Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Lama, Rahasia Baru
Nama Damar. Nama yang seharusnya sudah terkubur dalam-dalam di liang lahat masa lalunya. Nama yang kini muncul kembali, seperti hantu dari neraka, membayangi setiap sudut pikirannya. Raya menggelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan itu. Tidak mungkin. Damar sudah tidak ada dalam hidupnya selama bertahun-tahun. Kenapa harus dia?
Namun, pikiran itu terus berputar, melilitnya seperti rantai tak kasat mata. Bukti tes DNA Langit yang baru saja ia terima membakar telapak tangannya. Langit bukan anak biologisnya. Kalimat itu terus terngiang, menjadi melodi mengerikan yang memenuhi telinganya.
Raya berjalan mondar-mandir di kamar tidurnya, di saat Arlan, suaminya yang mencintai dan mencintainya, masih terlelap pulas di samping Langit di kamar rumah sakit. Ia tidak bisa tidur. Bagaimana ia bisa tidur, ketika dunianya runtuh begitu tiba-tiba? Ia menatap pantulan dirinya di cermin, melihat seorang wanita dengan mata sembab dan tatapan kosong. Ini bukan dirinya. Ini adalah seseorang yang sedang berjuang melawan mimpi buruk terburuknya.
"Arlan..." gumamnya, bibirnya bergetar. Hatinya mencelos setiap kali ia memikirkan Arlan. Suami yang sempurna, ayah tiri yang menyayangi Langit seperti darah dagingnya sendiri. Bagaimana ia akan mengatakan ini pada Arlan? Bagaimana ia bisa menghancurkan kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama?
Tidak, Raya tidak bisa. Setidaknya, belum sekarang. Ia harus mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Ia harus tahu siapa yang berani bermain-main dengan takdirnya, dengan hidup Langit, dengan kebahagiaan keluarganya.
Pagi tiba, membawa serta janji dan kecurigaan baru. Raya kembali ke rumah sakit, jantungnya berdegup tak karuan setiap kali melewati lorong yang sama. Arlan sudah terbangun, duduk di samping ranjang Langit, membacakan dongeng anak-anak dengan suara lembut. Pemandangan itu menorehkan luka baru di hati Raya. Kebahagiaan mereka, begitu murni, begitu rapuh.
"Sayang, sudah makan?" tanya Arlan, mendongak dan tersenyum padanya. Senyum tulus yang memaksakan sebuah senyuman tipis dari bibir Raya.
"Sudah. Kamu?" Raya mendekat, mengusap lembut kepala Langit yang masih terlelap. Wajah mungil itu, pipi merona samar karena demam, bibir kecil yang sedikit terbuka. Langitnya. Anaknya. Tidak peduli apa kata tes DNA itu, Langit adalah miliknya.
"Baru saja. Tadi perawat bilang Langit sudah mulai stabil, tapi kita harus bersiap untuk beberapa pemeriksaan lagi," Arlan menjelaskan, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
Pemeriksaan lagi. Kata-kata itu menggema di kepala Raya. Kesempatan. Ini adalah kesempatannya untuk mulai menyelidiki. Diam-diam. Tanpa sepengetahuan Arlan.
Sepanjang hari itu, Raya bertindak seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ia tersenyum, ia berbicara, ia merawat Langit dengan penuh kasih sayang. Namun, di balik senyum itu, otaknya bekerja keras, menyusun rencana. Ia harus memulai dari mana? Dokumen. Semua dokumen medis Langit, semua catatan dari rumah sakit, dari dokter kandungan yang dulu menanganinya.
Sore itu, saat Arlan sedang keluar sebentar untuk membeli makanan, Raya membuka tasnya, mengambil amplop cokelat berisi hasil tes DNA yang meresahkan itu. Ia membaca ulang setiap kata, setiap angka. Lalu, ia fokus pada nama laboratorium yang melakukan tes tersebut. "Medika Lab." Ia mengeluarkan ponselnya, mulai mencari informasi. Alamat, nomor telepon, bahkan nama-nama staf yang mungkin ia kenal.
Tiba-tiba, sebuah ingatan muncul, seperti percikan api yang membakar kegelapan. Dulu, ketika ia masih menikah dengan Damar, mereka pernah mencoba program IVF. Program yang gagal, yang berakhir dengan kekecewaan dan kehancuran pernikahan mereka. Mereka pernah berkonsultasi dengan banyak dokter, banyak klinik. Salah satunya... Raya mencoba mengingat dengan keras. Bukankah salah satu klinik IVF itu memiliki afiliasi dengan Medika Lab?
