Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM MENCEKAM
Barra menuruni tangga dengan panik. Suara Alea yang terdengar berat itu membuatnya mencemaskan kondisi Btari. Barra seakan tidak merasakan kakinya saat ia melangkah menuruni tangga. Apalagi semakin ia mendekat ke ruang utama acara, suara sirine ambulance semakin terdengar.
Begitu sampai di ruangan besar itu, Barra seakan membeku. Suasana yang awalnya penuh dengan tawa dan senyum bahagia kini berubah mencekam dan suara panik sebagian besar yanh hadir. Pemandangan di depannya seakan menghantam dadanya begitu keras. Jantungnya berdegup kencang.
Perlahan ia berjalan membelah kerumunan. Di depannya, Btari berdiri dengan wajah pucat sambil dipeluk Alea. Tangannya berlumuran darah dan tubuhnya gemetar. Namun bukan itu yang membuat Barra menegang. Di hadapannya kini yang terbaring dengan mata tertutup adalah Adam. Tubuhnya bersimbah darah.
"Kamu darimana?" Bentak Shaka pada Barra. "Tenangin Btari sana. Dia pasti masih shock sama kejadian ini."
Barra seakan tersadar. Ia langsung menghampiri Btari, memeriksa gadis itu.
"Kamu terluka?!" Tanya Barra panik.
Btari menggeleng. Matanya tampak berkaca-kaca. "Aku... Aku nggak apa-apa, Bar. Tapi Adam? Ia terluka parah karena menyelamatkanku." Jawabnya dengan suara gemetar.
Barra terdiam. Adam? Lelaki itu menjadi pahlawan untuk istrinya? Dalam hati ia merutuki kebodohannya karena lalai menjaga Btari.
Barra meraih tangan Btari yang masih memerah. "Adam akan baik-baik saja. Kamu tenang, ya. Kita akan ikut ke rumah sakit memastikan keadaannya." Ujar Barra berusaha menenangkan istrinya. Walau ada ketidakrelaan dalam sudut hatinya, namun ia tahu ia harus kooperatif saat ini.
Alvian dan beberapa orang mencoba menenangkan kerumunan yang panik. Sementara Ardya tampak berbicara dengan petugas medis yang datang membawa tandu . Sebuah lampu besar menjadi tersangka utama kejadian malam ini.
"Ini gimana sih, Yan?" Bisik Barra pada Ryan yang berdiri di sampingnya setelah ia membantu memindahkan lampu besar tersebut dari atas tubuh Adam.
Ryan menghela napas. "Gue nggak tau ini gimana sebenarnya. Kejadiannya begitu cepat. Kata beberapa orang seharusnya itu lampu menimpa Btari, tapi si Adam langsung menjadikan tubuhnya sebagai tameng melindungi Btari. Makanya itu sampai banyak darah gitu. Kena kaca sama besi lampu besar itu."
Barra diam. Sementara Btari masih menegang dalam dekapannya. Pantas saja gadis ini jadi seperti ini.
"Lea, kami sama Btari dulu, ya. Kakak mau bantu yg lainnya dulu."
Alea mengangguk. Ia segers mendekat ke Btari sementara Barra membantu Ardya dan yang lainnya.
...****************...
Di lorong rumah sakit yang dingin, Btari duduk di bangku dengan tangan masih sedikit gemetar. Matanya menatap kosong ke depan, sesekali menunduk memandangi tangannya yang sudah dibersihkan, tetapi masih terasa 'kering' seakan darah Adam masih menempel di sana.
Barra duduk di sampingnya, mengamati Btari dengan ekspresi serius. "Kamu mau minum dulu?" Suara Barra lembut.
Btari tidak menjawab. Matanya masih terpaku lurus, napasnya pendek-pendek.
Barra menghela napas, lalu dengan pelan meraih tangan Btari dan menggenggamnya. "Dia akan baik-baik saja, Btari."
Btari akhirnya menoleh, matanya masih berkabut dengan rasa cemas yang begitu dalam. "Bagaimana kalau tidak?" Suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Barra tidak langsung menjawab. Karena sejujurnya, ia juga takut. Ia khawatir Btari akan terus merasa bersalah jika kondisi Adam belum stabil.
Saat itu, Ardya dan Alvian muncul dari ujung lorong, bersama Alexa.
"Belum ada kabar dari dokter?" Ardya bertanya dengan suara rendah, ekspresinya tenang namun serius.
"Belum," jawab Barra singkat. Ia bersyukur Ardya datang tidak bersama Nadea. Sampai Sekarang ia sendiri belum bisa melakukan apapun terhadap hubungannya dengan Nadea.
Alvian menatap Btari, lalu berusaha ikut menenangkan Btari. "Adam itu orang yang kuat. Lagipula, ini semua bukan salahmu, Btari. Ini musibah yang bisa menimpa siapa saja."
Btari mengepalkan tangannya di pangkuan. "Kalau saja dia tidak mencoba menyelamatkanku, dia tidak akan seperti ini..."
Alexa ikut berjongkok di depan Btari, menatapnya penuh perhatian. "Jangan menyalahkan diri sendiri. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berdoa untuk Adam."
"Apa ini murni kecelakaan karena kelalaian? Bukan karena kesengajaan?" Tanya Barra.
