Gadis dan Dara adalah sepasang gadis kembar yang tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.
Hingga Dara mengetahui bahwa ia punya saudara kembar yang terbunuh. Gadis mengirimkan paket berisi video tentang dirinya dan permintaan tolong untuk menyelidiki kematiannya.
Akankah Dara menyelidiki kematian saudaranya? Bagaimana Dara masuk ke keluarga Gadis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Freya Alana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan
Askara menunggui Dara yang sedang tertidur. Darius telah sampai kembali di Bali dan kini duduk di sofa memutar otaknya untuk membuat Anwar mengaku.
Dara terbatuk kemudian Askara menawarkan minum.
“Rara mau minum?”
“Bo.. do a ..mat.” Dara menjawab malas karena dia paling tidak suka dipanggil Rara.
Askara tersenyum jahil lalu meralat panggilnnya, “Dara, minum dulu, nanti tenggorokan kamu kering dan mulutmu bau.”
“Askara,” tegur Darius pada cucu keponakannya karena mengganggu Dara.
Pria itu tersenyum tapi menyodorkan gelas dengan sedotan ke Dara yang menatapnya marah.
“Nyebelin …”
“Gantian, biasanya kamu kan yang bikin Kakak sebel.”
“Ayah dan Bunda kemana? Dara mau sama Ayah dan Bunda.”
“Aaaw tayang-tayang, Adek Dala mau tama Aya dan Unda?”
“Ini orang!” Dara melempar boneka yang dibawakan Arum dari rumah ke arah Askara.
“Askara …” Tegur Darius lagi.
“Opa, dia kenapa ada di sini sih?” Dara memandang Askara dengan wajah sebal.
“Dara Anantara, siapa memang yang membawamu ke rumah sakit?” Askara bertanya.
“Irsad.”
“Iya emang dia, sih. Tapi Kakak yang pertama datang setelah mendengar kabar kamu selamat. Kakak yang ngurus ke sana kemari, maksa dokter terbaik di Bali buat merawat kamu. Ini kakak lagi berpikir membawa dokter syaraf dari Australia, biar kamu agak bener dikit gitu mikirnya.” Askara menjawab santai sambil menaik turunkan alis memancing emosi Dara.
“Opa, emang bener?”
Darius mengangguk sambil tertawa geli melihat ekspresi Dara.
“Askara dari dulu emang selalu jadi kakak buat Gadis. Sekarang dia jadi Kakak buat kamu.”
Dara menunjukkan ekspresi tidak percaya. Dua jarinya menunjuk ke arah kakak sepupunya tandai ia mengawasi dan berkuasa dibanding Askara.
“Kakak tu kasih contoh bagus ke adeknya.”
“Ouch! Iya iya, Kakak emang bukan Kakak yang baik. Tapi udah berubah. Kakak sekarang nggak punya pacar, nggak bandel lagi. Oya, katanya Oom Fauzan sama Tante Arum pulang ke rumahmu. Kapan-kapan ajak Kakak ke sana, ya.”
“Aku pengin pulang ke rumah di Bali.” Dara menutup matanya dengan bantal. Dulu kehidupannya sangat sederhana. Tidak bergelimang harta namun aman dan bahagia.
Kini, di balik sikapnya yang santai, Dara merasa waswas setiap waktu.
Darius mendekati cucunya.
“Maaf, Opa sekali lagi gagal melindungi kamu.”
“Opa, kita ini orang baik, nggak terpikir akan ada serang seperti itu. Masalahnya lawan kita hatinya sudah mati. Opa Anwar akan merasakan balasanku.”
“O-opa Anwar?” Askara tercenung dengan raut muka heran.
Dara tersadar karena Askara belum tahu mengenai perkembangan kasus.
“Kak, ngaku sekarang. Apakah Kakak bekerja sama dengan Opa Anwar? Jika ya, Dara akan memaafkan, dan melupakan. Asal Kakak beberkan semua dan mau bersaksi. Alamsyah bilang ada musuh baru selain Opa Anwar. Mungkin aja itu Kak Askara.”
