NovelToon NovelToon
Ibu Kos Ku

Ibu Kos Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Lari Saat Hamil / Dikelilingi wanita cantik / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Aak ganz

roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.

dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.

sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17

Miya yang Dihadapkan pada Pilihan

Keesokan paginya, saat Miya pulang, Roni melihat sebuah bingkisan di kursi depan kamarnya.

"Siapa yang menaruh ini di sini?" gumam Roni bertanya-tanya.

Ia membuka bingkisan itu dan mendapati isinya adalah nasi kotak.

"Wah, makanan! Pasti Bayu yang menaruh ini," pikirnya.

Roni berjalan menuju kamar Bayu dan mengetuk pintunya, namun tidak ada jawaban dari dalam. Ia melirik jam tangannya dan terkejut.

"Astaga, ternyata sudah jam 10 pagi! Mungkin Bayu sudah pergi bekerja," ujarnya sambil berbalik arah.

Setelah mandi, Roni memutuskan pergi ke gudang. Karena kuliahnya baru dimulai sore nanti, ia memilih ke sana daripada hanya berdiam diri di kos tanpa pekerjaan.

Di Rumah Miya

Saat Miya pulang ke rumah, ayahnya sudah menunggunya di sofa. Begitu ia masuk, ayahnya langsung bertanya, "Miya, kamu ke mana saja? Bapak sudah beberapa kali menghubungimu, tapi tidak ada jawaban."

Miya tersenyum dan menjawab santai, "Semalam ada acara bersama teman, jadi aku tidak sempat melihat ponsel, Pak."

Ayahnya menghela napas dan menatapnya serius. "Kamu sering menginap di luar rumah akhir-akhir ini? Kamu itu perempuan, jangan suka berkeluyuran. Itu tidak baik bagimu."

Miya menggeleng. "Tidak kok, Pak. Semalam itu pertama kalinya."

"Ya sudah, kamu mandi dulu. Setelah itu temui Bapak, ada hal penting yang ingin Bapak sampaikan," ujar ayahnya.

Miya mengangguk dan segera menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi, ia kembali menemui ayahnya yang kini sudah ditemani oleh ibunya.

Miya menatap kedua orang tuanya dengan penasaran. "Ada apa, Pak? Kok tumben?" tanyanya.

Ibunya tersenyum dan berkata lembut, "Ayo duduk dulu, sayang. Ada yang ingin Mama dan Papa bicarakan."

Miya pun duduk dengan rasa penasaran.

"Begini, sayang," ayahnya mulai berbicara, "Tadi pagi, Bapak mendapat kabar dari Tuan Betro. Beliau ingin memperkenalkanmu dengan putranya. Katanya, putranya sangat menyukaimu. Tapi keputusan tetap ada di tanganmu, apakah kamu mau atau tidak. Mereka keluarga baik-baik, dan Bapak rasa kamu tidak akan menyesal jika menikah dengan putranya."

Miya terkejut. "Menikah? Tidak, Pak! Kak Bobby saja belum menikah, masa Miya harus lebih dulu? Lagian, Miya sudah punya seseorang yang Miya suka," jawabnya jujur.

Ayahnya tersenyum tipis. "Oh ya? Tapi kamu harus mempertimbangkan putra Tuan Betro dulu. Mereka keluarga terpandang, Miya. Kamu tidak akan menyesal."

Miya menatap ayahnya dalam-dalam, lalu berkata dengan suara lirih, "Papa, bolehkah aku mengutarakan isi hatiku?"

Ayahnya mengangguk. "Tentu saja, sayang. Katakan saja, Papa dan Mama akan mendengarkan."

Miya menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara.

"Papa dan Mama pernah nggak memikirkan perasaan Miya? Dulu, Miya adalah gadis yang ceria, punya banyak teman, dan selalu merasa dimengerti. Tapi Miya rela meninggalkan semuanya demi Papa dan Mama, demi pindah ke kota ini. Miya tidak kenal siapa-siapa di sini, tapi Miya tetap bertahan. Dan sekarang, setelah Miya menemukan seseorang yang bisa menemani dan mengerti Miya, kalian malah meminta Miya meninggalkannya dan menikah dengan pria yang bahkan Miya tidak kenal sifatnya. Apa kalian pernah berpikir sedikit saja tentang perasaan Miya?"

