Nara Anjani Sukma berada di situasi harus menikah dengan adik angkat pria yang akan melamarnya. Sakti Pradana tidak menduga ia akan bertukar jodoh dengan kakak angkatnya. Dua karakter bertolak belakang, pertemuan tak terduga dan pernikahan mendadak seperti tahu bulat, drama rumah tangga apa yang akan mereka jalani.
===
“Sudah siap ya, sekarang aku suamimu. Bersiaplah aku buat kamu bahagia jiwa dan raga.” Sakti Pradana.
“Aku penasaran, apa milikmu bisa sesakti namamu.” Nara Anjani Sukma
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Cemburu
Bab 25
Badmood, itu yang Nara rasakan. Bukan karena pekerjaan yang padat atau masalah, tapi banyak yang menanyakan Sakti. Bahkan Martin pun merekomendasikan Sakti untuk ikut casting brand ambassador sebuah produk. Belum lagi rekan Nara yang merengek ingin menjadikan Sakti sebagai artis mereka.
Saat Weni mengatakan Sakti berada di bawah arahan Nara karena pria itu adalah suami Nara, tentu saja semakin heboh. Berita dan isu yang sebelumnya, dipikir hanya gosip nyatanya Nara serius sudah menikah.
“Pinter banget loh cari suami, selama ini jomblo sekali dapat langsung bikin heboh.”
“Kalau laki gue kayak Sakti, udah gue kekepin mulu. Nggak boleh keluar rumah dah.”
“Kayaknya karir dia bakal bagus, mau lu orbitin juga?”
Nara berdecak mengingat respon dan pertanyaan dari rekannya. Sungguh mengganggu dan menjengkelkan.
“Kak, apa aku harus ikut juga?”
Malam ini Nara akan ikut Sakti keluar kota. Meski besok weekend, Weni sering dilibatkan dalam acara Nara meski itu hal pribadi.
“Nggak usah, kamu fokus urusan di sini.” Nara menyerahkan ponsel kerja miliknya pada Weni. “Balas yang penting. Kalau Masalah Sakti jangan langsung di approve, koordinasikan dulu denganku.”
“Baik, kak.”
Tiba di rumah, Indro membawa tas dan perlengkapan Nara yang langsung diberikan pada Bibi untuk diantar ke kamar. Weni berpindah kendaraan, menggunakan motor miliknya untuk pulang. Sedangkan Indro masih stand by.
“Sore, opa,” sapa Nara langsung menghampiri. Agak menunduk untuk memeluk pria tua itu.
“Hm. Kenapa dengan wajahmu?”
“Ada apa dengan wajahku?” Nara menyentuh wajahnya.
“Cemberut dan murung begitu. Ada masalah dengan Sakti?”
Nara menggeleng. Masalahnya dia yang buat sendiri. Kalau saja tidak menawarkan Sakti sebagai model pengganti, tidak akan gusar dan kesal begini. Cemburu rasanya tidak mungkin, pikir Nara.
“Sakti bilang kalian mau pergi?”
“Iya, opa jangan aneh-aneh ya. Jangan mudah terpengaruh oleh dua wanita penggoda itu.”
“Nara, tidak boleh begitu.”
“Kenyataannya begitu,” sahut Nara.
“Sesibuk apapun, sempatkan urus resepsi kalian. Semua sudah ditangani WO, kalian tinggal urus yang penting saja.”
“Iya,” jawab Nara lagi. “Aku siap-siap dulu.”
Sampai di kamar, pintu balkon terbuka. Terdengar suara Sakti bicara, sepertinya sedang menelpon. Meletakan tas di meja rias, melepaskan aksesoris juga mengeluarkan ponsel. heels sudah tergeletak begitu saja. Nara menuju ranjang merebah dengan kedua kaki masih menjuntai ke lantai dan memejamkan mata.
Tidak lama Sakti pun masuk, langsung menutup pintu balkon karena baru saja merokok.
“Wah, posisi bagus ini.”
Nara langsung beranjak duduk, tidak ingin merealisasikan keinginan Sakti.
“Nelpon siapa pake sembunyi segala?”
“Bukan sembunyi cinta, aku sambil merokok.”
Duduk di samping Nara, bahkan merapatkan tubuhnya dan merangkul bahu wanita itu.
“Ish, geser. Bau rokok.”
“Kita sudah di kamar Ra, nggak ada yang lihat. Lanjut yang tadi pagi, yuk."
“Ish. Ngaco. Aku capek mau mandi terus tidur.”
Nara beranjak lalu melepas blazernya menyisakan blouse tanpa lengan. Sakti memperhatikan dan memandang lekuk tubuh istrinya sambil menelan saliva.
“Mandi boleh, tidur nanti aja di jalan. Kita berangkat habis maghrib biar nggak kemalaman."
“Aku ….”
“Tidak bisa, janji adalah janji.” Sakti menyela ucapan Nara, sudah tahu apa yang akan diucapkan wanita itu.
“Ada tawaran casting iklan juga sinetron. Kamu mau?” tanya Nara.
“Tidak,” sahut Sakti lalu menepuk pangkuannya. Ide konyol, tapi serius.
