"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21 Meminta Tanggung Jawab
"kenapa Mama senyum-senyum sendiri?" Shela yang baru keluar kamar curiga melihat mamanya yang nampak santai dan tersenyum sendiri sambil menikmati teh.
"Kamu nggak usah ikut campur urusan Mama, tunggu saja hasilnya," jawab Santi enteng. Wanita itu meletakkan cangkir tehnya. Lalu beralih mengambil ponsel. Membukanya untuk melihat balasan dari pesan yang baru ia kirim.
Shela semakin curiga. Pasti ada sesuatu. Dengan cepat, Shela merebut ponsel milik ibunya.
"Shela, apa-apaan, kamu. Nggak sopan!" hardik Santi saat anaknya berlaku kurang ajar.
Shela tahu ia salah, tapi ia juga harus tahu apa yang mamanya rencanakan. Benar dugaan Shela. Saat ia melihat ponsel ibunya, terlihat pesan vidio dikirim ke kontak bertuliskan Maira.
"Apa maksud Mama ini? Kenapa Mama kirim vidio begini ke istrinya Kak Arka. Tujuan Mama apa?" Shela tak bisa tak meninggikan suara. Baginya sang ibu sudah keterlaluan.
Setelah kemarin menjebak kakak iparnya untuk tidur bersamanya, ternyata ibunya juga membuat vidio atas apa yang terjadi di ranjang waktu itu.
Shela tak habis pikir ibunya sampai berbuat nekad seperti itu. Merendahkan harga dirinya sebagai perempuan.
"Tujuan Mama jelas agar Arka menikahi kamu, dan sebelum itu terjadi wanita itu harus tersingkir lebih dulu. Mama nggak mau kamu dipoligami. Mama cuma mau kamu menjadi satu-satunya istri Arka. Paham, kamu!"
Shela menggeleng keras. Kemarahan jelas tersirat di raut wajahnya. "Nggak ... ini nggak boleh terjadi. Mama nggak bisa ambil keputusan ini sepihak. Apa lagi dengan menghancurkan rumah tangga Kak Arka. Aku nggak akan biarin ini terjadi, Ma!"
Dengan kasar Shela mengembalikan ponsel milik ibunya. Lalu pergi begitu saja.
"Shela ... tunggu!"
*****
Hari masih begitu pagi tapi Syafa sudah menggedor-gedor pintu kos pacarnya. Ia tak mau kehilangan jejak pria itu lagi setelah dapat kabar dari petugas keamanan kos yang ia bayar agar memberi kabar saat pacarnya itu pulang.
"Edo, buka pintunya!" teriak Syafa dengan tangan yang tak henti-hentinya menggedor pintu.
Meski cukup lama ia melakukan hal itu, si pemilik kamar masih enggan membuka. Justru tetangga kos lah yang keluar karena teriakan dan suara gedoran pintu yang Syafa buat begitu mengusik ketenangannya.
"Woy, bisa diem nggak, lo! Jangan bikin rusuh di sini!" teriak pria yang menyembul dari pintu kamar sebelah kamar kos Edo.
"Sorry, tapi ini urgent. Gue harus ketemu pacar gue. Gue mau minta tanggung jawab dia!" jawab Syafa dengan berani.
Si pria hanya bisa membuang napas kasar. Kalau sudah perkara minta tanggung jawab ia tak akan lagi bisa protes. Hanya bisa pasrah dan kembali ke dalam kamarnya. Hal seperti ini bukan satu dua kali terjadi di kosnya ini. Pria-pria penghuni kos ini nampaknya memang hobi bikin masalah sama anak orang. Pas tiba saatnya masalah tiba, mereka akan datang dengan marah-marah dan dalih minta pertanggungjawaban.
"Edo, keluar, lo!" teriak Syafa lagi saat pria yang menegurnya kembali masuk.
Setelah usaha kerasnya, akhirnya pemilik nama Edo Prasetya itu keluar juga. Ia membuka pintu meski hanya sedikit, dan itu menimbulkan kecurigaan pada diri Syafa. Terlebih saat Syafa dilarang masuk.
"Kenapa lo ngelarang gue masuk. Apa yang lo sembunyiin?"
"Nggak ada, lo bilang aja apa mau lo sekarang," elak Edo. Kasar!
Syafa tahu pasti ada sesuatu yang Edo sembunyikan, karena itu ia berani merangsek masuk dengan mendorong tubuh Edo dengan paksa.
"Eh, apa-apaan, sih, lo!" protes Edo ketika Syafa mendorongnya.
Begitu berhasil masuk, mata Syafa langsung menangkap tas ransel milik pacarnya itu. Dugaannya benar. Edo rupanya mau kabur.
