Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6.
Setiap pagi, Kodasih menjemur buah buah kopi hasil panen terakhir di halaman depan joglo.
“Hust.. hust.. hust... “ teriak Warastri mengusir burung burung yang mematuk matuk buah kopi yang berwarna merah coklat.
“Nyi.. bulung bulung makan buah kopi Nyi, nanti abis..” Suara kecil Warastri sambil tangan mungilnya mengusir burung burung..
“Hust... hust... hust...” teriaknya lagi dengan bibir hingga mengerucut.
“Biar, mereka tidak akan menghabiskan.” Ucap Kodasih sambil tersenyum menatap Warastri.
“Pelut bulung kecil ya Nyi?” ucap Warastri lagi.
Dengan bibir masih tersenyum Kodasih mengangguk lalu tangannya kembali meratakan jemuran buah kopi.. “Biar mereka ikut mencicipi sisa masa lalu,” gumam nya dalam hati. “Karena yang tersisa kini hanya itu.”
Bila malam tiba , ia menyalakan pelita di jendela, menatap ke arah loji di bawah sana.
Dari jauh, loji itu tampak gelap dan diam. Namun di mata Kodasih, ia seolah masih bernapas. Mengeluarkan napas panjang seperti orang yang baru bangun dari mimpi panjang kolonialnya.
“Aku tidak marah pada siapa pun,” bisiknya suatu malam. “Hanya... ingin dunia tahu, tidak semua peninggalan harus dihapus. Ada yang perlu disembuhkan dulu.”
Angin dari kebun kopi meniup rambutnya . Suara serangga dari ladang bawah menyambung nyanyian malam.
Di pangkuannya, Warastri tertidur, memeluk guling kecil lusuh peninggalan loji.
Dan di bawah sinar bulan pucat, rumah joglo itu tampak seperti kapal kecil yang tenang, mengapung di lautan kabut Akar wangi.
Hari demi hari rumah joglo itu semakin tampak asri. Pardi, Pak Karto dan Pak Sastro memperbaiki kerusakan kerusakan. Mbok Piyah, Sanah dan Kodasih menanam segala rupa tanaman di halaman dan di kebun belakang.
Dan bersama perubahan itu, orang orang kembali berdatangan naik ke lereng tinggi, tempat rumah joglo berdiri
Mula mula hanya dua atau tiga orang. Mereka naik dari jalan setapak, berjalan pelan karena takut mengusik ketenangan lereng. Lalu semakin hari jumlah nya bertambah banyak. Bahkan kini ada yang datang dari dusun yang belum pernah mengirim utusan ke loji dulu. Ada pula yang datang diam diam, menyembunyikan wajah nya dari para penjaga Komite Rakyat di bawah sana.
Mereka datang membawa derita dan cerita. Cerita luka, cerita takut, cerita kehilangan. Kodasih mendengarnya satu per satu.
Suatu siang, seorang lelaki muda berdiri ragu di depan joglo. Baju nya compang camping, rambut awut awutan, mata nya bengkak seperti kurang tidur bermalam malam.
“Masuklah,” kata Kodasih, meski lelaki itu belum mengetuk pintu. Ia sedang menyapu halaman dengan sapu lidi, gerakannya tenang.
Lelaki itu menunduk.
“Saya … saya tidak tahu harus ke mana lagi, Nyi. Anak istri saya, sejak hujan badai besar, mereka… mereka tidak bicara.”
“Tidak bicara atau tidak mendengar?” tanya Kodasih tanpa menengok.
Lelaki itu terdiam lama. “Keduanya, sepertinya.”
Kodasih menepuk nepuk tanah dengan sapunya.
“Bawalah mereka ke sini besok pagi. Biar aku lihat dan dengar apa yang membuat mereka bungkam.”
Lelaki itu menangis dengan suara lirih. Ia bersujud penuh haru dan terima kasih, lalu pergi sambil menggenggam harapan yang baru saja ia temukan lagi.
Malam berikut nya, datang seorang perempuan muda dengan kain jarik lusuh. Di dada nya , bayi kecil menangis serak.
