayah Ikram yang bisa membuat Mamak tersenyum dan tertawa! Kalian tengok tadi itu, Mamak nangis terus.”
Ketiga gadis kecil itu pun tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Mereka belum begitu paham perihal persoalan orang dewasa. Berakhir hanya mampu memeluk dan mengalihkan perhatian Sabiya.
Di lain tempat, tepatnya halaman belakang rumah Meutia dan Ikram – Intan Rasyid duduk seorang diri dibangku kayu bawah pohon jambu biji. Memandang kandang hewan khusus pemberian dari sang ayah yang dipesan pada pengrajin kayu.
“Intan kribo ….” Kamal datang, dia tidak sendirian ada si kembar Zeeshan serta Zain.
Yang dipanggil tetap bergeming, enggan merespon. Asik dengan dunianya sendiri.
“Kami ini manusia loh, bukan hantu. Mana kawanan anak ganteng lagi, masa dianggap macam tunggul,” protes Zain.
Zeeshan mengangguk. “Tan, Tin … main yok! Bawa bayi Kambing pun boleh, nanti kami lah yang menggendong kesana-kemari, sama bawa botol susu biar kalau dia haus tak payah cepat-cepat balek.”
Intan sama sekali tidak menanggapi, cuma air matanya terus terjun bebas.
“Intan jangan nangis. Katanya kau mau jadi anak perempuan betulan, biar kelak bisa nikah sama bang Ayek – masa cepat kali melupakan janjimu yang cakap mau jadi wanita anggun, kuat, tak cengeng.” Kamal menarik-narik ujung hijab bergo sahabatnya.
“Aku rindu ayahku! Sebentar lagi bagi raport kenaikan kelas. Masa Ayah Ikram tak mendampingi diriku dan Sabiya? Terus tak lama lagi adek kami lahir, kasihan Mamak nanti berjuang seorang diri.” Dia meremat ujung hijabnya.
“Kau pakai saja Ayah kami. Terserah mau pilih yang mana, semuanya juga boleh. Khusus kali ini gratis, tak perlu bayar uang sewa,” celetuk Zain. Mereka memang sering bertukar ayah kalau semisal bapak kandung bersikap menyebalkan, menurut mereka.
“Ayah tua saja. Uangnya pun tua-tua, tak lembaran bernilai kecil. Nanti kau kenyang dibandari (traktir) beli apa saja yang diinginkan,” Kamal Nugraha mempromosikan ayahnya kepada Intan.
Intan turun dari bangku, tanpa kata berlari masuk ke dalam rumah, menaiki tangga menuju lantai dua, ke kamarnya. Ditutupnya rapat daun pintu, lalu tubuhnya luruh, menangis tersedu-sedu. "Aku cuma mau ayah Ikram!"
“Apa aku salah ucap ya?” anak laki-laki seumuran Intan itu melirik si kembar.
“Aku lebih suka disiksa kribo, daripada didiamkan." Bahu Zeeshan merosot.
“Kau benar. Tak apa uang jajanku habis dipalak nya, asal Intan tersenyum, tertawa seperti dulu.” Zain menendang-nendang batu kerikil.
.
.
“Seminggu sudah berlalu, dan kabar darimu pun tak pernah singgah menyapaku. Apa yang harus kulakukan Bang? Sementara suara-suara aneh itu semakin sering berdengung. Aku takut berdekatan dengan anak kita, takut menyakiti mereka macam tempo hari. Diri ini cemas, teramat sangat khawatir bila penyakit mental di masa kecil beranjak remaja yang pernah menggerogoti kewarasanku kambuh. Lantas macam mana dengan dedek bayi ini nantinya?”
Meutia meremat kain gorden, dia tengah berdiri didekat jendela kamarnya lantai dua, memandang hampa persawahan di seberang jalan.
Ya, mental Meutia Siddiq pernah terganggu sewaktu umurnya masih 11 tahunan, dia menyaksikan kecelakaan yang merenggut nyawa ayah kandungnya. Dari sanalah jiwanya terguncang, dan mentalnya tidak kuat menanggung beban, terus dihantui kejadian naas itu, serta dihantam duka mendalam. Satu tahun kemudian, setelah konsultasi dan terapi dengan seorang psikiater baru dirinya sembuh.
Perhatian Meutia teralihkan oleh kedatangan mobil Kijang Innova memasuki halaman rumah sang Abang.
Wanita hamil jalan enam bulan itu bergegas melangkah lebar. Dadanya bergemuruh dengan detak jantung berpacu, perasaannya tak menentu.
“Mamak mau kemana?”
“Mamak pakai sendal!”
Pertanyaan dan perhatian dari kedua putrinya bagaikan angin lalu. Meutia terus berjalan ke arah samping kiri, memasuki pekarangan luas hunian Agam Siddiq.
“Kak Meutia.”
Pemuda jangkung berlesung pipi, menyapa dengan raut murung, lingkaran mata menghitam, bahunya sedikit turun.
“Ayek, mana bang Ikram? Kalian pulang bersamanya ‘kan? Lantas dimana nya? Pasti mau memberikan kejutan kepadaku ‘kan? Cepat katakan!!”
.
.
Bersambung.