Ayahnya mengernyit, bukannya memahami curahan hati Miya, ia justru bertanya, "Serius kamu sudah mengenal putra Tuan Betro? Kalau begitu, ceritakan seperti apa dia menurutmu."

Miya semakin kecewa. "Jangankan Miya, Kak Bobby pun mengenalnya. Dia bukan seperti yang Papa dan Mama bayangkan. Keluarga mereka memang terpandang, tapi dia sangat berbeda dari yang kalian pikirkan," ujar Miya dengan nada kecewa.

Ia tak sanggup lagi berbicara dan segera berlari ke kamarnya, meninggalkan orang tuanya dalam kebingungan.

Ayahnya hendak mengejar, namun ibunya menahan. "Biar Mama saja," ujarnya lembut.

Serli, ibunya, mengikuti Miya ke dalam kamar dan melihat putrinya menangis sambil memeluk boneka kesayangannya.

"Miya, sayang. Semua ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Papa dan Mama sangat menyayangimu. Kami hanya ingin kamu mendapatkan kehidupan yang layak. Tapi kalau kamu tidak mau, kami tidak akan memaksamu," ujar ibunya lembut.

Miya menggeleng sambil terisak. "Kalian hanya memikirkan diri sendiri. Miya kecewa. Biarkan Miya sendiri, Ma. Yang Miya butuhkan hanya teman yang bisa mengerti dan tulus kepada Miya. Miya tidak butuh pria kaya atau apa pun yang kalian pikirkan," katanya dengan suara bergetar.

Ibunya ikut sedih melihat putrinya seperti itu. Ia memahami keinginan Miya, tetapi ia dan suaminya hanya ingin yang terbaik untuk masa depannya. Mereka ingin Miya memiliki pasangan yang bisa menjaganya ketika mereka sudah tiada, karena Miya adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka.

Setelah beberapa saat, Miya akhirnya berkata, "Bilang saja ke Papa, soal suami jangan susah-susah dipikirkan untuk Miya. Karena kalian sama sekali tidak mengerti Miya. Miya bisa mencari sendiri, dan Miya sudah menemukannya. Jadi, cukup hari ini kita membahas ini, Ma."

Serli hanya bisa mengangguk pelan, lalu meninggalkan Miya sendiri di kamarnya.

Setelah keluar dari kamar Miya, Serli mendapati suaminya, Tuan Bram, menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi penuh tanya.

"Bagaimana, Ma? Apa Miya baik-baik saja?" tanya Tuan Bram cemas.

Serli menghela napas dan menggeleng pelan. "Pa, sebaiknya kita tidak membahas soal itu lagi. Mama takut Miya akan kembali menjadi gadis yang murung seperti dulu. Melihat dia mulai ceria lagi akhir-akhir ini saja sudah sangat membuat Mama bahagia. Mama tidak mau dia kembali seperti itu lagi. Miya benar, kita memang tidak pernah memikirkan perasaannya dengan baik. Seharusnya dulu kita meminta persetujuannya sebelum memutuskan pindah ke kota ini," ujarnya lirih.

Tuan Bram mengangguk setuju. "Ya, Papa juga berpikir begitu. Sudahlah, mulai sekarang kita harus lebih memahami anak-anak kita," katanya sambil berdehem.

Di saat itu, ponsel Tuan Bram berdering. Ia segera mengangkatnya.

"Halo, siapa ini?" tanyanya.

Dari seberang terdengar suara yang familiar. "Bagaimana, apa Anda sudah berbicara dengan putri Anda soal perjodohan?" tanya suara itu—ternyata Tuan Betro yang menelepon.

"Oh, astaga, Tuan Betro! Maaf, saya kira tadi bukan Anda. Soal itu, saya sudah bicara dengan Miya. Namun, sesuai dengan keputusannya, saya tidak bisa memaksanya untuk menerima atau menolak," jawab Tuan Bram dengan sopan.

