"Aku mau putus!"
Sudah empat tahun Nindya menjalin hubungan dengan Robby, teman sekelas waktu SMA. Namun semenjak kuliah mereka sering putus nyambung dengan permasalahan yang sama.
Robby selalu bersikap acuh tak acuh dan sering menghindari pertikaian. Sampai akhirnya Nindya meminta putus.
Nindya sudah membulatkan tekatnya, "Kali ini aku tidak akan menarik omonganku lagi."
Tapi ini bukan kisah tentang Nindya dan Robby. ini kisah tentang Nindya dan cinta sejatinya. Siapakah dia? Mampukah dia melupakan cinta Robby? dan Apakah cinta barunya mampu menghapus jejak Robby?
Happy reading~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ginevra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unboxing Nih Bos
Happy reading~
.
.
.
Jantung Nindya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Keluar keringat dingin di kepalanya. Pipinya merah merona seperti sedang demam. Tangannya tak berhenti mengelap roknya.
Walau sekarang Nindya sedang menonton TV namun pikirannya selalu melayang ke dekat Aan. Sebaliknya, alih alih gugup Aan malah tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon yang dilontarkan oleh Pak Broto, mertua tercintanya.
"Makan dulu Nin," tawar Ibunya. Namun Nindya tidak bergeming. Matanya tak lepas dari TV di depannya. Entah dia benar-benar menonton atau mencari alasan untuk bisa melamun.
"Sana ambilkan makan untuk suamimu!" Sang Ibu berusaha menyadarkannya dari lamunan. Namun tampaknya tak berhasil. Nindya masih diam menonton TV yang menayangkan iklan.
"Tidak usah bu, nanti aku ambil sendiri," ucap Aan dengan lembut.
Ibu Nindya mengangguk dan tersenyum canggung karena malu dengan tingkah laku anaknya yang belum sadar diri.
"Aaaaaa!" Aan menyodorkan sesendok nasi di mulut Nindya.
Nindya sontak kaget dengan apa yang dilakukan Aan. Bahunya terangkat dan matanya nanar melihat wajah Aan.
"Akhirnya kamu sadar juga, dari tadi kamu nonton TV terus sampai yang lain sudah tidur," ungkap Aan masih dengan sendok di tangannya.
"Hah? Ini jam berapa?" Tanya Nindya linglung.
"Jam 9 dan kamu belum makan, ini makan dulu!" Aan berusaha menyuapi istri seharinya.
Dengan pelan, Nindya membuka mulutnya dan menerima suapan dari suaminya.
"Pinter! Ini lagi!" Aan kembali menyuapi Nindya yang masih mematung.
"Aku bisa makan sendiri mas," ucapnya malu-malu.
"Ya baiklah kalau begitu, aku ambil makanan lagi," ujarnya.
'Hah? Dia menungguku? Kenapa nggak makan dulu aja sih? Bikin nggak enak hati,' batinnya.
Sembari makan malam berdua, Aan membuka percakapan dengan dimana nanti mereka tinggal. Dia menawarkan untuk tinggal bersama Ibunya karena Ibunya sendirian di rumah. Tapi kalau Nindya tidak mau juga tidak apa-apa. Ini kan masih tahap adaptasi, pasti Nindya masih ingin bersama orang tuanya.
Namun jawaban Nindya sangat mengejutkan. Nindya dengan mantap memutuskan untuk tinggal dengan mertuanya.
"Aku akan berada di sisimu mas. Jadi kalau mas mau tinggal bersama ibu maka aku juga ikut mas," jawab Nindya.
Jawaban Nindya membuat mata Aan berkaca-kaca. Tanpa sadar tangannya membelai rambut halus Nindya dan membuat wajahnya berubah merah seperti kepiting rebus.
"Besok kita mancing yuk!" Ajak Aan tiba-tiba.
"Hah? Mancing?"
"Iya...mancing, aku cuma punya libur 2 hari. Sayang kan kalau kita tidak pergi mancing."
"Mas hobi mancing?"
"Iya, aku nggak pernah cerita ya? Nanti aku ajari kamu mancing."
Melihat antusias suaminya membuat hati Nindya ikut senang. Setidaknya ada kegiatan berdua di hari bulan madunya.
*****
Hari semakin malam. Bintang-bintang yang biasa menemani sekarang tak tampak seperti bersembunyi di awan gelap. Udaranya semakin dingin menandakan akan turun hujan.
Kendati demikian, udara di dalam kamar menghangat bahkan sangat panas. Nindya tidak berhenti mengipasi wajahnya dengan tangannya yang sungguh tidak pengaruh. Apa udaranya yang panas atau hanya Nindya yang merasakannya?
