Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Adalah Ujianku Sekaligus Doaku
Pagi itu, udara terasa lembab dan redup, seolah langit belum benar-benar siap untuk membuka hari.
Rara duduk di pinggir ranjang sambil menatap punggung Arifbol yang masih terlelap. Wajah suaminya tampak tenang, tapi sesekali dada itu naik turun dengan napas berat—bekas kejang malam sebelumnya masih terlihat dari bekas lebam di pelipisnya.
Rara menghela napas pelan. Tangannya menyentuh pelipis itu lembut, seperti ingin menghapus semua rasa sakit.
“Mas... kapan awakmu iso sehat tenan, yo?” bisiknya lirih.
Arifbol menggeliat sebentar, matanya terbuka sedikit.
“Kowe durung turu, Ra?” suaranya serak.
Rara tersenyum tipis. “Turu dilut, Mas. Aku pengin neng pasar dilut yo, kanggo tuku sayur karo obat.”
Arifbol mengangguk pelan, tapi matanya menatap agak lama, seolah ingin memastikan Rara benar-benar bakal balik.
“Ati-ati, Ra. Yen aku turu maneh, ojo kaget yo...”
Rara tahu maksudnya — bisa saja nanti kambuh lagi. Tapi ia menepuk dada suaminya pelan. “Aku ngerti, Mas. Aku ora bakal ninggal sampean suwe.”
Di pasar, suasana riuh. Pedagang teriak-teriak menawarkan dagangan, aroma daun bawang dan cabai menyatu dengan bau tanah basah.
Rara berjalan sambil membawa keranjang kecil, memilih tomat satu-satu. Tapi entah kenapa, pagi itu hatinya bergetar aneh.
Ada rasa nggak enak, semacam kecemasan yang datang tanpa alasan.
Ia berhenti sebentar, memejamkan mata, lalu tiba-tiba jantungnya berdetak cepat — seolah seseorang di rumah memanggilnya dari jauh.
Rara menelan ludah. Tangannya dingin.
“Nangpo, Mbak? Ngelu?” tanya ibu penjual bayam.
“Mboten, Bu... cuma kelingan sesuatu.” Rara memaksa tersenyum.
Namun langkahnya jadi makin cepat. Keranjang yang semula penuh dia biarkan separuh saja. Dalam hati, ia berdoa tanpa suara.
“Ya Allah... ojo nganti Mas Arif kenapa-kenapa. Aku ora iso yen kudu ninggal dhewek e tenan.”
Sampai di rumah, suara kipas angin terdengar dari dalam kamar.
Bu Wiji keluar dari dapur dengan wajah pucat.
“Rara! Alhamdulillah kowe wes muleh! Tadi Mas Bol sempat kejang maneh, tapi uwes reda.”
Rara hampir menjatuhkan tas belanjaannya. Ia langsung berlari ke kamar, dan benar — Arifbol terbaring dengan wajah masih pucat, peluh menetes di pelipisnya.
“Mas...” Rara duduk di sampingnya, memegang tangan itu erat.
Tangan Arifbol dingin. Tapi saat jari Rara menyentuhnya, Arifbol perlahan membuka mata.
“Ra...” suaranya lemah, tapi senyumnya tipis. “Aku tadi ngrasakke kowe nangis. Bener, yo?”
Rara menunduk, air matanya menetes ke selimut.
“Iyo, Mas. Aku tadi ngrasakke sesuatu... terus aku langsung muleh.”
Arifbol menatapnya lama. “Aku tau pengin ngomong, tapi ora iso metu. Tapi aku ngerti, kowe krungu.”
Rara menggenggam tangannya makin kuat. “Mas, aku ora ngerti carane, tapi waktu neng pasar atiku koyok ditarik... koyok enek sing nyebut namamu.”
Bu Wiji masuk pelan dari belakang, membawa segelas air putih. “Rara, tadi pas kowe metu, Mas Bol pancen sempat nyeluk awakmu terus. Aku pikir cuma ngigau.”
Rara menatap ibunya mertua dengan mata berair. “Berarti bener, Bu... hatiku nyaut panggilane.”
Sore menjelang.
Rara duduk di kursi kayu dekat jendela sambil memandangi cahaya matahari yang mulai meredup di balik pepohonan. Arifbol sudah lebih tenang, tertidur dengan napas lembut.