“Aku… mendengar Nyi Kodasih tidak menolak siapa pun,” katanya terbata. “Bayi ini … kata orang kampung, lahir dengan kutukan. Semalam, lampu rumah padam tanpa sebab. Air di jambangan hitam. Mereka bilang aku harus menyerahkannya kepada dukun kampung.”
Mbok Piyah hendak memotong kata kata itu , tapi Kodasih mengangkat tangan perlahan.
“Boleh kulihat bayinya?”
Perempuan itu maju. Di bawah cahaya pelita, bayi itu tampak biasa saja. Kecil, kurus, wajahnya memerah karena lelah menangis.
Kodasih membelai ubun ubun nya.
“Ini anak sehat. Hanya terlalu banyak menerima ketakutan yang bukan milik nya.”
Bayi itu berhenti menangis seketika. Suara jangkrik mengisi sela keheningan.
“Nanti malam, tidurlah di sini,” kata Kodasih. “Esok pagi, bayimu akan kuat.”
Perempuan itu menggigit bibir, menahan lega. Tak ada mantra, tak ada ritual. Hanya tatapan Kodasih yang membuat udara terasa jernih. Beban derita nya sirna...
Seiring waktu, rumah joglo itu tak pernah benar benar sepi. Nama Kodasih ssmakin ramai dibicarakan orang sampai kota Kabupaten
Di antara suara burung pagi, langkah langkah manusia menuju ke rumah joglo, mengalir seperti sungai kecil.
Pada suatu senja, ketika sinar matahari jingga menembus celah bambu, tiga orang lelaki berdiri di batas halaman. Mereka bukan orang kampung. Baju mereka rapi, ada bau tinta dan kertas dari tubuh mereka.
Salah satu dari mereka membuka suara.
“Kami dari Komite Rakyat. Kami mendapat kabar bahwa orang orang berkumpul di rumah ini setiap hari.”
Pak Karto pucat. Mbok Piyah mengeratkan selendang nya, tubuh nya gemetaran ..
“Kami tidak membuat keributan, kami tidak melakukan perlawanan pada pemerintah baru.” Suara Pak Karto terdengar bergetar .
Kodasih, tampak tenang, duduk di lantai beranda bersama Warastri menata biji kopi yang selesai dijemur.
“Apa kalian datang untuk melarang?” tanyanya lembut.
Pemimpin rombongan itu terlihat ragu.
“Kami hanya ingin memastikan… tidak ada kegiatan yang membahayakan ketenteraman dusun.”
“Ketenangan tidak datang dari larangan,” kata Kodasih. “Ia datang dari hati yang sembuh.”
Salah satu lelaki itu menelan ludah, menundukkan kepala, dan berucap lirih..
“Nyi.. di samping itu kami datang dengan satu permohonan.. Anak salah satu anggota kami sakit keras. Katanya… hanya Nyi Kodasih yang bisa menolong.”
Sekejap, lereng Merapi menjadi hening. Bahkan angin seperti menunda tiupannya.
Kodasih mengangguk. “Besok pagi, bawalah dia ke sini. Aku tidak memilih siapa yang boleh sembuh.”
Ketiga lelaki itu saling pandang, lalu menunduk hormat sebelum pergi.
Pak Karto menghela napas panjang.
“Begitulah, Nyi. Orang-orang yang mengusir panjenengan … sekarang datang minta tolong.”
Kodasih menatap langit yang memerah jingga..
“Tidak apa. Luka selalu kembali kepada tangan yang bisa menyembuhkannya.”
Malam itu, pelita di jendela joglo terus berkedip pelan, menahan gelap yang merayap dari lereng. Angin membawa bau tanah basah, menggeser tirai tipis, dan membuat bayangan Kodasih serta Warastri bergoyang di dinding kayu. Di luar, serangga masih bernyanyi, seakan menjaga batas antara dunia yang tenang dan dunia yang penuh luka di bawah sana.
Namun malam, seperti segala hal di lereng itu, tak pernah berdiri diam...
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