HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Firasat yang Tak Boleh Diabaikan
#
Sore itu, Dewanga membawa Tini dan Eka ke rumah ibunya.
Rumah sederhana di kampung pinggiran—dinding kayu yang mulai lapuk, atap seng berkarat, halaman tanah yang keras dan kering. Rini tinggal sendiri di sana sejak Agung pindah kerja ke kota. Rumah ini penuh kenangan—tempat Dewanga dibesarkan, tempat ayahnya meninggal, tempat semua luka dimulai.
Dewanga mengetuk pintu dengan hati berdebar. Tini berdiri di sampingnya, wajah datar tanpa ekspresi. Eka bersembunyi di balik ibunya, melirik sekeliling dengan mata polos.
Pintu terbuka. Rini muncul dengan senyum hangat—senyum yang selalu ia simpan untuk anaknya meski hati lelah.
"Dewa... masuk, Nak." Lalu matanya beralih pada Tini. "Ini pasti calon istrinya?"
Tini tersenyum—senyum sopan yang dipaksakan. "Iya, Bu. Saya Tini. Ini anak saya, Eka."
Rini mengangguk pelan, menatap Tini lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang tajam, mencari, menyelidiki.
Tini membalas tatapan itu dengan pandangan dingin—pandangan yang seolah berkata: *Jangan coba-coba halangi.*
Hening sejenak.
Lalu Rini tersenyum lagi, membukakan pintu lebih lebar. "Ayo masuk. Ibu udah masak."
***
Mereka duduk di ruang tamu sempit—lantai semen tanpa keramik, kursi kayu tua yang berderit setiap kali bergerak. Rini menyajikan teh manis dan pisang goreng sederhana.
"Maaf ya, Bu. Seadanya," kata Rini sambil menuang teh ke gelas plastik.
"Gak papa, Bu. Terima kasih." Tini mengambil gelas itu tanpa senyum, meneguk sebentar, lalu meletakkannya dengan suara keras—seolah tidak suka.
Dewanga melirik Tini, sedikit tidak nyaman. Tapi ia diam saja.
Eka duduk di samping ibunya, tangannya meraih pisang goreng. Tapi sebelum menggigit, Tini menepis tangannya keras.
"Jangan makan dulu! Nanti gak muat makan malam!" bentak Tini dengan suara tajam.
Eka langsung menarik tangannya, menunduk dalam-dalam. Bibirnya bergetar menahan tangis.
Rini melihat itu. Dadanya sesak. Ia menatap Tini dengan pandangan yang sulit dijelaskan—bukan marah, tapi... khawatir.
Dewanga refleks meraih pisang goreng, menyodorkannya pada Eka dengan senyum. "Gak papa, Eka. Makan aja. Nanti lapar."
"Dewa, gak usah ikut campur!" Tini membentak Dewanga—kali ini lebih keras, lebih tajam.
Hening.
Rini terdiam. Tangannya yang memegang cangkir teh sedikit gemetar.
Dewanga menunduk, menarik tangannya perlahan. "Maaf..."
Tini menarik napas, lalu tersenyum—seolah tidak terjadi apa-apa. "Maaf ya, Bu. Saya lagi agak lelah. Jadi suka kelepasan ngomong."
Rini tidak menjawab. Ia hanya menatap Tini dengan pandangan yang dalam—pandangan seorang ibu yang sudah hidup cukup lama untuk mengenali bahaya.
***
Setelah makan malam sederhana—nasi, sayur lodeh, tempe goreng—Dewanga akhirnya mengutarakan maksudnya.
"Ibu... saya dan Tini... kami mau menikah. Saya datang minta restu Ibu."
Rini menatap anaknya lama. Wajah Dewanga penuh harap—harap yang rapuh, yang lahir dari keputusasaan, bukan dari kebahagiaan.
Lalu Rini menatap Tini. Wanita itu duduk dengan wajah datar, tanpa senyum, tanpa kehangatan—seolah ini hanya formalitas yang harus dilewati.
