Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang Penuh Keputusan
Malam itu, di kediaman keluarga Rico, atmosfernya terasa begitu berat hingga nyaris mencekik. Lampu-lampu kristal yang biasanya memancarkan kehangatan, kini seolah meredup, mencerminkan kegelapan yang merayapi hati Eliana. Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan yang mengguncang jiwanya dengan Dinda di sebuah kafe. Namun, setiap detik yang berlalu hanya mempertegas kenyataan pahit yang harus ia terima. Bukti-bukti yang disodorkan Dinda tentang masa lalu kelam Eri dan Dea, putrinya, bagaikan belati yang menghujam jantungnya berkali-kali. Pengkhianatan ini terasa begitu pahit, membuatnya muak dan jijik pada sosok yang selama ini ia percayai, sosok yang ia impikan akan menjadi pendamping hidupnya.
Tanpa membuang waktu, Eliana menghampiri kedua orang tuanya, Om Rico dan Bu Lina Marlina, yang tengah bersantai di ruang keluarga. Biasanya, ruangan ini dipenuhi dengan tawa dan obrolan ringan, tempat mereka berbagi cerita dan kehangatan. Namun, malam ini, hanya keheningan yang menyelimuti mereka, keheningan yang sarat akan ketegangan dan kekecewaan. Eliana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita buruk ini, berita yang akan mengubah hidup mereka semua.
"Papa, Mama, ada yang harus aku bicarakan," ucap Eliana dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar.
Om Rico dan Bu Lina Marlina saling bertukar pandang, merasakan aura serius yang terpancar dari putri mereka. Mereka tahu, ada sesuatu yang penting dan mendesak yang ingin disampaikan Eliana, sesuatu yang mungkin akan mengguncang fondasi keluarga mereka.
"Ada apa, El? Ceritakan pada kami," sahut Bu Lina Marlina dengan lembut, mencoba menenangkan Eliana. Nada suaranya penuh kasih sayang, namun tersirat kekhawatiran yang mendalam.
Eliana duduk di antara kedua orang tuanya, menggenggam erat tangan mereka. Ia merasakan tangan mereka yang hangat, mencoba menyalurkan kekuatan dan dukungan. Ia mulai menceritakan semua yang baru saja ia ketahui dari Dinda, dengan suara yang semakin lama semakin lirih. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menekan dadanya, menghimpitnya hingga sulit bernapas. Ia menceritakan tentang hubungan Eri dan Dea di masa lalu, tentang kehamilan Dea yang disembunyikan, dan tentang bagaimana Eri berusaha menyembunyikan semua ini darinya, seolah ia hanyalah seorang bodoh yang bisa dipermainkan.
Mendengar cerita itu, kekecewaan mendalam menyelimuti hati Om Rico dan Bu Lina Marlina. Mereka merasa Eri dan Bu Henny telah mengkhianati kepercayaan dan kebaikan yang selama ini mereka berikan. Selama bertahun-tahun, mereka telah membantu keluarga Henny dalam berbagai hal, mulai dari memberikan pekerjaan yang layak hingga dukungan finansial yang tak terhingga. Mereka bahkan telah merencanakan masa depan yang cerah untuk Eri dengan menjodohkannya dengan Eliana, berharap Eri akan menjadi bagian dari keluarga mereka.
"Bagaimana bisa mereka melakukan ini pada kita?" gumam Bu Lina Marlina dengan nada kecewa yang mendalam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap tumpah membasahi pipinya. Ia merasa dikhianati oleh orang-orang yang selama ini ia anggap sebagai sahabat.
Om Rico mengangguk setuju, rahangnya mengeras menahan amarah. "Kita sudah membantu mereka sejak Henny terpuruk dulu. Aku memberikan pekerjaan di kantor agar mereka bisa bangkit dari keterpurukan setelah ditinggal suaminya. Dan sekarang, mereka membalasnya dengan cara seperti ini? Ini benar-benar tidak bisa dimaafkan." Nada suaranya bergetar menahan emosi, namun matanya memancarkan kemarahan yang membara.
