NovelToon NovelToon
A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:480
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:

"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."

Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.

Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?

"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: Kemarahan Kim Jihoon.

“Hyung mau ke mana?” ujar Yoonjae.

“Menyelesaikan semua ini!” jawab Jihoon sembari berjalan setengah berlari keluar dari apartemen Yoonjae. Ia menekan tombol lift dengan tergesa, napasnya memburu, matanya tajam penuh bara. Begitu pintu lift terbuka, Jihoon langsung melangkah masuk dan menuruni lantai menuju basement.

Tanpa banyak tingkah, ia menyalakan mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi, seperti ingin menyalurkan amarah yang sudah menumpuk terlalu lama. Kesabarannya kali ini benar-benar habis. Selama ini, ia selalu berusaha mengabaikan ucapan Yoonjae tentang sang kakek—orang yang disebut-sebut sebagai penyebab hilangnya adik bungsu mereka, yang akhirnya membuat mereka kehilangan kasih sayang orang tua juga.

Sepanjang perjalanan, Jihoon terus berusaha menyangkal. Ia ingin percaya bahwa keluarga dari pihak ayahnya tidak sekejam itu terhadap keluarganya. Namun, bukti dan kenyataan yang ada justru membungkam semua pembelaan itu.

Faktanya, kakek, paman, dan bibinya adalah alasan mengapa mereka kehilangan orang tua dan adik mereka. Fakta yang sulit Jihoon terima, sebab sejak kepergian orang tuanya, merekalah yang merawat Jihoon, Yoonjae, dan Minjoon hingga mereka benar-benar dewasa dan bisa hidup mandiri.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, akhirnya Jihoon sampai di kediaman sang kakek yang berada di kawasan Seongbuk-dong—wilayah tenang, namun dipenuhi rumah-rumah konglomerat tua yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat dari luar pagar tinggi mereka.

Udara malam di Seongbuk-dong terasa dingin, tapi tidak sedingin tatapan Jihoon saat melangkah keluar dari mobil. Derap langkahnya terdengar mantap di jalan berbatu menuju gerbang besi hitam yang menjulang tinggi. Ia turun dari mobil dan langsung melangkah masuk ke kediaman sang kakek. Tangannya mendorong pintu sedikit kasar hingga beberapa orang yang sedang berjaga tampak terkejut melihat kehadirannya.

"Doryeon-nim, museun iriseyo? (Tuan muda, ada urusan apa?)” ujar seorang pelayan.

“Panggil Harabeoji keluar. Sekarang.” Suaranya rendah, tapi penuh ancaman.

Langkah-langkahnya cepat, bergema di lantai marmer, tak peduli pada tatapan bingung para pelayan yang mulai bermunculan dari berbagai arah. Aula utama rumah itu seperti biasa—luas, dingin, dan terlalu hening. Aroma kayu tua bercampur dengan wangi teh hitam dari ruang duduk membuat dadanya makin sesak.

Berulang kali ia menarik napas panjang sambil melirik jam di pergelangan tangan yang sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi dia tidak peduli. Malam ini, semuanya harus selesai.

Tak lama, Kim Yu-seok, sang kakek, muncul dari balik pintu ruangan dengan tongkat kayu di tangan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi keterkejutan—seolah ia sudah tahu cucunya akan datang menuntut jawaban malam ini.

“Kenapa kau datang larut begini, Jihoon?” Suaranya berat, seperti biasa, penuh wibawa dan tekanan. Jihoon melangkah maju, jarak mereka kini hanya beberapa langkah.

“Kenapa? Harabeoji benar-benar mau bertanya kenapa?” ujarnya dengan tawa pendek yang terdengar sinis dan getir.

“Apa maksudmu?” tanya sang kakek, alisnya menurun, tatapannya tajam menembus cucunya. Ia sedikit tersinggung mendengar nada bicara Jihoon yang meninggi.

“Di mana adikku?!” bentak Jihoon tanpa basa-basi hal itu membuat Kim Yu-seok mengerutkan kening.