“Opa Anwar juga membunuh Gadis?” Tanya Askara pelan.
Dara mengangguk.
Askara memejamkan mata. Dara memperhatikan betapa besar cinta kakak sepupu pada kembarannya.
“Dara, Kakak memang brengsek, tapi membunuh tidak pernah ada di kamusku. Percayalah. Kamu tau perasaanku pada Gadis, Kakak nggak mungkin menyakiti dia. Sesebal-sebalnya Kakak sama kamu, tapi Dara adalah adik. Kakak … Kakak nggak akan pernah sakitin kamu.”
“Alhamdulillah. Kak, jangan khawatir dengan posisimu di Anantara Group. Opa, jika Dara sudah selesai mengungkap kejahatan Opa Anwar Barnaba dan membayar hutang biaya rumah sakit Bunda, ijinkan Dara kembali ke Bali.”
“Dara, kamu nggak berhutang apa-apa. Itu hanya alasan Opa supaya kamu mau ikut dan tingga sama Opa. Dara, sejak Gadis meninggal, Opa nggak ada semangat hidup. Jika kamu ingin tinggal di sini, maka Opa akan ikut pindah. Biarlah Adrian dan Askara yang mengelola dan menjadi pemilik Anantara. Opa sudah punya cukup tabungan untuk diri sendiri dan anak cucu.”
“Tapi Opa …”
“Buat apa kekayaan kalau semua yang Opa sayangi sudah pergi. Umur Opa udah banyak. Kini Opa hanya ingin liat Dara bahagia. Kalau Dara nggak bahagia di Anantara, untuk apa Opa paksakan. Opa menyesal memaksakan semua pada Papamu.”
Dara mengulurkan tangannya.
“Opa, keluarkan Dara dari sini. Kita segera buat perhitungan dengan Anwar Barnaba.”
Darius meraih tangan cucunya.
“Opa udah nggak sabar melibas musuh dalam selimut itu.”
“Kakak ikut!” Askara memegang tangan Opanya.
Pintu kamar terbuka.
“Gadis juga ikut,” suara lembut membuat Darius, Dara, dan Askara hampir terkena serangan jantung.
Gadis berjalan masuk dituntun Fauzan dan Arum. Dara bagaikan melihat pantulan dirinya di cermin.
“Dara …” Gadis memanggil kembarannya. Matanya berkaca-kaca.
“Gadis …” Dara pun menyebut nama kembarannya dengan mata yang mulai menghangat.
Dara bangkit dari brangkar untuk mendekati Gadis yang jalan perlahan.
Keduanya berdiri berhadapan. Tangan Dara menjulur ke wajah Gadis. Jari-jarinya menyentuh wajah yang serupa dengannya.
“Ahamdulillah ya Allah.”
Sepasang anak kembar yang baru bertemu pertama kali saling berpelukan erat. Menumpahkan kerinduan, menghilangkan kesepian. Mereka tidak lagi sendiri, kini mereka berdua.
Tangis haru pecah. Darius tidak mempercayai penglihatannya. Gadis, cucu yang ia besarkan sendiri, yang sudah dikuburkan kini ada di hadapannya.
Dara dan Gadis saling mengurai pelukan. Mereka bersitatap, lalu keduanya tertawa bahagia dan kembali berpelukan.
“Dis …”
“Ra …”
Askara berdehem, tahu Dara tidak suka dipanggilan ‘Ra’.
“Kalau buat Gadis apa aja boleh, Kak,” ujar Dara yang bisa membaca pikiran Askara.
“Gadis …” Panggil Darius.
“Opa …” Gadis menoleh ke arah kakeknya yang kini berlinang air mata. Ia pun berjalan ke arah Darius dibantu Fauzan dan Arum.