Di hadapannya, mushaf kecil terbuka di atas meja.
Rara membacanya perlahan, bibirnya bergerak tanpa suara, tapi hatinya penuh makna.
“Ya Allah... mungkin iki jalan-Mu kanggo nguji aku. Tapi aku ora bakal nyalahke sopo-sopo. Aku cuma pengin dikuatke, supoyo iso terus ngancani Mas Arif tanpa wedhi.”
Dari luar, terdengar suara Fitri memanggil, menawarkan bantuan memasak. Tapi Rara hanya menjawab singkat.
“Aku masak dhewe ae, Fit. Terima kasih, yo.”
Ada nada halus, tapi juga jarak di suaranya. Ia sudah mulai sadar, perjuangannya nggak cuma melawan penyakit suaminya — tapi juga hatinya sendiri yang harus tetap tegar di tengah ujian cinta.
Malam tiba.
Rumah terasa sepi.
Rara duduk di tepi ranjang, memandangi Arifbol yang kini tidur dengan tangan menggenggam tasbih kecil di dadanya.
Ia membetulkan selimutnya, lalu menyentuh tangan suaminya pelan.
“Mas... aku ora bakal metu maneh tanpo pamit. Aku ngerti saiki, setiap langkahku kudu bareng doaku.”
Ia menatap wajah Arifbol lama-lama, lalu berbisik nyaris tak terdengar:
“Kowe kuwi ujianku, Mas... tapi ugo doaku sing paling dalam.”
Rara mematikan lampu, meninggalkan cahaya redup dari jendela yang memantul di lantai.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rara sujud dalam tangis lama—bukan karena takut kehilangan, tapi karena akhirnya ia mengerti... bahwa cinta bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang menerima segala takdir dengan ikhlas.
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar, jatuh lembut di wajah Rara.
Matanya masih sembab karena tangisan semalam, tapi ada sesuatu yang berbeda di dalam dadanya — tenang.
Ia bangun lebih pagi dari biasanya, mengambil air wudu, lalu berdiri di ruang tengah rumah besar itu.
Lantai dingin menyentuh telapak kakinya, tapi hatinya hangat.
Suara adzan Subuh terdengar pelan dari kejauhan, bersahut-sahutan dengan kokok ayam tetangga.
“Allahu akbar… Allahu akbar…”
Rara menengadahkan tangan.
“Ya Allah, kuatkan aku. Aku ora pengin ngeluh maneh, aku pengin ikhlas ngancani Mas Arif, senajan angel, senajan kadhang kudu nangis diam-diam...”
Selesai berdoa, Rara menoleh. Arifbol sudah duduk bersandar di ranjang dengan mushaf di pangkuannya.
Wajahnya masih lemas, tapi senyum kecil itu selalu muncul setiap kali melihat Rara.
“Ra, kowe nangis maneh yo?”
Rara nyengir, cepat-cepat ngelap matanya. “Ora, Mas. Iki cuma belekan sisa bobok.”
Arifbol ketawa kecil. “Healah… nek belekan kok sempat nganti do’a ae.”
Rara manyun, tapi dalam hati seneng.
“Mas iki mesakne, tapi tetep wae iso guyon.”
Selesai Subuh, Bu Wiji datang sambil membawa teh panas dan sepiring pisang goreng.
Rara langsung berdiri, “Lho, Bu… gak usah repot-repot, Yo ben aku ae.”
Bu Wiji tersenyum lembut. “Ora popo, Ra. Ibu seneng iso bantu. Tadi semalaman kamu nggak tidur ya?”
Rara menunduk, “Sedikit, Bu. Soale aku wedhi Mas Arif kumat maneh.”
Bu Wiji duduk di sampingnya, menatap menantunya itu lama, dengan pandangan seorang ibu yang paham segalanya tanpa perlu kata.
“Rara, ibu ngerti... ngerawat anak seperti Arifbol iku ora gampang. Tapi, aku yakin kowe kuat. Wong dari dulu wajahmu itu ora gampang nyerah.”
Rara tersenyum getir. “Kuat, Bu… tapi kadang yo pengin nangis. Soale tiap kali ngiwasi Mas Arif kejang, rasane atiku koyok diremas.”