“Yoonjae atau Minjoon tidak pernah datang ke sini. Terakhir kali saat Natal, dan itu bersamamu. Mereka bahkan jarang berkabar.” Suaranya tetap tenang, namun tatapannya kini berubah waspada.

“Ara… bukan Yoonjae atau Minjoon. Di mana dia?! Aku tahu semuanya, Harabeoji! Kau, Samcheon, dan Sukmo—kalian dalang dari hilangnya Ara! Kalian yang membuat kami kehilangan Eomma dan Appa!” Suara Jihoon pecah, penuh kemarahan yang nyaris meledak. Wajahnya memerah, urat di lehernya menegang, dan tangannya terkepal begitu keras hingga buku-bukunya memutih.

Wajah Kim Yu-seok seketika pucat, seolah rahasia yang ia simpan puluhan tahun kini kembali menghantui. Keheningan menekan ruang tamu mewah itu—hanya terdengar detak jam antik di dinding dan desiran napas berat dari dada Jihoon.

“Di mana dia, Harabeoji?! Ke mana kalian membuang adikku?!” bentak Jihoon lagi. Suaranya bergema di dinding tinggi rumah itu. Ia tak peduli lagi pada adab atau etika saat berbicara dengan orang yang lebih tua.

“Perhatikan ucapanmu! Kau bukan sedang bicara dengan teman sebaya mu!” seru sang kakek dengan nada tinggi, tongkatnya menghentak lantai marmer.

“Tidak ada yang perlu aku hormati dari orang yang mengkhianati darahnya sendiri,” desis Jihoon.

Tatapannya tajam, matanya berkilat marah. Tangannya terkepal semakin keras, seolah menahan diri untuk tidak menghantam meja antik di depannya. Udara di ruangan itu semakin pekat, dingin, dan tegang. Bahkan para pelayan yang tadi berdiri di dekat pintu kini saling pandang dengan wajah cemas, takut ikut terseret badai yang sebentar lagi akan pecah.

“Siapa yang mengkhianati? Kau ini ada-ada saja… adikmu itu hilang karena kelalaian rumah sakit. Lagipula, untuk apa Harabeoji membu—” Ucapan itu terhenti karena Jihoon memotong cepat.

“Karena Harabeoji membenci bayi perempuan! Karena itulah Harabeoji membuang Ara!” Suara Jihoon pecah, bukan karena lemah, tapi karena amarah yang menekan dadanya hingga terasa sesak. “Kau tahu? Karena itu aku kehilangan Eomma dan Appa! Setelah mereka meninggal, kalian merawatku seperti malaikat… tapi nyatanya, kalianlah yang merenggut semuanya dariku!” Tangannya bergetar hebat, rahangnya mengeras, seolah menahan diri agar tidak menghancurkan apapun di ruangan itu.

“Kim Jihoon, jaga nada bicaramu! Apa yang kau katakan barusan?” Suara Kim Yu-seok meninggi, tapi matanya tak sepenuhnya tenang—ada kilatan panik yang jarang terlihat di wajah tuanya.

“Membenci? Apa maksudmu? Apa aku terlihat tega membuang cucuku sendiri? Di sini yang kehilangan bukan hanya dirimu yang kehilangan orang tuamu, tapi aku juga kehilangan anakku dan menantuku—” lanjut nya dengan nafas sedikit tersengal karena usianya.

“Ya! Dan itu semua karena ulah Harabeoji sendiri!” potong Jihoon tajam, suaranya menusuk udara dingin yang menggantung di ruangan. “Eomma dan Appa meninggal karena kalian mengambil Ara! Bayi yang bahkan belum sempat melihat wajah orang tuanya… tapi sudah Harabeoji pisahkan!” lanjut Jihoon yang mana kata-kata itu jatuh seperti pukulan keras di tengah ruangan.

Hening.

