Jinwoo seorang prajurit bermasalah dari Korea Selatan, di kirim ke sebuah negara yang sangat kacau, dan banyak hal hal yang tidak terjadi terjadi di sana, negara yang kacau tidak hanya memerlukan tentara, tetapi mereka juga perlu tenaga medis, dan Renata yang merupakan seorang dokter, juga ikut ke sana, dan disanalah, benih benih cinta mereka berdua tumbuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkunjung ke rumah ayah
Berikut adalah versi yang telah diperbaiki dengan bahasa yang lebih baku dan nuansa yang lebih mendalam.
---
Anna menatap Hyejin. Awalnya, ia sulit mempercayai bahwa wanita di hadapannya ini adalah istri Kapten Lee yang ia kenal. Sebab selama mereka bersama, Anna tahu bahwa hati Kapten Lee hanya tertuju pada Renata.
Choi menatap Hyejin dengan cemas. “Terima kasih sudah datang ke acara kami. Ini hanya acara kecil, jadi semua sudah selesai dan tidak ada lagi rangkaian acara,” ujarnya, seolah takut jika Hyejin mengatakan sesuatu yang tidak diinginkan. Sebab ia tahu, Renata adalah teman dekat Anna.
Hyejin tersenyum tipis. “Istrimu sangat cantik. Kalian terlihat serasi.”
Anna membalas dengan senyum hangat. “Terima kasih. Tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Choi semakin gelisah. Ia tidak ingin Anna mengetahui lebih jauh tentang Hyejin atau perasaan Kapten Lee. “Anna, sebaiknya kita pulang saja,” ucapnya, menarik tangan Anna dengan lembut.
Namun, sebelum mereka pergi, Hyejin berucap, “Siapa Renata?”
Anna tersentak. Tatapan manisnya seketika berubah tajam. “Apa urusanmu dengan dia? Atau kau belum tahu siapa dia?” suaranya meninggi, penuh emosi.
Choi dengan sigap menariknya. “Kita sedang berada di gereja. Tidak seharusnya kita berdebat di sini,” ucapnya, lalu membawa Anna pergi.
Sementara itu, Hyejin mengepalkan tangannya. “Sial, aku membenci wanita itu,” batinnya.
*
*
*
Di Rumah Anna dan Choi
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Aku harusnya bisa bicara dengannya lebih jauh!” bentak Anna dengan wajah kesal.
" Aku yakin ada sesuatu yang ia sembunyikan dan kita harus tau, kita bisa saja tetapi di sana tadi, tapi kau?! " sambung Anna dengan nada bicara yang kesal
Choi hanya tersenyum kecil, lalu menyodorkan segelas air “Duduklah, tenangkan dirimu dulu,” ujarnya seraya membantu Anna melepaskan sepatu, sarung tangan, serta kain tile di kepalanya.
Anna meneguk air itu dengan cepat. Namun, amarahnya belum sepenuhnya reda. “Aku sama sekali tidak bisa tenang, Choi. Kau tahu apa yang terjadi antara Renata dan Lee, bukan aku sempat mengira mereka akan menikah, sama seperti kita, tapi apa ini?” masih tidak percaya, bahwa Lee sudah menikah dengan gadis lain,
Choi mengangguk pelan, lalu mengambil segelas air es dan menyerahkannya kepada Anna. “Iya, aku tahu, sayang. Tapi itu keputusan Lee. Itu hidupnya, dan dia berhak memilih jalannya sendiri, dia mau nikah dengan siapa, dan mau bagiamana hidup nya, itu pilihannya " menatap Anna
Anna akhirnya menghela napas. “Baiklah, kau benar.”
Choi kemudian mulai menata bahan makanan yang ia beli di supermarket. Saat ini, ia hanya bekerja sebagai tentara biasa dengan gaji yang tidak seberapa. Mereka harus berhemat, terlebih dengan biaya persalinan yang sudah di depan mata.
“Aku sudah membeli beras dan bahan lainnya. Jika kau ingin memasak, semuanya sudah tersedia,” ujarnya sambil menatap Anna.
Anna tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan memasak nanti. Dan aku juga akan mencari pekerjaan, walau hanya sebagai perawat di apotek.”
Choi menoleh cepat. “Tidak, kau tidak perlu bekerja, sayang. Aku masih bisa mencari nafkah untukmu dan anak kita,” ucapnya penuh keyakinan.
