NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 — Perpisahan yang Tidak Pernah Zahwa Minta

Pagi di kontrakan Zahwa terasa lebih gelap meski matahari sudah lama naik. Hatinya seperti belum bangun; berat, redup, seperti dipenuhi awan kelabu yang menolak pergi. Semalam ia tidur dengan mata bengkak, bukan karena sesal, tapi karena melepas sesuatu yang pernah ia perjuangkan habis-habisan.

Perceraian.

Kata itu masih terasa asing, meski suratnya kini tergeletak rapi di atas meja kecil, seperti selembar kertas yang tidak seharusnya pernah ditujukan padanya.

Zahwa duduk dengan punggung tegak, mencoba mengatur napas. Ia menatap lembaran itu, mencoba menghafal perasaan apa yang muncul,marah? Sedih? Kecewa?

Tidak ada satupun yang benar-benar menempel.

Yang ada hanyalah… hampa.

“Lima tahun,” bisiknya lirih. “Tapi pada akhirnya… kami berpisah seperti orang asing.”

Suara getaran ponsel memecah keheningan.

Nama itu muncul.

Daniel.

Untuk sepersekian detik Zahwa bingung: apakah ia harus mengangkat suara dengan formal? Atau ia masih boleh bicara seperti kemarin? Tapi akhirnya ia menarik napas dan menekan tombol hijau.

“Assalamu’alaikum,” suaranya lemah.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Daniel, suaranya stabil, hangat tapi tidak menye-menye, seperti seseorang yang tahu kapan harus tenang. “Zahwa… kamu oke?”

Seketika air mata Zahwa berkaca.

Entah kenapa, jika ada orang lain yang bertanya “kamu baik-baik aja?”, ia bisa menjawab “baik.”

Tapi begitu yang bertanya Daniel… jawabannya lumpuh.

“…Enggak,” kata Zahwa akhirnya, suaranya pecah.

Daniel tidak langsung menimpali.

Ia memberi ruang.

Hening beberapa detik, tapi bukan hening yang canggung, hening yang memberi izin Zahwa bernapas.

“Aku sudah baca dokumen yang kamu kirim tadi pagi,” kata Daniel pelan. “Aku paham… ini berat buat kamu.”

Zahwa menutup wajah dengan tangan. “Saya… saya merasa gagal, Pak.”

“Tidak.” Daniel menegaskan tanpa ragu. “Bertahan bukan selalu berarti menang, dan melepas bukan selalu berarti kalah.”

Kata-kata itu jatuh tepat di hati Zahwa.

Air matanya mengalir tanpa suara.

“Kalau kamu mau,” lanjut Daniel, “aku sudah siapkan jadwal konsultasi dengan orang yang bisa bantu kamu memahami posisi hukummu sebagai perempuan. Tidak usah kamu bayar apa-apa. Aku yang urus.”

“Pak… saya sungkan,” bisik Zahwa, suaranya gemetar.

“Tolong jangan,” balas Daniel. “Ini bukan soal sungkan. Ini soal kamu dapat keadilan. Kamu terlalu baik selama ini.”

Zahwa membungkam bibirnya.

Ada sesuatu di dalam dirinya yang menghangat, bukan cinta, bukan.

Lebih seperti… dihargai.

Didengar.

Dipercaya.

“Terima kasih, Pak Daniel,” ucapnya pelan.

“Kalau kamu butuh teman bicara, aku ada,” suara Daniel merendah. “Tapi batasnya jelas, Zahwa. Aku tahu posisi kamu.”

Zahwa mengusap pipinya cepat. Ia bersyukur Daniel yang mengingatkan batas itu duluan, karena ia pun ingin menjaganya.

“Saya masih harus menjaga hati saya, Pak,” katanya.

“Aku tahu. Dan aku akan bantu kamu menjaga itu.”

Ada sesuatu di dada Zahwa yang bergetar lembut, bukan baper, tapi rasa aman yang sudah lama hilang.