Detik jam dinding terdengar jelas, memotong kesunyian yang menyesakkan. Napas Jihoon memburu, matanya memerah menahan gejolak yang mengamuk di dada. Sementara Kim Yu-seok berdiri kaku, tongkatnya tergenggam erat, seolah mencari pegangan dari kenyataan yang mulai menggoyahkan harga dirinya.

Di tengah ketegangan itu, terdengar suara langkah pelan menuruni tangga marmer. Seorang pria dan wanita paruh baya muncul dari lantai atas—keduanya mengenakan piyama sutra hitam yang sama, wajah mereka menyimpan sisa kantuk yang kini tergantikan oleh kebingungan dan kecemasan.

“Adeul… ada apa ini? Wae geurae? Kenapa datang malam-malam begini? Apa ada yang darurat?” tanya wanita itu—meski usianya tak lagi muda, kecantikannya masih terpancar, namun kini wajahnya dibayangi kekhawatiran. Jihoon menatapnya lama—Sukmo Hyo-jin, wanita yang dulu ia anggap pengganti ibu, yang dulu merangkulnya tanpa ragu ketika ia kehilangan segalanya. Tapi malam ini, tatapan itu hanya memantulkan luka dan pengkhianatan.

“Sukmo… masih bisa bertanya ada apa?” suara Jihoon lirih, tapi nadanya dingin seperti air yang membeku di musim dingin Seoul.

“Kenapa ini, Jihoon-ah?” sahut Kim Sang-hyun—pamannya, kakak dari ayahnya—selangkah maju. Tapi begitu mata Jihoon beralih padanya, tatapan itu tajam seperti pisau yang siap menebas segalanya.

“Di mana adikku? Ke mana kalian membuang adikku?” suaranya kini gemetar, tapi penuh daya ledak yang tertahan.

Pertanyaan itu membuat keduanya membeku. Mereka hanya berdiri di tempat, terpaku, tanpa satu pun kata keluar. Reaksi yang sama tergambar di wajah pucat sang kakek. Dan bagi Jihoon… diam itu bukan sekadar jawaban—itu pengakuan yang paling menyakitkan.

“Ke mana kalian membuang adikku?” ulang Jihoon.

Pertanyaan itu kembali keluar dari mulutnya—lebih berat, lebih menekan. Nada suaranya tajam, seperti bilah yang diseret di atas batu basah. Udara di ruangan itu terasa menegang, seolah bahkan dinding tua rumah itu ikut menahan napas.

Keduanya tetap berdiri di tempatnya, tatapan mereka saling bertukar cepat, seolah mencari jawaban yang aman. Wajah pucat mereka adalah jawaban paling menyakitkan bagi Jihoon malam itu.

“Adeul… apa yang kau katakan? Adik apa? Yoonjae dan Minjoon baik-baik saja,” ujar sang bibi dengan nada berusaha tenang, meski ujung suaranya bergetar tak stabil. Jihoon mengabaikannya. Tatapannya tajam menusuk, nadanya sedingin musim dingin di Seoul.

“Ke mana Samcheon dan Sukmo membuang Ara?” tanyanya lagi, kali ini dengan tekanan yang lebih kuat.

Hening.

Bibir Sang-hyun sedikit terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Sukmo menunduk sesaat, lalu menatap Jihoon lagi—mata yang mencoba bersikap tidak tahu, tapi sorotnya penuh kecemasan dan rasa bersalah. Jihoon mendengus pelan, lalu melangkah mendekat, suaranya semakin dalam dan berat.

“Jawab aku!” bentaknya keras, menggema hingga membuat pelayan yang tadinya mengintip dari sudut ruangan saling bertukar pandang dengan wajah cemas.

“Jihoon-ah… kau lelah. Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan. Ara yang kau maksud—” Ucapan Sukmo terhenti seketika saat Jihoon memotong cepat.

“Jangan pura-pura tidak tahu! Sejak awal kalian semua bersekongkol! Harabeoji, Samcheon, Sukmo—kalian menutupi ini selama puluhan tahun. Apa kalian pikir aku akan diam sekarang?!” suaranya bergetar hebat, matanya berkilat seperti bara yang siap menyambar apa pun di hadapannya.

