Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Storm tersenyum tipis. Ia melangkah mendekat, lalu menunduk dan memeluk Lucien dengan hati-hati, seolah takut menyentuh luka pria itu.
“Aku tahu kau pasti menang,” ucap Storm pelan, suaranya hangat dan penuh keyakinan.
Lucien tersenyum. Dengan wajah yang masih pucat namun sorot mata tenang, ia berkata,
“Karena impianku adalah… ingin menikahimu.”
Hati Storm bergetar. Pelukan itu terasa semakin erat, seolah keduanya saling memastikan bahwa semua ini nyata.
Beberapa saat kemudian.
Lucien duduk bersandar di atas kasur, tubuhnya sedikit condong ke belakang. Storm berjongkok di hadapannya, dengan hati-hati membersihkan dan mengobati luka di kaki pria itu. Darah masih merembes, membuat kening Storm berkerut.
“Lukamu mengeluarkan banyak darah,” ujar Storm sambil melilitkan perban. “Butuh waktu lama untuk pulih.”
Lucien menatapnya lekat-lekat. “Apakah kejadian tadi menakutimu?”
Storm mendengus pelan tanpa mengangkat wajah. “Tidak. Aku bukan pengecut,” jawabnya. “Aku hanya tidak ingin mati sia-sia.”
Lucien tersenyum samar. “Aku bisa mengalahkan mereka semua… itu karena keberuntungan. Mereka benar-benar kelompok pengkhianat yang besar.” Ia menghela napas panjang. “Aku lelah. Aku ingin istirahat panjang.”
Storm selesai melilit perban, lalu duduk di tepi ranjang. Ia menepuk ringan selimut di samping Lucien.
“Jangan pikirkan masalah lain. Tang Ming tidak akan bisa lolos dari hukuman mati. Saat ini, negara kita pasti sudah aman.”
Lucien terdiam sejenak, lalu menoleh.
“Ah Zhu,” panggilnya lembut. “Sebelumnya kau mengatakan bahwa kau terlahir kembali dari tahun 2025… bolehkah aku tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Storm terkejut, lalu tersenyum kaku. “Apa kau tidak menganggapku gila?”
Lucien menggeleng pelan. “Kalau itu benar, berarti ini sudah takdir. Kita bertemu… dan aku ingin bersamamu.”
Storm menunduk. Untuk sesaat, kenangan lama memenuhi pikirannya.
“Di tahun 2025,” ucap Storm perlahan, “aku memiliki keluarga yang bahagia. Papa dan Mamaku sangat menyayangiku. Walaupun aku sering membuat masalah, Papa selalu melindungiku.”
Ia tersenyum kecil, mengenang masa lalu.
“Nic adalah putra dari asisten setia Papa. Dia tumbuh besar bersamaku, seperti seorang kakak. Ke mana pun aku pergi, dia selalu menemaniku. Hubungan kami seperti saudara kandung ... sering bertengkar, bercanda, dan juga sering dikejar rotan oleh Papa.”
Lucien mengangguk pelan. “Sekarang aku ingat. Saat pertama kali bertemu Ahao, kau mengira Ahao adalah Nic,” katanya. “Apakah mereka mirip?”
“Iya,” jawab Storm. “Aku mengira Nic juga ikut terlahir kembali sepertiku. Kami kecelakaan di jalan, lalu tiba-tiba saja… aku sadar berada di dalam tubuh ini.”
Lucien menatap Storm dengan lebih serius.
“Lalu… siapa nama aslimu?” tanyanya.
“Storm Lin,” jawabnya pelan.
Lucien menatapnya sejenak, seolah menyimpan nama itu dalam-dalam. Rasa ingin tahunya semakin besar. Ia meraih pinggang gadis itu dan menariknya perlahan hingga jarak mereka begitu dekat.
“Aku penasaran dengan masa kecilmu,” ucap Lucien lembut. “Apakah kau bisa menceritakannya padaku?”
Storm terkejut sesaat, lalu tersenyum tipis. “Masa kecilku selalu dipenuhi masalah,” katanya jujur. “Aku sering gagal ujian dan hampir tidak pernah naik kelas.”