Eliana menimpali dengan suara bergetar, air mata mulai membasahi pipinya. "Mereka bahkan tidak menghargai niat baik kita untuk menjodohkan aku dengan Eri. Padahal, jika Eri menikah denganku, semua perusahaan papa akan menjadi miliknya. Kita sudah menyiapkan masa depan yang gemilang untuknya, masa depan yang penuh dengan kemewahan dan kebahagiaan. Tapi mereka malah mengecewakan kita semua." Ia merasa dipermainkan dan diremehkan, seolah ia hanyalah sebuah boneka yang bisa diatur sesuai keinginan mereka.
Setelah beberapa saat hening, Om Rico berbicara dengan nada tegas, memecah kesunyian yang mencekam. "Kita tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Kita harus segera bertindak. Malam ini juga, kita akan menemui Bu Henny dan Eri. Kita akan membatalkan pertunangan ini dan memutuskan semua hubungan dengan mereka." Nada suaranya penuh dengan otoritas, menunjukkan bahwa ia tidak akan mentolerir pengkhianatan ini.
Bu Lina Marlina mengangguk setuju, air mata kini mengalir deras di pipinya. "Aku setuju, Rico. Kita tidak bisa membiarkan mereka terus mempermainkan kita. Mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka." Ia merasa marah dan terluka, namun ia tahu bahwa mereka harus bertindak tegas untuk melindungi diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Eliana merasa lega mendengar dukungan dari kedua orang tuanya. Ia tahu, ini adalah keputusan yang sulit dan menyakitkan, tetapi ia yakin bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya. Ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu apa-apa, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini dan mengambil tindakan yang diperlukan.
"Aku ikut dengan kalian," ucap Eliana dengan tekad bulat. "Aku ingin melihat sendiri bagaimana mereka akan menjelaskan semua ini. Aku ingin mendengar langsung dari mulut mereka, mengapa mereka tega melakukan ini padaku." Nada suaranya penuh dengan keyakinan, menunjukkan bahwa ia tidak akan mundur lagi.
Dengan tekad yang membara, mereka bertiga bersiap untuk menghadapi malam yang penuh dengan keputusan. Mereka tahu, malam ini akan mengubah segalanya. Hubungan persahabatan dan bisnis yang telah terjalin selama bertahun-tahun akan hancur berkeping-keping, meninggalkan luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Namun, mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus melindungi diri mereka sendiri dan keluarga mereka dari orang-orang yang telah mengkhianati kepercayaan mereka, orang-orang yang telah menusuk mereka dari belakang.
Eliana berharap ia cukup kuat untuk menghadapi segala konsekuensi dari keputusan ini. Ia tahu, ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh dengan air mata, malam yang akan menguji ketegaran hatinya. Namun, ia juga tahu bahwa setelah badai pasti akan ada pelangi. Ia percaya, suatu saat nanti ia akan menemukan kebahagiaan yang sejati, tanpa harus dikhianati dan dikecewakan, kebahagiaan yang pantas ia dapatkan.
Saat mereka bersiap untuk pergi, Eliana menatap potret keluarga yang tergantung di dinding. Di dalam foto itu, mereka semua tersenyum bahagia, tanpa beban dan tanpa prasangka. Mereka tampak seperti keluarga yang sempurna, keluarga yang saling mencintai dan mendukung satu sama lain. Eliana menghela napas panjang, mencoba mengingat kembali saat-saat indah itu, saat-saat ketika ia masih percaya pada kebaikan orang lain. Namun, ia tahu bahwa semua itu hanyalah ilusi, ilusi yang telah dirusak oleh kebohongan dan pengkhianatan.
Dengan langkah mantap, mereka keluar dari rumah, menuju ke rumah Bu Henny. Malam itu, langit tampak gelap dan sunyi, seolah ikut merasakan kesedihan yang mendalam di hati Eliana. Angin malam berhembus kencang, membawa serta harapan dan impian yang telah hancur berkeping-keping, harapan dan impian yang telah direnggut oleh orang-orang yang ia percayai. Eliana berharap, di balik kegelapan malam ini, akan ada secercah cahaya yang menuntunnya menuju masa depan yang lebih baik, masa depan yang penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian. Ia menggenggam erat tangan kedua orang tuanya, merasa lebih kuat dan berani. Bersama, mereka akan menghadapi badai ini dan keluar sebagai pemenang.
***********