“Cukup! Tidak ada yang dibuang. Ara hilang… itu saja!” ujar sang kakek, mencoba mempertahankan wibawanya. Tapi tawa hambar lolos dari bibir Jihoon, nyaring dan getir.

“Hilang? Hilang seperti barang yang bisa kalian lupakan di mana menaruhnya? Ara itu manusia! Adik kandungku! Dan kalian membiarkannya lenyap demi harga diri keluarga ini?” Cecar nya, Jihoon memalingkan wajah, menatap pamannya dan Sukmo yang masih diam membisu di tempatnya—membisu, tapi bukan berarti tak bersalah.

“Kita semua tahu, Jihoon… Dulu saat kalian masih kecil, kau belum mengerti. Saat itu pihak rumah sakit mengatakan bahwa bayinya hilang…” suara Kim Yu-seok terdengar berat, seolah berusaha meredam badai.

“Berhenti mengulang kebohongan yang sama!” potong Jihoon tajam.

Suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah yang sudah di ambang ledakan. “Suster Song Hee bilang… Harabeoji yang menyuruhnya keluar dari ruangan bayi itu. Dan Samcheon serta Sukmo yang membawanya pergi diam-diam, saat semua keluarga berkumpul di ruang rawat Eomma!” Napasnya memburu, dadanya naik turun, rahangnya mengeras menahan gejolak yang seolah akan meledak kapan saja. Tatapannya berpindah ke kakeknya lagi—tajam, menuntut, menekan.

“Apa kalian pikir aku anak lelaki sebelas tahun yang bodoh? Ini sudah berlalu dua puluh dua tahun, Harabeoji… dan aku masih tidak tahu di mana adik bungsuku sekarang.” Ucapan itu seperti cambuk, membuat Kim Yu-seok menatap cucunya dengan sorot tajam namun diselimuti kecemasan yang sulit disembunyikan.

“Itu tidak benar. Kau tidak ingat apa pun, Jihoon. Kami yang tahu. Pihak rumah sakit sendiri mengakui kelalaiannya,” ucapnya datar, kembali bersembunyi di balik alasan yang sama.

Jihoon melangkah maju satu langkah—jaraknya kini nyaris membuat napas mereka bersentuhan. Aura marahnya begitu terasa, panas dan menusuk, membuat semua orang di ruangan itu menunduk tak berani menatapnya.

“Tidak ingat? Aku ingat, Harabeoji… aku ingat semuanya! Aku ingat bagaimana aku menggendong adikku untuk pertama kali, hingga melihat kedua orang tuaku pergi dari dunia ini satu per satu.” Ia terkekeh pelan—getir, menyakitkan.

“Dan kalian semua… selama dua puluh dua tahun… duduk di depan meja makan yang sama denganku, bersikap seolah kita keluarga, sambil menatap mataku, tanpa sedikit pun rasa bersalah!” lanjutnya. Suasana kembali hening, seolah udara di ruangan itu membeku.

Sang bibi menggenggam lengan suaminya, namun Sang-hyun tetap tak bersuara.

“Bicara, Samcheon! Katakan padaku… di mana Ara?!” seru Jihoon lagi. Suaranya pecah, bukan karena lemah, tapi karena amarahnya telah melewati batas. Namun yang ia dapat hanyalah keheningan. Dan bagi Jihoon… diam itu terasa lebih menyakitkan daripada kebohongan paling keji sekalipun.

“Adeul-ah... semua yang kau pikirkan itu tidak benar...” Suara Sukmo terdengar pelan, bergetar, seolah mencoba menenangkan—tapi justru membuat bara di mata Jihoon semakin menyala. Jihoon tertawa pelan—tawa hambar yang tak membawa sedikit pun rasa humor.

“Sukmo juga perempuan… kenapa bisa tega membuang bayi dan memisahkannya dari orang tuanya sendiri? Di mana hati nurani Sukmo… sebagai wanita?” ujar Jihoon dengan tatapan menusuk, dingin namun menyimpan luka yang dalam.

