Nusantara Alam Lestari, seorang wanita yang tak percaya cinta sejati. Suatu ketika, ia tak sengaja bertemu dengan seorang pria bernama Langit di Kala Sore di sebuah pinggir pantai di pulau Dewata.
Mereka berkenalan dan terlibat obrolan seru. Namun siapa sangka alkohol yang menemani obrolan mereka, membuat mereka hilang kendali dan membuat mereka terlibat cinta satu malam.
Keesokan paginya mereka terbangun oleh ketukan kencang di kaca mobil Kala, para nelayan setempat memergoki mereka berduaan di mobil tanpa busana. Di tengah kepanikan karena penggerbegan itu, Tari berhasil melarikan diri dari amukan para nelayan. Ia bisa kembali ke hotelnya dengan selamat dan terbang ke Jakarta meninggalkan Kala yang harus menghadapi amukan masa seorang diri.
Selang lima tahun kemudian Kala bertemu dengan dua anak kembar yang begitu mirip dengan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Setelah Lingga dan Lintang masuk ke kamarnya bersama Elok, tinggallah Kala dan Tari berdua di ruang tengah. Mereka berdua membahas kerja sama pengembangan Be Bread!
"Untuk ruko sebelah yang kita beli masih proses balik nama, kau yakin tidak mau pakai namamu?" tanya Tari untuk kesekian kalinya.
Kala serius dengan ucapannya untuk berinvestasi di Be Bread, beberapa hari yang lalu ia membeli sebuah ruko kosong yang berada tepat di sebelah Be Bread! Namun ia meminta Tari untuk menandatangani AJB tersebut.
Awalnya Tari sempat menolak, namun Kala meyakinkan ini untuk kelancaran usaha mereka sehingga akhirnya Tari setuju, tapi tetap saja hampir setiap hari Tari menanyakan, siapa tahu Kala berubah pikiran.
"No, Honey," ucapnya dengan lembut namun terdengar tegas dan yakin. "Berapa kali lagi kau mau menanyakan hal yang sama?"
Tari mengangkat bahunya. "Siapa tahu saja kan?!" serunya.
"Sekali aku bilang tidak, ya tidak. Aku tipe pria yang memegang teguh ucapanku," Kala menatap Tari lekat-lekat. "Dari pada kita membahas ini terus-menerus, lebih baik kita bahas yang lain," Kala merogoh saku celananya dan menemukan sebuah flashdisk. "Aku ingin menunjukan sesuatu padamu," ia mencolokkan flashdisk tersebut di laptop Tari.
Kala memperlihatkan design Be Bread! Yang semalam ia buat. "Jadi kurang lebih designnya seperti ini, nanti aku sempurnakan jika kau setuju," ucap Kala ia menjelaskan jika Be Bread! Kedepannya bukan hanya toko kue biasa tapi juga sebagi tempat nongkrong yang asik untuk berbagai kalangan.
"Di sini, bisa untuk anak-anak mahasiswa atau orang kantoran yang lagi mengerjakan deadline mereka," Kala menunjuk pada design bagian depan toko, kemudian ia bergeser ke samping. "Nah, kalau di sini bisa untuk ibu-ibu arisan atau tempat meeting," ucap Kala.
Tari nampak terpukau dengan design yang Kala buat. Toko itu nampak modern, dan nyaman, di tambah dengan adanya sebuah taman kecil dan air terjun buatan yang membuat suasana asri di dalamnya.
"Aku memperluas area dapur, agar Be Bread! Bisa menambah produksinya," ucap Kala. "Aku juga menyediakan ruang untuk menyimpan bahan baku yang lumayan besar, jadi kamu tidak perlu khawatir jika ada lonjakan harga. Untuk bahan-bahan kering kan bisa di stok."
Tari mengangguk setuju, selain karena modal yang ia miliki terbatas, ia juga tak memiliki cukup ruang untuk kenyimpan bahan baku sehingga ia sering kebingungan tatkala bahan-bahan membuat kue mengalami kenaikan.
"Kalau yang ini apa?" Tari menunjuk pada gambar tangga, kemudian bergeser pada area kosong di atas.
"Pemandangan malam hari di sana cukup indah, aku berencana membuat live music pada malam hari. Bagaimana menurutmu?"
Tari berpikir sejenak. "Kalau konsepnya seperti ini berarti menunya bukan hanya kue, tapi kita juga menyediakan minuman?"
"Ya, betul sekali. Kita sediakan juga menu minumannya, kopi yang kau buat kemarin untukku enak sekali. Kita bisa memasukan itu ke menu, bagaiamana?"
Ini seperti merombak total Be Bread! Investasi yang Kala tanamkan di toko ini tidak main-main, bagaimana kalau bisnis ini tidak berjalan sesuai harapannya? maka uang yang di keluarkan akan sia-sia, dan Tari akan menanggung rasa bersalah.
