Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Entah kenapa sampai sekarang aku masih merasa khawatir dengan kondisi Aini. Sebagai atasannya, wajar kalau aku peduli. Tapi rasa khawatirku ini, lebih dari sekadar tanggung jawab pekerjaan. Apalagi saat aku melihatnya terbaring pingsan di ruangan pendingin tadi dengan bibir membirudan tubuh hampir kaku, jujur, saja aku takut dia benar-benar meninggal di depan mataku.
Syukurlah setelah pemeriksaan, dokter bilang tidak ada kondisi yang terlalu membahayakan. Tapi anehnya, setelah ibunya dan adiknya datang menemani di rumah sakit, aku tetap saja enggan beranjak pulang. Tidak ada alasan kuat sebenarnya, aku hanya merasa, harus tetap ada di sana.
Sampai tanpa sadar, aku berkata pada ibunya,
“Titip Aini, Bu.”
Ucapan yang keluar begitu saja, spontan, tanpa sempat aku saring. Dan setelah kalimat itu meluncur, aku langsung menyesal sendiri.
Apa sih yang kupikirkan? Adiknya pasti bingung, ibunya mungkin salah paham.
Memangnya aku ini siapa sampai bisa bilang begitu?
Begitu pulang ke rumah, aku tak bisa tidur. Berkali-kali berguling di kasur, tapi bayangan Aini terus muncul di kepalaku.
Aku ingin menghubungi dan menanyakan keadaannya.
Tapi baru kusadari, aku bahkan tidak punya nomor ponselnya.
“Arsya, kamu kenapa bisa begini sih? Dia itu bukan siapa-siapa kamu,” gumamku sambil menepuk pelan wajah sendiri.
**
Pertemuan pertamaku dan Aini juga sudah cukup aneh. Waktu itu aku turun ke warung untuk membeli air mineral. Saat mau turun dari mobil, aku melihatnya menggendong Keenan sambil memegang sebungkus mi instan. Dari jauh saja aku bisa melihat tatapan lelahnya. Pemilik warung bahkan menasihatinya agar tidak sering makan mie instan,nasihat yang terdengar ringan, tapi menyakitkan kalau diucapkan pada orang yang sedang kesulitan.
Saat itu aku berpikir, Apa sebegitu beratnya hidup sampai mi instan dijadikan lauk setiap hari?
Bahkan ketika Keenan merengek minta ciki dua ribuan, Aini hanya terdiam sambil meraba kantongnya. Kembaliannya hanya seribu. Dia tersenyum pahit sambil membujuk Keenan dengan suara setenang mungkin.
Ada sesuatu di dadaku yang terasa ditarik waktu melihat itu. Bukan rasa kasihan, lebih seperti empati? Aku tidak mau merendahkan harga dirinya, jadi aku tidak berkata apa-apa.Aku hanya mengambil ciki itu, lalu membayarnya bersama air mineral yang kubeli.
Dia sempat memandangku sejenak, seolah bingung harus berterima kasih atau malu.
Tapi mata itu, mata yang bahkan tetap lembut meski sedang kesusahan, entah kenapa membuatku diam lebih lama.
Pertemuan kedua lebih konyol lagi.Dia mengira mobilku taksi online.Dengan mata sembab dan suara bergetar, dia memaksa pak Supri, sopir pribadiku untuk mengantarnya pulang. Dari raut wajahnya saja sudah jelas dia habis bertengkar dengan suaminya.
Saat masuk mobil, dia duduk sambil menunduk, dan sesekali isakan kecil lolos dari mulutnya. Aku hanya bisa terdiam dan berpura-pura tidak melihat padahal saat itu posisinya aku duduk di belakangnya. Ada kalanya seseorang tidak butuh kata-kata, hanya butuh ruang untuk menangis.
Dan ternyata, hidup iseng mengatur semuanya. Dia adalah tetangga depan rumahku. Ibunya bekerja di rumahku.
Dan sekarang, dia bekerja di perusahaan tempat aku memimpin.
Kebetulan?
Sejujurnya aku tidak yakin.
Yang membuatku makin bingung adalah saat dia tahu rahasia besar yang selama ini kututup rapat. Tentang Risa. Tentang kesalahan masa lalu yang bahkan aku sendiri malu mengakuinya.
Waktu aku melihatnya mendengarkan percakapan antara aku dan Risa, aku bukan marah tetapi aku takut.
Aku takut dia melihatku sebagai lelaki yang tidak baik.
Lelaki yang pernah melakukan hal yang seharusnya tidak kulakukan.
Tapi sikap Aini tidak berubah sedikit pun.
Dia tetap bicara padaku seperti biasa dengan sopan, tenang, tidak menghakimi.
Itu, yang membuatku tertarik. Bukan karena dia sempurna, tapi karena dia tidak pernah membuat orang lain merasa kecil, meski hidupnya sendiri jauh dari kata mudah.
Dan setelah aku tahu dia benar-benar berpisah dari suaminya,aku makin tidak mengerti dengan diriku sendiri.
Ini cuma ketertarikan sesaat?
Atau…
aku memang benar-benar menyukainya?
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, sementara malam makin larut. Aku menatap layar ponsel kosong tanpa nomor Aini di dalamnya,dan tanpa sadar, bibirku tertarik kecil.
“Mungkin besok- besuk aku harus cari cara untuk berbicara dengannya.”