Sang bibi terdiam. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Tangannya menggenggam lengan Sang-hyun lebih erat, seolah mencari kekuatan. Jihoon maju setengah langkah lagi—langkah yang membuat udara di sekitarnya terasa menekan.

“Ara itu bukan sekadar bayi. Dia darah daging keluarga ini. Tapi kalian memperlakukannya seperti aib yang harus disembunyikan.” Matanya menatap satu per satu wajah di hadapannya—Harabeoji, Samcheon, Sukmo—tanpa gentar.

“Apa harga diri keluarga ini lebih berharga daripada nyawa dan masa depan seorang anak? Apa salahnya dengan anak perempuan Harabeoji?!” Suaranya meninggi, namun masih terkontrol, dipenuhi rasa getir. “Dia bahkan tidak pernah meminta diberi pilihan—menjadi perempuan atau laki-laki. Tapi pemikiran kolot kalian itu… telah membuatku kehilangan segalanya.” lanjut nya yang mana kata-katanya menggantung berat di udara.

Keheningan kembali turun—lebih pekat, lebih dingin. Jihoon bisa mendengar detak jantungnya sendiri, keras dan tidak beraturan. Di matanya, diam mereka bukan tanda kebingungan—tapi pengakuan tanpa kata.

“Katakan…” suaranya merendah, tapi tajam seperti pisau. “Atau aku akan menggalinya sendiri. Dan percayalah…” Ia menatap satu per satu wajah itu, menahan amarah di ujung napasnya.

“Jika aku menemukannya tanpa bantuan kalian, jangan harap aku akan kembali ke rumah ini lagi.” teriak nya. Ancaman itu jatuh seperti palu yang menghantam lantai marmer—berat, dingin, memecahkan udara yang sudah tegang.

Namun, tak satu pun dari mereka bersuara. Yang terdengar hanyalah detik jam dinding... dan dentuman detak jantung Jihoon di telinganya sendiri. Jihoon terkekeh pelan, getir, seperti orang yang sudah terlalu muak untuk marah.

“Baiklah…” Napasnya berat, namun matanya tetap menatap mereka satu per satu. “Aku akan temukan dia sendiri. Dan kalian dengar baik-baik… mungkin aku lebih baik tidak punya keluarga daripada punya keluarga seperti kalian.” kalimat itu meluncur dengan dingin, tapi mengiris lebih dalam daripada teriakan.

Tanpa menunggu reaksi, Jihoon berbalik. Langkahnya menghentak lantai, suaranya memantul di seluruh aula. Pintu utama dibukanya lebar, angin malam yang menusuk langsung menerpa wajahnya. Di belakang, mereka tetap diam—terpaku di tempat, seperti patung yang baru saja kehilangan ruh. Sang kakek memegang tongkatnya lebih erat, sang bibi memejamkan mata, dan Sang-hyun hanya menatap punggung keponakannya yang semakin menjauh.

Pintu tertutup keras. Sunyi kembali merajai rumah itu, tapi bagi mereka… gema suara Jihoon akan terus menghantui.

Setelah keluar dari kediaman sang kakek, rahang Jihoon mengeras. Matanya memerah, napasnya berat, dan jemarinya mencengkeram kemudi dengan kuat. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi—mungkin terlalu tinggi—menyusuri jalan malam yang sunyi. Berkali-kali dia mengumpat, seolah kata-kata kasar itu satu-satunya cara untuk menahan amarah yang membuncah.

Bayangan masa lalu menyeruak tanpa ampun. Ingatan saat bayi itu—adik yang bahkan belum sempat ia peluk lama—hilang begitu saja. Wajah kedua orang tuanya yang hancur, perlahan meredup dari hari ke hari, hingga maut menjemput mereka dalam keadaan terpuruk. Dan sejak saat itu, Jihoon mengambil peran ganda: menjadi kakak sekaligus orang tua bagi Yoonjae dan Minjoon.