Jantungnya berdebar semakin cepat. Itu adalah petunjuk. Sebuah benang merah yang sangat tipis, tapi ada. Ia mulai membalik-balik kalender lama di ponselnya, mencari arsip email, mencoba menemukan jejak-jejak masa lalu yang ia kira sudah terkubur. Surat-surat lamaran, jadwal konsultasi, kwitansi pembayaran. Betapa ia membenci masa lalu itu, masa lalu yang penuh dengan keputusasaan untuk memiliki anak bersama Damar. Masa lalu yang pahit, yang kini kembali menghantuinya.
Ia menemukan beberapa dokumen lama yang ia simpan di cloud. Laporan medis, nama-nama dokter. Dan di sana, di salah satu laporan konsultasi IVF dari lima tahun lalu, sebuah nama klinik yang bekerja sama dengan Medika Lab. Klinik itu tidak asing. Klinik itu... tempat di mana ia dan Damar melakukan serangkaian prosedur yang menyakitkan.
Raya merasa mual. Apakah ini kebetulan? Atau apakah ini... sebuah koneksi yang disengaja? Sebuah skema yang dirancang dengan cermat? Otaknya berputar, mencoba menghubungkan titik-titik yang masih kabur. Jika Langit bukan anak biologisnya, tapi ia menjalani IVF di klinik yang terafiliasi dengan lab ini, lalu bagaimana? Mungkinkah ada kesalahan? Atau yang lebih buruk, kesengajaan?
Ia mengingat Damar. Damar yang ambisius, Damar yang manipulatif, Damar yang sangat menginginkan anak. Pria yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, dengan cara apa pun. Sebuah ketakutan dingin menjalar di punggung Raya. Damar tidak akan pernah menyerah.
Sesaat, Raya ingin menjerit, ingin berteriak ke seluruh dunia tentang apa yang terjadi. Tapi ia menahan diri. Ia harus kuat. Untuk Langit. Untuk Arlan. Ia harus menemukan kebenarannya.
"Raya? Kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali," suara Arlan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu membuat Raya tersentak, cepat-cepat menyembunyikan ponselnya. Ia berusaha tersenyum, senyuman yang terasa hambar di lidahnya.
"Tidak apa-apa, sayang. Hanya sedikit pusing. Mungkin kecapekan," jawabnya, mencoba terdengar normal. Arlan menatapnya dengan tatapan khawatir, namun tidak bertanya lebih jauh.
Malam itu, ketika Arlan sudah terlelap di sampingnya, Raya diam-diam menghubungi seorang teman lama, dokter kandungan yang dulu pernah menjadi rekan kerjanya. Raya merasa bersalah karena telah menyimpannya sebagai rahasia. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia harus mencari tahu. Ia harus mencari celah.
Ia membuka laptopnya, mencari email dari Medika Lab. Ia ingin tahu lebih banyak tentang prosedur tes DNA mereka, tentang standar keamanan. Sebuah nama muncul di daftar kontak email lama, seseorang yang bertanggung jawab atas administrasi di klinik IVF yang dulu ia kunjungi dengan Damar. Namanya Lestari. Wanita yang selalu ramah, namun memiliki senyuman yang terasa terlalu manis.
Raya mengambil napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya gemetar saat ia mengetik nama Lestari di kolom pencarian. Email-email lama muncul, percakapan mengenai jadwal dan prosedur. Dan di antara email-email itu, terselip sebuah lampiran. Sebuah dokumen PDF dengan logo klinik IVF tersebut dan Medika Lab. Raya membuka lampiran itu, mata langsung tertuju pada deretan nama staf dan daftar donor. Di bagian daftar donor, sebuah nama asing menarik perhatiannya. Sebuah nama yang seharusnya tidak ada di dokumennya. Nama yang terlalu familiar, yang membuat darah Raya mengering di dalam tubuhnya. Sebuah nama yang ia kenal dengan sangat baik, namun dalam konteks yang benar-benar berbeda. Nama yang tercantum bukan sebagai donor, melainkan sebagai... pihak ketiga yang terlibat dalam proses. Dan nama itu adalah...