---

Setelah mematikan telepon, Zahwa duduk lama. Ia memandangi surat cerai itu, lalu memasukkannya ke dalam map dan menyimpannya di dalam lemari.

Ia sadar, hari ini bukan akhir hidupnya.

Hanya akhir dari satu bab.

Ia bangkit, berwudhu, lalu menunaikan Dhuha.

Suara isaknya bercampur dengan doa yang menetes lirih di sejadah.

“Ya Allah… kalau bukan dia jodohku, jauhkanlah tanpa menyakiti. Dan kalau memang bukan rezekiku, lapangkanlah hatiku.”

“Jaga aku… ya Rabb.”

Hati Zahwa sedikit tenang setelahnya. Tidak sepenuhnya pulih, tapi cukup untuk membuatnya melangkah ke dapur mini.

Hari ini ia harus mulai menyiapkan presentasi besar untuk kantor Daniel.

Presentasi yang akan menentukan apakah ia bisa bertahan secara finansial setelah perceraian ini.

Zahwa membuka bukunya, melihat catatan menu:

Rendang Premium

Ayam Ungkep Lengkuas

Lontong Sayur Betawi

Dendeng Balado

Sosis Solo

Kroket Ragout Ayam

Ia membacanya satu-satu, mencoba membayangkan plating, aroma, tekstur, hal yang dulu menjadi cara ia mencintai keluarganya. Sekarang menjadi cara ia mencintai dirinya sendiri.

“Zahwa.”

Ia memanggil dirinya sendiri lirih, memberi afirmasi yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.

“Kamu bisa. Kamu kuat. Kamu layak bahagia.”

Ia mulai membuka peralatan masaknya, memotong bahan-bahan, menyusun folder foto-foto yang akan digunakan untuk slider presentasi. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi ia tetap melanjutkan.

Saat itulah suara notifikasi masuk.

Daniel.

> “Aku kirimkan template presentasi. Sesuaikan dengan konsepmu. Kamu pasti bisa tampil lebih memukau daripada kemarin.”

Zahwa tersenyum kecil.

Selalu ada waktunya Daniel datang di sela-sela hari terberatnya.

> “Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan…”

Balasannya cepat.

> “Kamu tidak merepotkan. Kamu sedang berjuang. Aku cuma bantu sedikit.”

Hati Zahwa kembali menghangat.

Bukan jatuh cinta.

Bukan.

Tapi mungkin… rasa dihargai itu memang bisa menyembuhkan luka-luka kecil yang dulu ia simpan sendirian.

---

Sore hari, Zahwa duduk di depan laptop, membuka template presentasi yang Daniel kirim. Cantik, elegan, modern, tapi tetap cukup lembut untuk menampilkan karakter masakan rumahan Zahwa.

Ia menyusun foto, menggabungkan tulisan, memasukkan detail bahan premium yang ia gunakan, hingga jam menunjukkan hampir Magrib.

Ponsel kembali bergetar.

Daniel lagi.

> “Zahwa, besok kamu siap jam 9 ya? Mobil kantor jemput jam 8.30. Jangan telat.”

> “InsyaAllah, Pak.”

Lalu satu pesan tambahan yang membuat Zahwa terdiam lama.

> “Dan Zahwa… kalau nanti kamu gugup, ingat satu hal.”

“Kamu sampai di titik ini bukan karena Farhan meninggalkanmu.”

“Tapi karena kamu bangkit.”

Zahwa menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya jatuh lagi, bukan karena patah, tapi karena merasa dilihat sebagai dirinya sendiri.

“Terima kasih, Pak…” gumamnya lirih meski tidak mengirim pesan itu.

Malam ini, Zahwa menatap langit dari jendela kecil kontrakannya.

Gelapnya masih ada, tapi terasa tidak semenakutkan kemarin.

Ia tahu, hidupnya akan berubah.

Ia tahu, Allah tidak akan meninggalkannya.

Dan besok… presentasi itu akan menjadi langkah barunya.

Bukan sebagai istri seseorang.

Tapi sebagai Zahwa, perempuan yang akhirnya menemukan nilai dirinya sendiri.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!