“Maafin Gadis. Maaf harus berbohong pada Opa dan semuanya. Tapi kita semua dalam bahaya selama Opa Anwar masih bebas.”
“Kita selesaikan itu secepatnya. Opa kangen, Gadis.”
Darius memeluk erat cucunya. Dara tersenyum melihat keduanya.
“Dara sini.”
Darius lalu memeluk erat Gadis dan Dara. Kehampaan kini berangsur hilang. Sisa umurnya kini hanya untuk kebahagiaan Gadis dan Dara.
“Opa, kecekek,” ucap Dara sambil memukul lengan Darius yang masih kekar untuk pria di usianya. Darius dan semuanya tertawa.
“Ooops maaf. Ya Allah. Dara, Gadis, Opa mau sujud syukur dulu.”
Darius langsung menghadap kiblat untuk bersujud. Tak henti ia mengucap hamdalah karena melihat kedua cucunya berkumpul.
Setelah puas menumpahkan kegembiraan dan kelegaan pada Sang Khalik ia pun berdiri. Suasana menjadi haru. Fauzan dan Arum masing-masing menggandeng putri-putri Riza dan Sekar yang akhirnya berkumpul setelah pulihan tahun terpisah.
Askara tidak bisa melepas pandangannya dari Gadis.
“Dis …kamu selamat.”
“Kak … maafin Gadis udah bohong.”
“Kakak nggak pikirkan itu. Kamu sekarang ada di hadapan Kakak. Bener, kan, ini Gadis?”
Dara berdecak, Askara menghiraukan sindiran adik sepupunya.
“Ini bener Gadis, Kak.” Gadis menjawab dengan lembut sambil tersenyum.
Askara memalingkan wajah menghadap Dara.
“Jadi cewek tu kayak gini, lemah lembut, bukan kayak angin topan.”
Dara tergelak lalu memeletkan lidahnya.
“Bodo amat. Gadis, duduk sini. Ayah, infusan Dara udah bisa dilepas, kan? Dara udah sehat lagi, kok.”
Fauzan mengecup sisi kening keponakannya.
“Ayah tanyakan dulu, ya.”
“Ayah, Gadis mau nemenin Dara di sini, ya.” Gadis langsung menempel ke kembarannya.
“Gadis belom boleh terlalu cape. sebentar aja di sini lalu pulang ke villa Opa, ya?” Fauzan mengingatkan.
“Nggak mau. Gadis mau sama Dara.” Gadis langsung meraih tangan kembarannya.
“Kakak urus apakah Dara boleh dipercepat keluar rumah sakitnya. Setelah itu kita ke villa Opa. Kamu harus jelasin banyak hal, Dis.” Askara berinisiatif membantu adik-adik sepupunya.
“Siap, Kak.” Gadis menjawab sambil tersenyum manis.
Lagi-lagi Askara melirik Dara dengan gaya menyindir. Dara meraih bantal kecil hendak melempar ke Askara namun keburu dicegah Arum.
“Mbak Dara … Mbak Dara … eh jangan gitu sama kakaknya.”
“Nyebelin dia, Bun.”
Suasana kamar perawatan Dara menjadi semarak. Darius, Fauzan, dan Arum seakan tidak ingin berjauhan dari Gadis dan Dara yang kini lengket bagai perangko.
Seorang wanita dengan gaya elegan masuk ke ruang perawatan bersama Irsad.
“Tante Sarah … ini kembaran Gadis. Namanya Dara.” Gadis menyapa wanita itu.
“Maa syaa Allah, kalian bagai pinang di belah dua. Identik. Dara, saya Sarah Adinegara, mamanya Irsad Mumtaz. Selama ini saya dan tunangan Irsad yang merawat Gadis di Amerika.”
“Tunangan?” Batin Dara sambil berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Irsad hanya tersenyum tipis.
“Terima kasih Tante sudah menjaga Gadis,” balas Dara setelah menguasai diri lalu menyalami Sarah.