Tari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, bisnis ini berresiko besar baginya.
Kala menaruh tangannya di pundak Tari, ia mengelusnya dengan lembut. "Are you okay, honey?"
Tari memaksakan seulas senyuman. "Wow," cetusnya. "Designmu sangat bagus, aku sangat terkesan dengan konsep yang kau usung. Tapi menurutku, bagaimana kalau kita minimaliskan lagi? Misalnya kita tidak perlu menambah lantai dua?"
Kala mengerutkan keningnya, ia belum mengerti arah pembicaraan Tari. Tapi Kala tetap mengangguk sebagai respon menghargai pendapatnya. "Okay, berikan alasannya?"
Tari kembali terdiam cukup lama. "Minum coklat atau kopi panas, di temani oleh lembutnya chiffon green tea sambil nonton live musik. Menurutku perpaduan yang pas untuk mengusir penat setelah seharian bekerja."
"Tapi membutuhkan biaya yang cukup besar," akhirnya Tari mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
Kala langsung mengerti kekhawatiran tari. "Kamu pernah menjadi seorang content writer, kamu tahu persis bagaimana menaikan engagement di sosial media," ucapnya dengan penuh keyakinan. "Kau bisa pakai wajahku yang lumayan tampan ini." Kala tersenyum menaik turunkan alisnya.
Tari terbahak-bahak melihat ekspresi Kala. "Kau ini narsis sekali." Tapi harus Tari akui, bahwa Kala memang tampan, ia bersyukur ketampanan itu menurun pada kedua anak kembarnya.
"Setidaknya, aku pernah jadi model dadakan." Kala pun tertawa mengingat wajah dirinya pernah terpajang di billboard jalan tol.
Keduanya terdiam ketika mata mereka saling bertemu, perlahan Kala mengulurkan tangannya mengelus pipi Tari dengan lembut, ia merasakan kehangatan pada pancaran mata Tari, sama seperti pertama kali mereka bertemu.
Secara naluri Kala mendekatkan wajahnya, ia mengecup ringan bibir Tari. Tari memejamkan matanya, ia merasakan hangatnya bibir Kala menyesap bibirnya.
Masih jelas terasa dalam benak Kala bagaimana rasa bibir dan aroma tubuh Tari dalam pelukannya, lima tahun yang lalu. Kala memperdalam ciumannya, ia membelai lembut wajah Tari. "Tari, menikahlah denganku," bisiknya di sela ciumannya bersama Tari.
Seketika Tari membuka matanya, ia menjauh dari Kala. "Tidak, Kala!" ucapnya tegas tanpa keragu-raguan, ia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menikah denganmu.
"Kenapa? Apa kau tidak mencintaiku?"
Tari tidak bisa bilang jika ia tidak mencintai Kala, kedekatan yang terjadi membuat Tari semakin nyaman berada di dekatnya, bahkan saat ciuman tadi. Tari tidak bisa menghindar sebab ia pun menginginkan Kala.
"Apa ada pria lain di hatimu?" wajah Kala memelas, ia tak sanggup membayangkan jika ada pria lain yang Tari tunggu. "Oh tidak Tari, jangan katakan kau punya..."
"Tidak Kala. Tidak ada pria manapun di hatiku," ucap Tari.
Hati Kala langsung lega. "Kalau begitu menikahlah dengaku, aku ingin hidup bersama dirimu dan anak-anak."
Tari menatap Kala dengan prihatin, meski hatinya pun mulai mencintai Kala tapi ia tidak bisa menikah dengan pria itu atau pria mana pun. "Pernikahan tidak akan berhasil untukku, Kala," ia menghela napas berat. "Aku tidak bisa menerima resiko kegagalan dan rasa sedih yang mendalam seperti yang Ibu alami."
Kala menyentuh wajah Tari memintanya untuk menatapnya. "Orang tuaku juga berpisah, aku punya trauma yang sama seperti yang kau miliki. Tapi aku tidak mau membiarkan trauma itu menghantuiku, aku punya keyakinan bahwa aku akan berhasil membina rumah tangga bersamamu hingga mau memisahkan sesuai janji pernikahan."
Tari menggelengkan kepalanya, ia beranjak dan menjauh dari Kala. "Tolong jangan paksa aku Kala! Aku benar-benar tidak bisa. Kau menikahlah dengan wanita mana pun. Akan aku pastikan kita akan berteman baik dan menjadi orang tua yang baik untuk Lingga dan Lintang."
Kala beranjak dari tempat duduknya. "Aku mengerti," dari sorot mata Tari jelas tergambar ketakutan yang teramat dalam dan Kala merasakan itu. "Aku tidak akan memaksamu, tapi satu hal yang perlu kau tahu. Kalau tidak denganmu, aku pun tidak akan menikah." Ia mendekat dan mencium kening Tari sembari berpamitan.
rumput cari kuda.