"Begitu ya, baiklah. Maaf jika saya merepotkan Anda dan mengganggu waktu siang begini. Sebenarnya, saya tidak biasa melakukan hal seperti ini, tapi demi putra saya satu-satunya, saya sampai harus melakukannya," ucap Tuan Betro dengan nada sedikit memohon.

Tuan Bram tersenyum kecil. "Saya mengerti, Tuan. Kita sudah bekerja sama cukup lama dan saya tahu Anda dengan baik. Saya akan membantu sebisa saya, tapi kalau soal perjodohan, saya tidak bisa berbuat banyak. Ini semua demi kebahagiaan putri saya. Begini saja, biarkan putra Anda menemui Miya dan berbicara langsung dengannya. Keputusan tetap ada di tangan Miya," katanya tegas.

"Baiklah, saya akan mencoba berbicara dengan putra saya. Anak memang selalu merepotkan orang tuanya, ya. Haha... Terima kasih atas waktunya, Tuan Bram. Sampai jumpa," kata Tuan Betro sambil tertawa kecil.

"Ya, sampai jumpa," balas Tuan Bram sebelum menutup telepon.

Sementara itu, di kediaman Tuan Betro, Jack langsung menghampiri ayahnya begitu melihat telepon selesai.

"Bagaimana, Pa? Apa yang mereka katakan? Ayo cepat ceritakan!" tanya Jack dengan penuh antusias.

Tuan Betro menatap putranya tajam. "Dasar kamu! Hanya merepotkan orang tua saja. Gara-gara kamu, aku jadi merasa malu seperti ini. Bagaimana kalau keluarga mereka menilai bahwa aku tidak bisa mendidik anakku dengan baik? Sampai-sampai kamu harus mengandalkanku dalam urusan asmaramu! Sialan!" gerutunya.

Jack tersenyum kikuk. "Maaf, Yah... Tapi semua ini aku lakukan karena aku tidak bisa berbuat banyak untuk mendekati Miya. Aku tahu kalau keluarganya jauh lebih kaya daripada kita," jawabnya dengan nada pasrah.

Tuan Betro menghela napas berat. "Sudahlah. Besok kamu harus menemui Miya sendiri dan berbicara langsung dengannya. Mulai sekarang, kamu harus bisa mengandalkan dirimu sendiri. Siapa suruh kamu jatuh hati pada anak Tuan Bram yang sangat aku hormati," katanya dengan nada kesal.

Jack mengangguk. "Baik, Yah. Aku akan memikirkan cara terbaik. Tapi Ayah tahu tidak, kenapa aku susah mendapatkan Miya sampai melibatkan Ayah?"

Tuan Betro menatap Jack dengan penasaran. "Kenapa? Ceritakan!"

Jack mendekat dan berbisik, "Itu karena seorang pemuda kampung. Entah kenapa, Miya begitu menyukainya. Aku ingin menyingkirkannya, Yah. Bisa nggak Ayah membantuku?"

Tuan Betro terbelalak kaget. "Apa? Kamu kalah saing dengan pemuda miskin? Astaga! Mau ditaruh di mana muka Ayah ini? Kenapa aku bisa punya anak yang begitu memalukan seperti kamu!" bentaknya kesal.

"Tapi, Pa... Dia berbeda. Dia sangat pemberani. Aku belum pernah menghadapi lawan seperti dia sebelumnya. Selama ini, sainganku hanyalah Bobby, putra Tuan Bram. Tapi ini berbeda, Pa," kata Jack mencoba membela diri.

Tuan Betro menatap Jack tajam. "Untuk sementara, gunakan kemampuanmu. Kamu pasti bisa mengalahkan pemuda miskin itu. Jangan mempermalukan aku lagi! Astaga, kepalaku jadi pusing karena ulahmu!" gerutunya sebelum beranjak pergi meninggalkan Jack yang masih termangu di tempatnya.