Dia selalu percaya, meski hidupnya keras, keluarganya—sang kakek, paman, dan bibi—tetaplah tempatnya pulang. Tapi kini, kenyataan menamparnya tanpa ampun. Ternyata, orang-orang yang selama ini ia anggap pelindung justru adalah penyebab luka terdalamnya.

Ketika mobil memasuki basement apartemen milik Yoonjae, tangisnya pecah bersamaan dengan matinya mesin mobil. Jihoon menunduk, menghela napas kasar, lalu berkali-kali membenturkan dahinya ke setir, seolah berharap rasa sakit fisik itu bisa mengalahkan rasa perih di dadanya.

Hening.

Parkiran luas itu hanya diisi oleh suara tangis seorang anak yang dikhianati keluarganya sendiri. Kim Jihoon—pria yang dikenal dingin, penuh ambisi, dan selalu menguasai keadaan—kini tak lebih dari anak kecil yang kehilangan arah. Bahunya bergetar, isaknya patah-patah. Fakta yang baru ia ketahui hari ini seperti merobek seluruh pondasi hidupnya.

Hampir setengah jam ia terpuruk di sana sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Kakinya terasa berat saat melangkah menuju lift, tubuhnya lunglai oleh lelah fisik dan mental. Hari ini terlalu panjang—pekerjaan, konfrontasi, dan kebenaran pahit yang menelanjangi hatinya habis-habisan.

Begitu lift berhenti di lantai yang dituju, pintu terbuka dengan bunyi gesekan mekanis yang dingin. Jihoon melangkah keluar tanpa tergesa, ujung jasnya bergoyang ringan mengikuti langkah lebar kakinya. Dia menempelkan kartu akses ke panel pintu apartemen Yoonjae—bunyi klik tipis terdengar, diikuti pintu yang terbuka perlahan.

Aroma khas ruangan yang dipenuhi wewangian kayu dan citrus langsung menyambutnya. Lampu temaram memantulkan cahaya ke permukaan kaca besar yang membentang dari lantai ke langit-langit, memperlihatkan panorama Gangnam dari ketinggian. Dari situ, jembatan Sungai Han membentang gagah, lampunya berkedip seolah menjadi batas antara dua dunia yang berbeda.

“Hyung sudah kembali?” suara Yoonjae terdengar tenang, nyaris datar, tanpa menoleh sedikit pun. Dia berdiri di depan kaca itu, punggungnya tegak, tatapannya tertuju pada lampu kota yang berkilau di kejauhan.

Jihoon tidak menjawab. Dia hanya berjalan menuju sofa kulit berwarna hitam yang tampak seolah dipesan khusus untuk ruangan ini. Tangannya meraih botol tinggi di meja, menuangkan cairan putih ke dalam gelas kristal tinggi. Begitu meneguknya, dinginnya minuman itu mengalir turun ke tenggorokan, sedikit meredakan panas yang mengendap di dadanya.

“Mereka tidak mau mengakuinya,” ucap Jihoon akhirnya, suaranya berat dan penuh sisa amarah.

“Sudah kuduga,” Yoonjae menjawab sambil berbalik dan berjalan mendekat. “Sejak kapan ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya? Tapi setidaknya… Hyung sekarang tahu, mereka tidak sebaik yang Hyung pikirkan.” Ia ikut duduk di sisi sofa, jaraknya cukup dekat tapi tidak menyentuh. Jihoon menatap kosong ke arah meja, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan kaca itu.

“Sekarang kita hanya perlu fokus mencari Ara… hidup atau tidak, kita harus memastikan.” Ucapan itu membuat Yoonjae terdiam sejenak. Matanya menatap Jihoon, lalu mengangguk perlahan, menyadari beban yang kini mereka pikul sama beratnya.

...

"Abeoji bagaimana ini... mereka sudah tahu..." Ujar  Sang-hyun menatap ayah nya yang diam membisu sejak tadi.

1
Ramapratama
jangan jangan... adik yang hilang itu di adopsi keluarga Park kah?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!