"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana
Sekilas Aksa melihat dirinya di cermin, kaos polo warna putih dan celana warna denim. Sejak keluar bandara kemarin Adis menghubunginya, mengatakan jika ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Aksa menyanggupinya malam ini. Bersiap meninggalkan apartemennya menuju rumah orang tuanya.
Lampu mewah menggantung di sebuah ruangan dengan mewahnya, sofa gaya klasik dengan warna coklat muda bersiap menyambut tamu yang akan datang.
"Ada apa?" Aksa bertanya setengah berbisik pada Adis. Karena nampak lebih formal dandanannya. Tio pun tak mau kalah.
"Sibuk banget dari kemarin? kemana aja? sampai aku harus menghubungi Putra menanyakan keberadaan kamu," dengus Adis. Seharian kemarin Aksa sama sekali tidak mempedulikan ponselnya, dia sibuk dengan keadaan Binar.
Belum sempat menjawab ocehan Adis keponakan tampannya mendekat "Om Aksaaa, kita kembaran," Tio dengan senyum sumringahnya merentangkan kedua tangannya, memperlihatkan baju yang dikenakannya. Kaos warna putih sama dengan Aksa dipadu dengan celana pendek warna coklat. Aksa berjongkok agar sejajar dengan Tio, wajah manisnya menyambut anak kecil itu.
"Ohhh....iya, ganteng banget, sama seperti Om Aksa ya,?" senyum Aksa mengembang, sudah beberapa hari dia tidak bertemu dengan keponakannya itu. Tio mengangguk sambil tersenyum tentunya, kemudian dia berlari kecil meninggalkan ruangan itu.
Diana dan suaminya, Herman Wijaya keluar dari kamarnya, Diana mendorong kursi roda suaminya. Melihat Ayahnya keluar dari kamar, Aksa bergegas mendekat dan mengambil alih Ibunya untuk mendorong kursi roda tersebut. Terlihat Ayahnya pucat tapi tetap menampakkan rona bahagia hari ini. Yang masih menjadi teka-teki, belum terjawab.
"Ada apa sih Dis, perasaan seingatku hari ini tidak ada yang ulang tahun," bisik Aksa lagi setelah membawa Ayahnya berkumpul di ruangan ini.
"Nanti aja deh ceritanya," bisik Adis, pandangannya memperhatikan Ayah dan Ibunya bergantian tanpa sepengetahuan mereka berdua, Aksa mengerutkan dahinya, semakin tidak mengerti.
"Tamunya sudah tiba nyonya," salah satu asisten rumah tangga memberikan informasi kepada Diana. Wanita itu tersenyum senang, Herman memberikan kode agar istrinya bergegas ke depan menyambut tamunya. Seorang laki-laki dengan istrinya beserta dengan wanita cantik baru saja turun dari mobil warna putih. Diana mendekat dan segera menyambut kedatangan tamu istimewa hari ini.
"Selamat datang jeng Anita, makin cantik saja," puji Diana pada wanita yang dipanggil Anita itu, nampak cantik walau tak lagi muda. Mereka melakukan ritual cipika cipiki. Di sampingnya laki-laki berkemeja warna hitam dan berkacamata, Diana tidak akan lupa. Ya, dia adalah rekan kerja suaminya. Dan yang pasti, si gadis jelita yang berada di antara mereka. Diana menyalami laki-laki itu.
"Selamat datang di rumah kami setelah beberapa lama kita tidak bersua," sapanya.
"Herman di mana?" tanya laki-laki itu.
"Oh ada di dalam, lagi kurang enak badan," jawab Diana. Diana melihat ke arah yang lain, seorang gadis dengan kaki jenjang, mata bening, rambut panjang, di pergelangan tangan kanannya melingkar tas dengan merk tertentu, warna hitam senada dengan gaun yang dinekanakannya, nampak serasi. Membuat aura kecantikannya semakin nampak memukau.