Tapi di balik itu, rasa takut muncul lagi.
Takut salah langkah.Takut berharap. Takut membuatnya semakin terbebani.
Namun pada akhirnya, aku tetap ingin tahu bagaimana kabarnya. Karena, entah sejak kapan, Aini bukan lagi sekadar karyawan bagiku.
Dia seseorang yang tak sengaja masuk ke hidupku dan tiba-tiba saja memenuhi ruang yang tadinya sepi setelah aku memutuskan hubunganku dengan Risa.
**
Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di rumah sakit, membawa dua bungkus sarapan hangat untuk ibu dan adik Aini. Aku yakin mereka belum sempat makan sejak semalam. Sekalian saja aku membantu mengurus surat-surat kepulangannya. Entahlah, rasanya aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar sebelum mereka pulang.
Sekarang Aini, ibunya, dan Keenan sudah duduk di dalam mobilku. Keenan duduk di pangkuan ibunya sambil memeluk bantal kecil bergambar dinosaurus. Anak itu benar-benar membuatku sayang tanpa alasan jelas. Mungkin karena, kalau saja Risa tidak menggugurkan kandungannya dulu, mungkin anakku akan seumuran dengan Keenan sekarang. Dan mungkin saja hubunganku dengan Risa tak akan asing seperti ini.
Sementara Kevin sudah duluan pulang naik motor. Jadi tinggal aku yang mengantar Aini dan ibunya beserta beberapa barang yang dibawa dari rumah sakit.
“Duh, jadi nggak enak ibuk, Nak Arsya malah repot-repot jemput kami di rumah sakit,” ucap ibunya Aini sambil tersenyum kikuk.
“Tidak apa-apa, Buk. Ini bentuk tanggung jawab saya sebagai atasannya Aini,” jawabku cepat.
Semoga alasanku itu kedengaran masuk akal. Padahal kalau dipikir-pikir, aku sendiri terlalu berlebihan untuk ukuran ‘atasan.’ Tapi mulutku memilih kalimat itu supaya tidak menimbulkan pertanyaan lain.
Sesekali aku melirik ke kaca spion. Aini tampak duduk menunduk sambil mengusap kepala Keenan. Ketika pandangan kami tiba-tiba bertemu, dia buru-buru mengalihkan tatapan ke arah jendela.
Entah kenapa dadaku jadi ikut sesak. Gugup. Konyol, tapi nyata.
Aku refleks mengusap tengkukku, gerakan yang selalu kulakukan saat tak tahu harus berbuat apa. Lalu aku kembali fokus menyetir.
Untuk menghilangkan kecanggungan yang mulai terasa kental, aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya Aini, kamu bilang waktu di gudang itu cuma ada kamu dan Lastri?”
“Iya, Mas..” jawabnya pelan.
“Tapi tiba-tiba saja saya terkunci di dalam. Mbak Lastri dipanggil-panggil nggak nyahut.”
Nada suaranya pelan, tapi masih terdengar getir. Aku bisa merasakan betapa paniknya dia saat itu.
Ada sesuatu yang menggangguku sejak kemarin. Tidak masuk akal kalau pintu gudang tiba-tiba bisa mengunci sendiri.
Aku sudah bertahun-tahun bekerja di sana, aku tahu betul pintu itu tidak bisa menutup rapat tanpa dorongan kuat dari luar.
Dan Lastri, kenapa dia tidak muncul-muncul dan pulang duluan?
Aku menarik napas panjang. Sepertinya ini bukan kejadian ‘kebetulan’ biasa.
“Saya kemarin sempat khawatir banget, Mas. Udara di ruangan itu dingin sekali, sampai saya nggak bisa teriak. Bahkan rasanya seluruh tubuh saya mati rasa,” tambah Aini tanpa menatapku.
Ibunya spontan menepuk punggung Aini, ikut sedih dengan yang dialami Aini.
Aku menahan diri agar tidak menunjukkan emosi terlalu jelas, tapi jari-jariku mengetuk setir tanpa sadar.
Marah?
Ya.
Karena bagaimana pun, keselamatan karyawan adalah tanggung jawabku.
Tapi kalau aku gegabah menunjukkan kecurigaan, bisa-bisa pelaku malah bersembunyi lebih dalam.
“Kalau begitu, nanti setelah kamu pulih benar, aku akan tanya beberapa orang,” kataku hati-hati.
“Untuk sekarang kita anggap semuanya masih baik-baik saja dulu, ya. Dan kamu fokus dengan kesembuhan kamu dulu di rumah.”
Aini mengangguk kecil.
Ibunya ikut menimpali dengan nada bersyukur.
“Yang penting Aini sudah selamat, Nak Arsya.”
Aku tersenyum, berusaha menenangkan suasana. Padahal di dalam kepala, pikiranku sedang menduga-duga. Tapi aku harus mencari bukti yang konkrit dulu.
Harus ada cara halus untuk memancing pelakunya.
Dan satu hal yang pasti, aku tidak akan diam kalau ada yang berani mencelakai Aini.Maksudky karyawan ku.
Mobil melaju perlahan menuju rumah mereka, sementara pikiranku sudah berputar mencari cara untuk mengungkap yang sebenarnya tanpa membuat Aini tambah cemas.
Karena perasaan yang kusimpan dalam diam saat ini, sudah jauh lebih besar dari sekadar rasa peduli atasan pada karyawannya.