Begitu melihat Darius, tiba-tiba Sarah terdiam.
“Astaghfirullah. Anda Darius Anantara, bukan? Saya dan mendiang suami sangat mengagumi sepak terjang di dunia bisnis.”
Darius mengangguk hormat.
“Anda Sarah Adinegara, business woman sukses. Terima kasih Anda sudah merawat cucu saya. Jika ada biaya …”
“Ah sudah lah. Semua sudah terbayarkan karena Irsad mau pulang dan menikah dengan Alexa. Gadis juga membantu menyiapkan pernikahan mereka minggu depan. Kalian semua diundang, ya,” jawab Sarah dengan lugas.
Irsad Mumtaz maju lalu bicara pada semuanya, “Pak Darius, Dara, semuanya. Hari ini saya akan pamit. Kemarin saya mengajukan resign dari kepolisian. Sedih karena belum tuntas menyelesaikan kasus Dara. Tapi jangan khawatir, adik saya Arifin akan menggantikan. Saya akan menetap di Amerika untuk meneruskan bisnis Ayah.”
Darius tercengang tidak menyangka Irsad adalah putra dari pasangan pengusaha sukses.
Irsad melanjutkan lagi, “Dara, saat ini kepolisian masih belum bisa menindak Anwar karena belum ada bukti nyata. Walau Gadis sudah memberi kesaksian saat itu melihat Anwad Barnaba di mobil yang mendorongnya, tapi tidak ada bukti pendukung sehingga kesaksiannya akan mudah dipatahkan.”
Irsad merenung.
“Satu-satunya cara adalah dengan mendapatkan pengakuan langsung. Berkoordinasilah dengan Arifin sebelum bertindak apapun. Terutama kamu Dara.”
“Tenang, Sad. Udah ada gue yang jagain,” cetus Gadis sambil merangkul kembarannya.
“Kami harus pamit. Semoga saat kita bertemu di pernikahan Irsad, masalah kalian sudah diselesaikan dengan baik. Gadis, jangan lupa minum obat dan terus berlatih. Minta Opamu mencarikan terapis kaki terbaik. Okay semuanya, bye…”
Tanpa berlama-lama Sarah Adinegara berpamitan bersama Irsad yang untuk terakhir kali menatap Gadis sekilas. Sebuah tatapan yang tak luput dari pindaian Dara.
“Ah … ternyata wanita yang sudah mencuri hatimu adalah kembaranku sendiri.”
Dara menggelengkan kepala, membuang segala rasa yang saat ini harus dihilangkan karena ia harus fokus untuk membongkar kejahatan Anwar pada keluarganya.
“Dis, kita udah berdua sekarang. Kita harus bereskan Opa Anwar.”
“In syaa Allah.”
***
Sebuah pesan masuk ke hape Anwar dari seorang pengawal yang ditugaskan untuk memata-matai pergerakan keluarga Anantara.
Tangannya gemetar begitu melihat pesan yang tertulis.
Nona Gadis masih hidup. Sekarang sudah berkumpul dengan Nona Dara dan Tuan Darius.
Tangannya gemetar. Buah pahit kejahatan berbalik pada dirinya. Ia harus lebih berhati-hati. Terlalu banyak simpul yang lepas. Alamsyah bisa saja berkicau kepada Dara. Gadis bisa saja mengenalinya dari kejadian malam itu.
Dengan marah ia menggebrak meja.
“Okay, jika memang takdir membawa kita berhadapan, maka kamu akan melihat sisa keluargamu hancur di tanganku. Termasuk Ara.”
***
👍👍👍👍
❤❤❤❤
semoga mbak Authornya sehat selalu, sukses dan berkah, makasih mbak Author
❤❤❤❤
karyamu keren thor. good job
makasih yah kak
karyanya bagus
semoga nanti Makin banyak yang baca,Makin banyak yang suka
sukses selalu ❤️