Tantangan dari Jack

Sore itu di kampus, Jack menghampiri Roni yang sedang berjalan menuju kelas bersama Miya. Hatinya semakin sakit melihat kebersamaan mereka. Berbeda dari sikapnya di depan orang tuanya, di luar Jack terlihat lebih percaya diri dan angkuh.

Roni yang menyadari kehadiran Jack langsung menatapnya. Ia tahu bahwa setiap kali Jack datang menghampirinya, pasti akan ada masalah.

Berusaha bersikap cuek, Roni memilih untuk tidak menghiraukan Jack yang mencoba menyapanya.

"Hai, pemuda miskin! Apa kabar pagi ini?" sindir Jack dengan nada merendahkan, seperti yang sering ia lakukan sebelumnya. Namun, seperti biasa, Roni tetap tidak menanggapinya.

Merasa diabaikan, Jack semakin kesal. "Hei! Tunggu! Berani sekali kau mengabaikanku!" serunya sambil mengejar Roni yang terus berjalan.

Sebelum Roni sempat merespons, Miya yang sudah tidak tahan dengan sikap Jack akhirnya angkat bicara. "Ada apa lagi? Tidak puas menghina Roni? Kenapa sih kamu selalu mencari masalah dengannya?" tanya Miya dengan nada kesal.

Jack menatap Miya dengan tatapan tajam. "Masalah? Tentu saja aku punya masalah! Masalahnya adalah kau lebih memilih dia daripada aku! Dia pria miskin, Miya! Apa yang bisa kau harapkan darinya? Sedangkan aku punya segalanya! Aku bisa membawamu ke mana pun kau mau!" ujar Jack dengan penuh emosi.

Miya tersenyum sinis. "Begitu, ya? Sayangnya, kau tidak punya hak untuk memaksaku mencintaimu atau bersamamu. Jadi, tolong jangan ganggu kami lagi," balas Miya tegas.

Mendengar jawaban Miya, Jack menggertakkan giginya dan mengepalkan tangannya kuat-kuat karena kesal. Sementara itu, Roni tetap tenang dan hanya tersenyum tipis.

Jack kemudian mendekati Roni dan berkata dengan nada menantang, "Baiklah, aku ada tantangan untukmu, pemuda miskin! Besok malam akan diadakan pertarungan jalanan di antara para petarung. Aku menantangmu untuk ikut serta di dalamnya. Kita akan bertemu di sana! Jika kau kalah, kau harus meninggalkan Miya selamanya. Tapi jika kau menang, aku berjanji akan melupakan kalian dan tidak akan mengganggumu lagi. Berani menerima tantanganku? Atau kau hanya pengecut yang bersembunyi di balik perempuan?" tantangnya dengan nada mengejek.

Tanpa berpikir panjang, Roni menjawab dengan tenang, "Baik, aku terima tantanganmu."

Miya terkejut dengan keputusan Roni. "Kenapa kamu menerimanya? Itu hanya jebakan Jack!" katanya khawatir.

"Jangan khawatir, aku bisa mengatasinya," jawab Roni dengan percaya diri.

"Tapi dia sangat licik! Dia punya orang dalam di dalam kompetisi itu, apalagi ini bukan ajang resmi," ujar Miya, mencoba meyakinkan Roni untuk membatalkan niatnya.

Roni tersenyum menenangkan. "Aku tidak bisa menolaknya. Orang seperti dia harus diajari pelajaran. Tenang saja, setelah ini dia tidak akan mengganggumu lagi," kata Roni meyakinkan Miya.

Miya menghela napas dan akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu keputusanmu, aku akan mendukungmu. Tapi aku tidak mau kehilanganmu kalau sesuatu terjadi padamu," ucapnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

Miya tidak peduli apakah Roni akan menang atau kalah. Ia tetap mencintai Roni, tetapi perjanjian yang telah dibuat dengan Jack membuatnya takut. Jika Roni kalah, mungkin dia harus pergi meninggalkan Miya selamanya.

1
Mardelis
hal bisa, pasti putuss ditengah, jejejejje
Mardelis
roni roni, baik tapi mental kurang baik, heheheeh
Godoy Angie
Asik banget!
Aak Gaming: terus ikutin ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!