Syafa menoleh menatap Edo. "Jadi lo mau kabur gitu aja setelah lo bikin gue dan keluarga gue berantakan. Ibu gue bahkan sampai meninggal dan semua karena lo. Sekarang lo mau lepas semua tanggung jawab!"
Edo salah tingkah ketika Syafa menyebutkan dosa-dosa yang ia buat.
"Tega ya, lo ... gila!"
Edo diam. Seakan ia mengakui semua salah adalah miliknya.
"Gue nggak mau tahu. Lo harus ambil sertifikat rumah gue dan balikin ke gue!" bentak Syafa.
"Sayang, kita bisa bicarakan ini baik-baik, kan?" Edo tak ada cara lagi. Niatnya mau kabur pun sudah ketahuan. Ia harus kembali baik pada Syafa agar gadis itu kembali terperdaya.
"Ngomong baik-baik? Kurang baik apa gue ngomong selama ini sama lo? Gue udah minta lo secara baik-baik, tapi lo malah ngindari gue. Sekarang lo justru mau kabur. Sebenernya mau lo tu apa, hah?" Emosi Syafa jelas memuncak. Ia dikhianati pacarnya secara terang-terangan dan sadar.
Edo menipunya. Pria itu ingkar janji. Dan pahitnya lagi, Edo mau lepas tanggung jawab begitu saja.
"Pokoknya lo harus segera tebus sertifikat itu sekarang juga kalau lo nggak mau dilaporin ke polisi!"
Edo tak acuh. Ia sudah tak tahu lagi harus bagaimana. Saat ini saja ia sedang pusing karena ditagih hutang sana-sini. Ini juga yang melatarbelakangi ia akan kabur pagi ini. Sialnya,Syafa lebih dulu sampai ke kosnya.
Edo mulai mengambil tas ransel, menggendongnya dan bersiap pergi.
Melihat dirinya diabaikan, Syafa tak tinggal diam. "Edo, mau lo apa sih? Lo harus bertanggung jawab, lo balikin sertifikat rumah gue!"
Syafa menarik Edo yang hendak keluar. Membuat Edo meradang dan mendorong tubuh pacarnya itu sampai terjengkang. Saat itulah Edo memanfaatkan kesempatan untuk kabur dari Syafa.
"Edo!" teriak Syafa. Ia abaikan sakit karena terbentur lantai. Berusaha bangkit untuk mengejar sang kekasih.
"Edo, tunggu!"
Yang dipanggil terus berlari. Mengabaikan Syafa yang kepayahan mengejarnya. Edo lupa bagaimana dulu ia membujuk Syafa agar mau menjadi pacarnya. Memberikan kata-kata manis agar Syafa luluh. Pun, sama, saat ia meminta Syafa agar mau meminjamkan sertifikat rumah milik ibunya.
Berbagai jurus rayuan maut ia keluarkan. Mulai dari membagi keuntungan bisnis sampai ia akan datang melamar Syafa saat usahanya nanti sukses. Nyatanya usaha yang dulu digadang-gadang tak pernah ada. Uang hasil gadai sertifikat rumah digunakan Edo untuk main judi online. Bukannya untung malah buntung.
Semua habis, bahkan terakhir Edo menjual laptop miliknya untuk ia gunakan pergi dari kota ini. Hutang Edo sudah terlalu banyak, dan ia tak ada kemampuan untuk membayar sama sekali.
"Edo!" Syafa berhasil menarik kaus Edo dan membaut pria itu berhenti.
Bukannya bicara baik-baik untuk menyelesaikan masalah, Edo malah tersulut emosi karena sikap Syafa.
"Jangan ikutin gue, bodoh!" bentak Edo.
"Gue nggak akan lepasin lo sampai lo bertanggung jawab atas rumah gue!" Syafa sama beraninya.
"Gue belum ada uang. Saat ini gue bener-bener nggak ada uang!"
"Gue nggak peduli. Lo harus bertanggung jawab!" Syafa hampir menarik tangan Edo untuk ia bawa ke pada kakaknya.
"Dasar cewek sialan!" Edo menepis tangan Syafa. Pria itu bahkan berlaku seperti pengecut, dengan berniat memukul Syafa.
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi mulus Syafa. Saat tamparan ke dua akan ia layangkan, seseorang justru menahannya.
"Jangan berani-berani kamu sentuh dia dengan tangan kotormu itu!"
Edo dan Syafa sama-sama kaget dengan kehadiran orang ini. Tapi Syafa merasa bersyukur karena pertolongan untuknya datang.
.