"Kamu kepanasan dek? Apa mas ambilkan kipas angin?" Aan menawarkan diri.
"Nggak mas, aku nggak betah pakai kipas angin," tolak Nindya.
"Ya udah tidur yuk! Sudah malem banget, besok kita kan punya agenda mancing," ucap Aan dengan tenang.
Walau suaranya tenang namun tidak dengan detak jantungnya. Nindya bisa mendengar degup jantung Aan yang memburu saat dipelukannya.
"Aku nggak bisa nafas kalau kamu peluk kenceng banget," ucap Nindya.
"Oh oh... Maaf."
Matanya jelalatan mencari fokus untuk dilihat. Ternyata tidak hanya Nindya yang gugup, Aan juga. Itu sedikit membuat Nindya lega. Jantungnya sedikit lebih tenang daripada saat di Ruang tengah.
Karena ekspresi gugup Aan, membuat Nindya sedikit ingin mengerjainya.
Nindya membuka satu kancing babydoll yang di kenakan dan mengepakkannya.
"Panas sekali ya?" Ucapnya sambil melirik ke arah suaminya.
Nindya sangat jelas melihat Aan yang menelan ludahnya membuatnya merasa sangat lucu.
'Mungkin satu kancing lagi akan membuatnya gila,' batinnya
Dengan gerakan pelan, Nindya membuka kancingnya lagi. Itu membuat buah dadanya semakin terlihat.
Aan masih terdiam melihat pemandangan yang indah tersebut.
'Kok diam? Ah... Satu lagi kali ya,' batin Nindya semakin nakal.
"Stop!"
Aan menggenggam tangan Nindya untuk menghentikan gerakannya.
"Aku bisa sendiri," ujar Aan seraya tangannya melepas sisa kancing yang belum terbuka di baju Nindya.
"Hei! Pelan-pelan!" Protes Nindya.
"Makanya jangan mancing-mancing. Padahal aku berencana melakukannya besok karena kamu terlihat tertekan," ujarnya menampik protes Nindya.
Bergegas Aan melucuti pakaian Nindya tanpa sisa. Namun dia masih menyelimuti badan mereka.
Aan perlahan mendekatkan badan mereka yang tidak terhalang sehelai benang. Terasa hangat Nindya mengalungkan tangannya di pinggang Aan dan Aan mulai mencium bibirnya.
Nafas mereka memburu, hawa panas terus semerbak disekitarnya.
Nindya memejamkan matanya untuk menikmati setiap sentuhan sang suami. Nafasnya terengah-engah karena berusaha mengimbangi ciuman yang panas namun lembut.
Setelah beberapa menit, Aan melepaskan tautan bibirnya.
"Kamu siap?"
Nindya hanya mengangguk malu-malu dengan wajah merah padamnya.
"Rileks saja dek... Jangan tegang!"
Aan terus melakukan pemanasannya. Setiap jengkal tubuh Nindya ia sentuh dengan sangat lembut membuat Nindya sedikit melonggar.
"Santai saja dek... Rileks oke?"
Kata itu sering Aan lontarkan namun Nindya tetap saja terbujur kaku.
"Kalau kamu tegang nanti akan sakit lho," ujarnya membuat Nindya semakin tegang.
Merasakan ketegangan yang luar biasa dari tubuh Nindya membuat Aan berhenti dari aktivitas dewasanya.
"Tarik nafas...buang!" Ucap Aan sambil membelai dan memeluk sang istri.
"Kalau kamu nggak siap sekarang kita bisa melakukannya besok atau besoknya lagi. Kita masih punya banyak waktu. Jadi tenanglah!"
Ucapan dan belaian lembut suami membuat tubuh Nindya luluh. Bahunya tidak lagi terangkat, matanya perlahan terbuka, dan nafasnya tak lagi terengah-engah.
"It's okay mas..."
Persetujuan Nindya semakin menyemangati Aan untuk melanjutkan aktivitasnya.
Dengan senyuman manis, dia menjamah setiap lekukan tubuh indah Nindya. Perlahan-lahan namun cukup membuat Nindya merasa terbang ke angkasa.
Aan sangat lihai membuat Nindya menangis kenikmatan. Setiap gerakannya sangat presisi, tidak lambat tidak juga kasar. Semuanya terukur, membuat Nindya tidak berhenti mengerang.
Sungguh malam yang panjang dan menggairahkan.
.
.
.
.
Ehem...
Gimana episode kali ini?
Sudah membuat kalian panas dingin belum?
Kalau belum, tenang aja! Kita masih punya banyak episode panas untuk pasutri ini.
Jadi pantengin terus novel aku ya~
Jangan lupa like dan komen!
Love ya.....