“Kenapa nggak mau?” tanya Nara sambil berkacak pinggang, meski ia senang dengan jawaban itu. Hanya menyampaikan saja tawaran dan peluang yang masuk untuk suaminya.
“Bukan bidang aku Ra, baru jadi model begitu aja udah rame medsos. Malah ada yang ngajak ketemuan segala.”
“Siapa? Mana aku lihat, biar Weni yang urus.”
Sakti kembali menepuk pangkuannya. “Sini dulu!”
Meski mulut mencibir dan berdecak, tapi Nara menjatuhkan tubuhnya di atas pangkuan Sakti dan mengalungkan tangannya di leher pria itu.
“Mana, aku lihat medsos kamu.”
“Sudah aku blokir, ngapain juga kayak gitu diladeni.” Tangan Sakti mengalung di pinggang istrinya.
“Serius kamu menolak tawaran itu? Kalau dilihat kamu ada bakat dan aku bisa bantu kamu.”
“Serius Ra. Memangnya kamu rela aku akan sibuk kesana kemari dan banyak dipuji perempuan di luar sana. Belum apa-apa, udah ada yang nawar, ngajak ML.”
“Hah, yang bener?”
“Sstt, udah aku blokir.”
“Ya nggak bisa gitu, aku mau lihat,” pekik Nara.
“Aman.” Sakti mengusap pah4 Nara. “Yang nggak aman aku, Ra. Tiap hari lihat kamu, tapi nggak bisa diapa-apain. Udah boleh belum Ra?”
Nara langsung beranjak dari pangkuan Sakti, menuju toilet.
"Mandi, ah."
“Ra, mandi bareng ya.”
Sakti mengejar dan Nara langsung menutup pintu toilet dan menguncinya.
“Kera Sakti, gil4.”
***
Suami idaman. Meski terbersit hanya di benak, tapi cocok disematkan untuk Sakti. Bagaimana tidak, biasa semua hal banyak diurus oleh Weni dan bibi. Termasuk menyiapkan koper dan perlengkapannya, tinggal arahkan lalu beres.
Kali ini Sakti yang mengurus semua, melarang Nara akan memanggil bibi. Nara menyebutkan apa yang akan dibawa. Sakti yang melipat dan memasukan ke dalam koper, juga kotak make up serta pernak-pernik lain. Jika Sakti hanya memerlukan satu koper kecil, Nara butuh koper besar.
“Kita makan dulu, baru jalan. Ayo, sayang,” ajak Sakti.
Nara bersandar dan selonjoran di sofa sambil bermain ponsel. Sebenarnya ia malas untuk ikut, selain sudah janji ia harus melihat sendiri apa yang dilakukan suaminya saat racing.
“Aku malas.”
“Hanya duduk dan tersenyum saja. Ada Marko, Indro juga ikut. Biar kamu tahu aktivitas aku. Kalau aku menang racing banyak yang minta foto, cewek-cewek dan ...."
“Ayo.” Nara langsung beranjak dari sofa menuju ranjang mengambil handbag. Sakti tersenyum menyaksikan itu.
Indro yang mengemudi. Semua koper sudah dimasukan ke dalam bagasi. Bahkan Nara sudah duduk manis di kabin tengah, Sakti masih menerima telpon.
“Lama,” gumam Nara.
Ada notifikasi pesan masuk di ponselnya.
[Nara, aku Samir. Bisa kita bertemu, ada hal yang harus kita bicarakan]
Nara mencibir membaca pesan. Merasa tidak ada urusan dengan pria itu.
[Tidak bisa, aku sibuk] balas Nara.
Sakti pun memasuki mobil dan mengarahkan Indro untuk jalan. Nara memeluk lengan Sakti dan menyandarkan kepalanya.
“Kakakmu chat nih.”
Menerima ponsel Nara dan membaca pesan itu, bahkan Sakti tersenyum dengan balasan istrinya.
“Nggak penasaran, mana tahu dia mau kasih informasi loh.”
“Info kalau kalian tukar jodoh dan pernikahan kita hanya ajang kamu balas dendam.”
“Samir bilang gitu?” tanya Sakti dan Nara mengangguk.
“Katanya kamu masih suka sama Rosa,” ujar Nara lagi.
“Kamu percaya?”
“Ya nggak lah. Aku sudah melihat sendiri sikap kamu sama Rosa kayak gimana, tapi berani macam-macam dengan Rosa atau uget-uget lain … aku buat kamu jadi kera loyo.”
Sakti terbahak dengan ancaman istrinya.
“Tidak mungkin sayang, karena aku setia. Kamu akan terpesona dengan kesaktianku dan tersakti-sakti, lihat saja nanti.”
“Siapa takut.”
“Oke, kita buktikan nanti!”
ada aja bahasa lo sak, kalau kata nara mah lebay tapi dia demen mesam mesem sendiri😂😂
heran orang ko ribet banget ya biarin aja toh mereka ini yang nikah. situ kalau iri ya tinggal nikah nih sellir nganggur 😂😂
gayanya ngentol abis ra ehhhhhh demen juga kan di sekop sekop kerasakti🤭🤣🤣🤣🤣
bakal gimana itu keseruannya???