Ucapan Barra membuat suasana semakin tegang. Ardya menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan ekspresi berpikir.
"Sudah ada yang mengecek rekaman CCTV?" Alvian akhirnya angkat bicara.
Ardya mengangguk. "Temanmu Bar, Ryan yang sedang mengurusnya. Aku ingin tahu apakah itu benar-benar kecelakaan... atau ada seseorang yang bermain di belakang ini."
Ucapan Ardya membuat Barra merinding. Pikiran terburuk mulai muncul dalam kepalanya.
Apakah ini hanya musibah? Atau ada seseorang yang sengaja menyakiti dirinya melalui Btari?
"Kalian bisa pulang dulu. Nanti soal Adam, biar saya yang akan menangani ini sembari menunggu asistennya datang. Tadi saya sudah menghubungi asistennya." Ucap Alvian.
Btari menggeleng cepat. Panik dan khawatir masih menyelimuti hatinya. Adam, lelaki itu mengorbankan dirinya demi melindunginya.
"Aku nggak bisa tenang, Mas. Lagipula kalau saja ia tidak melindungiku, mungkin sekarang dia tidak disini. Bertarung dengan maut."
Barra mendekati Btari. Membujuk gadis itu agar mau pulang dan istirahat dulu. "Nanti kita kesini lagi. Ada Alvian yang akan menjaga disini dan mengabari kita. Kamu perlu istirahat dulu." Bujuk Barra. "Lagipula kamu juga perlu tenang dulu."
Akhirnya Btari mengangguk. Barra benar. Tubuhnya harus istirahat sejenak dan ia juga harus menenangkan hati dan pikirannya.
"Kami pulang dulu, ya. Nanti tolong kabari ya." Ucap Barra segera menggenggam tangan Btari erat.
"Iya. Jaga Btari, ya." Sahut Alvian.
Setelah berpamitan, Barra dan Btari pun pulang. Gadis itu berjalan pelan dengan tatapan kosong. Wajahnya tak lagi pucat namun matanya tampak memerah. Barra tidak berkomentar apapun. Ia hanya bisa menguatkan Btari melalui genggaman eratnya pada tangan mungil gadis itu.
Perjalanan pulang terasa lebih sunyi dari biasanya. Btari masih diam dan sorot matanya tampak kosong. Barra sesekali meliriknya, merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa shock akibat kejadian tadi.
Pikirannya melayang ke Adam. Sikap Btari, cara gadis itu begitu terpukul dan panik saat melihat Adam terluka—semuanya membuat prasangka dalam kepala Barra semakin kuat.
"Mereka pernah ada sesuatu, kan?"
Barra mengepalkan kemudi lebih erat, namun tidak mengatakan apa pun. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi Btari.
Saat mobil akhirnya berhenti di depan rumah, Btari masih belum bergerak. Barra menghela napas dan melepas sabuk pengamannya.
"Ayo turun."
Btari menoleh sekilas, seperti baru menyadari mereka sudah sampai. Ia mengangguk kecil, lalu membuka pintu dan keluar tanpa suara.
Barra mengikutinya masuk ke dalam rumah, kemudian menutup pintu dengan pelan.
Setelah memastikan Btari melepas sepatunya dan berjalan masuk ke dalam kamar, Barra menyandarkan punggungnya ke dinding dan mengusap wajahnya dengan frustasi.
Btari tidak bisa terus seperti ini. Ia perlu makan, perlu istirahat.
Dengan cepat, Barra melepas jas dan jam tangannya. Tak lupa ia menggulung kemejanya sampai siku lalu melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan makanan sederhana. Setidaknya sesuatu yang bisa mengisi perut Btari malam ini.
Saat ia sedang menuangkan sup hangat ke mangkuk, suara langkah pelan terdengar dari belakang.
Btari berdiri di ambang pintu dapur, masih dengan wajah yang sama—lelah dan kosong.
"Duduk." Barra menunjuk kursi di meja makan. "Aku yakin kamu belum makan sejak sore."
Btari tidak membantah. Tanpa banyak bicara, ia menarik kursi dan duduk.
Saat Barra meletakkan mangkuk sup di depannya, Btari hanya menatapnya tanpa nafsu makan.
"Aku nggak lapar," katanya pelan.
Barra mendesah, kemudian menarik kursi di sebelahnya dan duduk. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Btari dengan serius.
"Dengar, Btari. Aku tahu kamu masih kepikiran Adam, tapi jangan sampai kamu menyiksa diri sendiri. Makanlah, setidaknya beberapa suap. Kamu juga pasti perlu tenaga untuk memastikan kondisi Adam."
Btari terdiam, kemudian menatap Barra dengan ekspresi sulit dibaca.
"Kenapa kamu sepeduli ini padaku, Bar?"
Barra tersenyum kecil, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang lebih dalam.
"Karena kamu istriku, Btari."
Sekalipun pernikahan mereka hanya sebuah kontrak. Barra tidak bisa mengabaikan apa yang ia rasakan sekarang. Ia tidak bisa membiarkan Btari dalam kondisi seperti ini sendirian. Namun sebenarnya ia lebih tidak rela karena di luar sana seorang lelaki asing tengah bertarung untuk hidupnya demi menyelamatkan Btari, istrinya.