Bu Wiji menarik napas dalam.
“Ra, kowe eroh gak… waktu Arifbol lahir ndisek, bapak Samingan sempat marah sama Allah. Dia ora nerimo. Tapi suwe-suwe, bapakmu ngerti, anak iki dikirim bukan buat nyusahke, tapi buat ngetes sabar lan ngasah cinta.”
Rara mendengarkan diam-diam.
“Cinta itu ora cuma soal bahagia, Ra. Tapi soal kuat bareng-bareng meski kabeh ora sempurna.”
Rara menunduk, air mata jatuh lagi.
“Bu... aku pengin seperti Ibu. Iso ikhlas.”
Bu Wiji tersenyum lembut, menepuk punggung Rara. “Ikhlas iku ora lahir langsung, nduk. Tapi dibangun teko nangis sing ora ketok wong.”
Beberapa jam kemudian, Rara keluar ke halaman belakang buat jemur kasur dan sprei.
Udara hangat, burung gereja ribut di atas genteng. Fitri datang dengan membawa wakul berisi sayur dari dapur.
“Mbak Rara, mau tak bantuin nyuci sprei?” tanyanya dengan senyum ramah.
Rara sempat ragu. “Ndak usah, Fit. Aku wes biasa.”
“Tapi kan Yo ben cepet...” Fitri sudah buru-buru nyeret ember air.
Waktu tangan mereka hampir bersentuhan saat ngeluarin kain dari ember, Rara tiba-tiba berhenti.
“Fit, kowe kenal Mas Arif uwes suwe yo?”
Fitri mengangguk. “Iyo, Mbak. Dari kecil. Aku ndisek sering dikongkon Mbok Jum nganter makan neng kene. Mas Arif kuwi baik, kadang seneng ngajarin aku moco Qur’an.”
Rara diam.
Ada sesuatu di dalam dadanya yang menegang pelan.
Fitri menatapnya lagi, dengan senyum samar tapi ada tatapan kagum di matanya.
“Mas Arif kuwi... orang paling sabar sing pernah aku kenal, Mbak. Kadang aku mikir, wong koyok kuwi, siapa pun sing dadi bojone pasti beruntung.”
Rara hanya menjawab pelan, “Iyo... semoga kowe juga nemu orang sabar seperti mas Arif, Fit.”
Fitri tertawa kecil, tapi matanya menunduk.
“Semoga, Mbak... tapi kadang cinta nggak bisa milih.”
Kalimat itu bikin udara di halaman tiba-tiba berubah sunyi.
Rara membalik badan, pura-pura sibuk peras sprei, tapi di balik wajahnya yang tenang, pikirannya kacau lagi.
“Opo maksude Fitri ngomong ngono? Cinta ora iso milih? Opo Fitri isih ngrasakke sesuatu neng Mas Arif?”
Malamnya, setelah rumah sepi, Rara duduk di kursi rotan sambil ngeteh.
Arifbol sudah tidur, Bu Wiji juga sudah masuk kamar.
Dari arah dapur, samar-samar terdengar Fitri lagi ngaji pelan. Suaranya lembut, merdu, bikin suasana rumah adem.
Rara terdiam, menatap ke arah suara itu.
Tapi kali ini hatinya nggak sepenuhnya tenang. Ada rasa iri yang nggak bisa dia tolak — iri karena Fitri bisa ngaji dengan suara seindah itu, iri karena Fitri begitu tenang, sementara dia setiap malam masih takut kalau suaminya kejang lagi.
Rara menunduk, menatap cangkir tehnya yang sudah dingin.
“Ya Allah… aku ora pengin iri. Tapi nangpo atiku kok dadi sempit ngene?”
Ia menatap kamar Arifbol, tersenyum samar, lalu berbisik pelan:
“Mas, mungkin kowe ora ngerti, tapi aku sedang belajar ikhlas… bukan cuma karo keadaanmu, tapi juga karo atiku sing terus diuji.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rara nggak cuma jadi istri yang tangguh — tapi juga wanita yang mulai memahami, bahwa cinta sejati bukan tentang siapa yang paling sempurna…
tapi siapa yang tetap bertahan meski hatinya sering remuk dalam diam.