"Ini pasti Rose, kan? sama seperti mamanya, sama-sama cantik," puji Diana tulus, dia benar-benar terkesima dengan kecantikan Rose.
"Ah tante...terima kasih atas pujiannya, saya jadi besar kepala." Jawabnya sambil tertawa kecil. "Saya juga tidak pernah melupakan tante, jadi saya tahu betul tante juga tetap sama. Cantik. Apa kabar tante?." Rose tak kalah memuji.
"Baik sayang, ayok masuk ke dalam. Kita sudah berkumpul di sana, ayo." Diana mempersilahkan tamunya segera masuk ke ruang yang sudah disiapkan.
Aksa melihat tamu datang, Aksa berdiri menyambutnya, begitu juga Adis, sedangkan Tio sudah main tak tau di mana, tidak ikut menyambut.
"Ini pasti Aksa dan ini Adis?," tebak Anita.
"Iya tante, selamat malam Tante dan Om," Sapa Adis dengan ramah, Aksa mengangguk sambil melemparkan senyumnya.
"Wah sudah lama banget ternyata kita ketemu ya jeng?"
"Iya, sudah hampir 7 tahunan," Diana mengingat. "Mari silahkan duduk," Diana mempersilahkan. Mereka semua senang dengan pertemuan ini, terlebih Herman dan Diana. Mereka saling bertukar kabar, menanyakan kabar bisnis masing-masing dan basa-basi juga tentang banyak hal.
"Oh ya, ini Rose baru pulang dari luar negeri, baru menyelesaikan S2 bisnisnya, eh saya pikir cuma sebentar, ternyata disana dia kerasan dan membuka bisnis," Anita melirik putrinya. Rose melihat ke arah Ibunya lalu mengangguk pada Diana dan juga Herman, sepersekian detik dia melihat ke arah Aksa yang dari tadi hanya terdiam di ruangan ini. "Dia perlu teman baru, karena teman-temannya sudah pada sibuk," imbuh Anita.
Adis izin sebentar untuk ke belakang, memantau asisten rumah tangganya untuk menata jamuan malam ini. Tak berapa lama Aksa mengikuti Adis.
"Tunggu Dis! Buruan cerita," Aksa melipat kedua tangannya dan bersender di tembok sambil menatap Adis yang memberikan arahan pada asisten rumah tangganya yang sedang menata jamuan makan malam di meja makan. Meja kayu jati yang kekar itu penuh dengan berbagai makanan tersaji.
"Dia cantik, kan?." Adis mengangkat kedua alisnya. "Ini di sini mbak," Adis memberikan arahan kembali.
"Baik mbak Dis," jawab asisten rumah tangga yang masih muda itu.
"Maksudnya?" Aksa menyipitkan mata.
Adis menarik tangan Aksa dan mengajaknya agak menjauh dari ruang makan. "Kenapa kamu kesini? harusnya kamu di sana saja," Adis malah memerintah.
"Kenapa sih,?"
"Papa,"
"Papa kenapa.?"
"Papa pengen mas Aksa nikah," Jawab Adis singkat.
"Lalu?"
"Apa lagi? sudah jelas. Tuh mas Aksa bisa kenalan sama Rose, cakep kan,?" Adis tersenyum sambil mengedipkan mata kanannya.
"Apa-apaan?" Aksa seolah protes mendengar penjelasan Adis, dari penjelasan singkat ini dia bisa menyimpulkan aroma perjodohan. Aksa menghembuskan nafas pelan, sorot matanya menajam. Ada rasa tak nyaman yang tiba-tiba menjalar di dadanya.
"Kamu jangan bercanda ya Dis, Papa lagi sakit, nggak seharusnya memikirkan hal-hal yang begini sekarang," protes Aksa.