Anna menatapnya dengan penuh arti. “ Aku tahu kau tidak akan meninggalkan pekerjaan sebagai tentara, walau aku memintamu. Begitu juga denganku, berat rasa nya jika kita meninggalkan pekerjaan yang sudah melekat lama dengan kita, Jadi, lebih baik kita jalani tugas masing-masing. Yang terpenting, kita pulang ke rumah yang sama, berbagi suka dan duka bersama.” menatap Choi dengan penuh makna dan arti,
Choi terdiam. Entah mengapa, kata-kata itu begitu menyentuh hatinya. Tanpa sadar, air matanya jatuh. “Kenapa kau begitu romantis beberapa hari ini? Apa ada sesuatu yang kau inginkan?” tanyanya, setengah bercanda.
Anna tersenyum, lalu memeluknya erat. “Aku tidak menginginkan apa pun. Sebab Tuhan sudah mengabulkan permintaanku.”
*
*
*
Di Sekolah Naya
Naya duduk di bangku taman sekolah, membuka buku gambarnya, lalu mulai mewarnai. Sudah tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya suara yang ia tunggu terdengar.
“Naya, sayang!” seru Rafael dari kejauhan.
Naya langsung mengenali suara itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah Rafael. “Ayah!” teriaknya riang.
Rafael tersenyum lebar, lalu merentangkan tangan untuk menyambut putrinya. Ia memang meninggalkan pekerjaannya demi menjemput Naya. Biasanya, ia dan Renata bergantian, tapi hari ini Renata memintanya menjemput karena sedang berada di makam ayahnya.
“Sayang, kenapa tasmu tidak kau bawa?” tanya Rafael.
Naya memasang wajah masam. “Ayah lama sekali! Ini lebih lama dari biasanya,” rengeknya.
Rafael tertawa kecil. Ia sudah terbiasa menghadapi protes seperti ini. “Baiklah, karena ini kesalahan Ayah, bagaimana kalau Ayah traktir es krim?” tawarnya.
Naya langsung bersorak. “Mau! Aku mau!”
“Kalau begitu, ambil tasmu dulu. Lalu kita beli es krim, setelah itu kita pergi menemui Mama.”
“Mama di mana?” tanya Naya penasaran.
Rafael tersenyum. “Mama sedang berada di tempat yang sangat ia sukai, berbicara dengan orang yang paling ia cintai.”
Naya mengernyit. “Siapa itu, Ayah?”
Rafael hanya tersenyum. “Ambil dulu barang-barangmu. Ayah tunggu di mobil.”
*
*
*
Di Pemakaman
Renata duduk di depan sebuah nisan, mengusapnya dengan lembut. Tatapannya dipenuhi kesedihan dan kerinduan yang mendalam.
“Ayah… bagaimana kabarmu?” bisiknya lirih. “Maaf, Renata jarang datang ke sini. Jarang membersihkan makam Ayah…”
Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Belakangan ini… semuanya terasa berat, Yah. Mungkin karena itu aku datang ke sini. Karena aku rindu Ayah.”
Suaranya bergetar, air matanya mulai berjatuhan. “Rasanya sakit… Tidak diakui di rumah sendiri.”
Isak tangisnya pecah. Ia menggenggam nisan itu erat, seolah berusaha menggenggam kembali kehangatan yang telah hilang.
“Ayah… kalau waktu bisa diulang, Renata ingin ikut dengan Ayah…”
Di belakangnya, Naya dan Rafael baru saja tiba. Mereka mendengar ucapan itu dengan jelas.
“Mama…” panggil Naya lirih, lalu berlari ke arahnya.
Renata tersentak, lalu segera menghapus air matanya. Namun, Rafael berdiri di belakang mereka, menatap makam itu dengan penuh hormat. “Assalamualaikum, Ayah…” ucapnya pelan.
Dada Renata terasa sesak. Ia menoleh ke arah Rafael dengan mata yang memerah.
“Ayah, ini siapa?” tanya Naya polos.
Rafael berlutut agar sejajar dengan putrinya. “Sayang, ini kakekmu. Ayahnya Mama. Sama seperti Ayah, dia juga ayahmu.”
Naya menatap makam itu, lalu berbisik, “Kalau Kakek cinta pertama Mama, berarti Ayah cinta pertama aku.”
Rafael tersenyum, lalu memeluk putrinya erat.
Sementara itu, Renata menatap keduanya dengan mata yang masih berlinang. “Dunia memang terasa berat dan kejam, Yah. Tapi Tuhan selalu memberikan jalan pulang. Saat aku kehilangan satu Ayah, Dia mengirimkanku dua jalan pulang…” batinnya, lalu menatap Rafael dan Naya dengan penuh haru.