Lucien mengangkat alis, tak menyangka.
“Tapi impianku adalah menjadi dokter hebat,” lanjut Storm. “Papaku seorang tabib terkenal. Sejak kecil aku belajar darinya. Aneh memang… aku bisa menguasai ilmu Papa hanya dengan sekali melihat.”
Lucien tertawa kecil, jelas tak percaya. “Kau sangat cerdas, tapi tak pernah lulus ujian?” katanya sambil menggeleng. “Bukankah itu sangat istimewa?”
Storm tersenyum samar, namun matanya meredup. “Aku merindukan mereka. Aku tidak tahu bagaimana keadaan keluargaku sekarang…”
Lucien memeluknya erat, seolah ingin menyalurkan ketenangan. “Aku mengerti perasaanmu,” ucapnya lirih.
Storm menyandarkan kepalanya di dada Lucien, menikmati kehangatan yang jarang ia rasakan.
Namun tiba-tiba—
Tubuh Storm menegang.
Bola matanya perlahan berubah menjadi keemasan, berkilau aneh di balik kelopak yang setengah terbuka. Tubuhnya melemas seketika, kehilangan kesadaran di dalam pelukan Lucien.
“Ah Zhu! Ah Zhu!” seru Lucien panik.
Ia mengguncang bahu Storm dengan cemas, mencoba membangunkannya. Wajahnya berubah tegang, rasa takut menyergap dadanya saat gadis itu tak memberi respons sedikit pun.
Gelap.
Sunyi yang pekat menelan kesadaran Storm.
Ia merasa tubuhnya jatuh, seolah ditarik paksa dari satu dunia ke dunia lain. Suara Lucien yang memanggil namanya terdengar samar, makin lama makin jauh.
“Ah Zhu…!”
Detik berikutnya—
Storm terbatuk keras.
Matanya terbuka mendadak.
Langit-langit putih menyambut pandangannya, lampu neon menyilaukan mata. Bau antiseptik menusuk hidungnya. Suara alat medis berdetak pelan di samping telinganya.
“Aku…?” gumam Storm dengan suara serak.
Ia mengangkat tangannya. Bukan tangan ramping Ah Zhu. Bukan tubuh asing yang ia kenakan selama ini.
Ini tubuhnya sendiri.
Tubuh Storm Lin.
“Storm! Kamu sadar?!”
Suara yang begitu ia kenal membuat dadanya bergetar. Seorang pria paruh baya berambut beruban bergegas menghampiri ranjang.
“Papa…?” bibir Storm bergetar.
Air mata yang sejak lama tertahan akhirnya jatuh.
“Papa di sini,” ucap pria itu dengan suara gemetar, menggenggam tangan Storm erat-erat. “Kamu pingsan setelah kecelakaan. Dokter bilang kamu koma selama tiga hari.”
Tiga hari?
Storm menelan ludah. Di kepalanya, bayangan Lucien, medan perang, darah, kursi roda, dan pelukan hangat itu masih terasa begitu nyata.
Seolah bukan mimpi.
“Ma…?” suaranya bergetar mencari.
“Mama di sini,” jawab seorang wanita lembut sambil mengusap rambutnya. “Kamu membuat kami hampir kehilangan akal.”
Storm menutup mata.
Ia kembali.
Kembali ke tahun 2025.
Kembali ke dunia yang seharusnya.
Namun hatinya tertinggal di sana.
Di dunia lain.
Di pelukan seorang pria bernama Lucien Fang.
Mata emas…
Rasa sakit itu…
Dan suaranya…
“Lucien…” bisiknya tanpa sadar.
“Apa?” tanya ibunya cemas. “Kamu menyebut siapa, Sayang?”
Storm membuka mata, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk.
“Aku tidak apa-apa,” ujarnya pelan. “Hanya… mimpi yang sangat panjang.”
Namun jauh di dalam hatinya, Storm tahu—
Itu bukan sekadar mimpi.
trus itu gmn?
jadinya
semoga semua akan baik-baik saja...
dan berakhir bahagia.....🤲
kasian juga q am ortux tp klo.yg begitu tiba2 ngilang, pasti sepi n sedih