Rini menarik napas panjang.
"Ibu... beri restu." Suaranya pelan, tapi berat—seperti mengangkat beban yang terlalu besar.
Dewanga tersenyum lebar, hampir menangis lega. "Terima kasih, Bu! Terima kasih!"
Tapi Rini tidak tersenyum. Ia hanya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca—bukan karena bahagia, tapi karena takut.
***
Satu jam kemudian, Tini dan Eka pulang. Dewanga mengantarkan mereka sampai angkot, lalu kembali ke rumah ibunya.
Rini masih duduk di kursi yang sama—menatap kosong ke depan, tangannya meremas-remas ujung kain sarungnya.
"Bu... kenapa mukanya kayak gitu? Ibu kan udah kasih restu," kata Dewanga, duduk di sebelah ibunya.
Rini menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. "Dewa... Ibu mau tanya. Kamu beneran cinta sama dia?"
Dewanga terdiam sebentar. "Iya, Bu. Saya cinta sama dia."
"Atau... kamu cuma takut sendirian?"
Pertanyaan itu menusuk.
Dewanga tidak menjawab. Bibirnya bergetar.
Rini meraih tangan anaknya, menggenggamnya erat. "Nak... Ibu bukan melarang. Ibu cuma mau kamu tau... pernikahan itu bukan sehari dua hari. Pernikahan itu selamanya. Kalau kamu salah pilih sekarang, kamu yang bakal sengsara selamanya."
"Ibu gak suka sama dia ya?" Dewanga menatap ibunya dengan mata penuh luka.
"Bukan gak suka, Nak. Tapi... ada yang gak beres sama wanita itu. Ibu rasain. Caranya ngomong, caranya ngeliat kamu, caranya ngatur anaknya... itu bukan cara orang yang sayang, Dewa. Itu cara orang yang... menguasai."
Dewanga menarik tangannya, berdiri dengan napas memburu. Emosinya meledak—emosi yang selama ini tertahan, emosi yang lahir dari rasa sakit berkepanjangan.
"IBU TIDAK TAU!" bentaknya keras—untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia membentak ibunya. "Aku udah berkali-kali ditolak! Gak ada yang mau terima aku! Tapi sekarang Ibu melarang?! Ibu boleh gak suka, tapi jangan halangi kami untuk menikah! Dia pilihanku!"
Rini terdiam. Air matanya jatuh—bukan karena marah, tapi karena sakit melihat anaknya terluka begitu dalam hingga tidak bisa berpikir jernih lagi.
"Dewa..." suaranya bergetar. "Ibu bukan melarang, Nak. Ibu cuma mau yang terbaik buat kamu. Ibu takut... Ibu takut kamu menyesal..."
Dewanga menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Ia melihat ibunya menangis—wanita yang selama ini menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkannya.
Ia langsung berlutut, memeluk kaki ibunya. "Maafin Dewa, Bu... maafin Dewa... Dewa gak bermaksud bentak Ibu... maafin Dewa..."
Rini mengusap kepala anaknya, menangis tersedu-sedu. "Ibu maafin, Nak. Ibu maafin... tapi kumohon... pikirin lagi... kumohon..."
"Ibu... Dewa udah putuskan. Dewa janji Dewa bakal baik-baik aja."
Rini memeluk anaknya erat—pelukan seorang ibu yang tahu ia akan kehilangan anaknya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan malam itu, setelah Dewanga pulang, Rini duduk sendirian di ruang tamu gelap.
Ia menatap foto almarhum suaminya di dinding—wajah Pak Sentanu yang tersenyum lelah.
"Pak... anak kita... anak kita mau nikah sama wanita yang salah... tapi dia gak mau dengerin Ibu... Ya Allah... semoga firasat Ibu salah... semoga Ibu salah..."
Tapi dalam hatinya, Rini tahu—firasatnya tidak pernah salah.
---
#