Adis menatap kakaknya lama, lau menghela napas juga. Justru karena Papa sakit, Papa pengen lihat kamu menikah, Mas. Pengen tenang, itu kata beliau ke Mama...dan ke aku juga,"
Aksa terdiam. Nama Papa selalu punya kuasa lebih besar dari logika apapun yang dia miliki. Aksa menyandarkan punggungnya ke dinding , menengadah sebentar, seolah plafon itu mampu memberikan jawaban untuknya.
"Terus Rose,?" tanya Aksa akhirnya, datar.
"Rose itu pilihan Mama dan Papa. Keluarga baik, latar belakang tak kalah gemilang, pendidikan mentereng, bisnis juga. Cocoklah menurut versi Papa dan Mama," Adis menyahut jujur , kali ini tanpa senyum menggoda. "Tapi ya...tetep kamu yang jalanin.
Aksa mengulum senyum tipis, hampir tidak terlihat . Cocok menurut mereka. Kalimat itu terdengar asing tetapi juga familiar. Aksa baru saja berjibaku dengan perasaan yang bahkan belum sempat dia beri nama, kini semesta seolah menuntunnya menuju ke arah yang lain.
Dari kejauhan terdengar suara Diana memanggil mereka.
"Mas Aksa....Adis...ayo ke meja makan,"
Adis menepuk lengan Aksa pelan. "Pikiran aja dulu. Malam ini kenalan biasa. Jangan pasang muka tegang begitu, ingat Papa dan Mama. Terlebih Papa, nanti kelihatan tidak nyamannya." Adis mengingatkan.
Aksa tidak langsung menjawab. Dia segera mengikuti Adis yang sudah melangkah duluan. Langkah kaki Aksa jauh lebih berat dari saat dia datang tadi.
Rose duduk anggun di salah satu kursi, rambut panjangnya disampirkan di salah satu sisi bahu. Saat mata mereka bertemu, Rose tersenyum ramah, senyum yang terukur dan tenang. Aksa membalasnya sekilas, lalu duduk berhadapan dengannya.
Sepanjang makan malam, percakapan mengalir ringan. Tentang bisnis, tentang pengalaman Rose di luar negeri, tentang rencana kerja sama kecil yang entah sejak kapan dibicarakan oleh kedua orang tua mereka. Aksa lebih banyak diam, sesekali Adis memperhatikan mimik wajah saudaranya itu.
"Mas Aksa bekerja di bidang properti ya?" tanya Rose.
"Iya, jawab Aksa singkat. "Lebih banyak di managemen dan pengembangan."
"Menarik," sahut Rose antusias namun tulus. "Aku sempat kepikiran masuk di situ juga, tapi sementara masuk di retail dulu.
Aksa mengangguk, percakapan mereka mengalir begitu saja, terlalu rapi. Tidak ada gesekan, tidak ada yang menarik menurutnya, inilah yang membuat hatinya terasa kosong.
Di sisi lain meja, Herman menatap Aksa dengan penuh harap. Diana sesekali menggenggam tangan suaminya, seolah memberi isyarat bahwa semua berjalan sesuai rencana.
Selesai makan malam, tamu berpamitan. Saat berjabat tangan, Anita menepuk lembut lengan Aksa. "Lain kali nak Aksa main ke rumah kami, ya...kita mengobrol lagi lebih santai,"
"Iya, Tante," jawabnya sopan.
Rose tersenyum lagi sebelum masuk mobil. "Senang bertemu denganmu, Mas."
"Senang bertemu juga," Aksa berusaha agar tidak kaku.
Mobil tamu menghilang di balik pagar tinggi itu. Hanya meninggalka desau malam.
"Mas, Aksa." panggil Diana. "Kita kita ngobrol pelan-pelan ya..."
Aksa mengangguk. Namun di dalam hatinya, ada nama lain yang justru berteriak lebih keras. Nama yang tak satupun orang di rumah itu mengetahuinya. Aksa menyadari keputusan yang akan datang tidak lagi sederhana seperti apa yang dia pikirkan.