"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32
Waktu terus berputar hari berlalu dan bulan pun berganti. Tak terasa lima bulan telah berlalu semenjak kepergian Fajar. Namun waktu tak serta merta bisa menghapus sosok yang telah pergi untuk selamanya itu dari sudut ruang terdalam hati. Rindu masih datang menggoda hati untuk terus larut dalam duka kehilangan, namun realitanya hidup memaksa harus tetap berlanjut meskipun sebelah kaki harus terpincang-pincang.
Temaram lampu kamar menemani malam yang belum larut, tak ada percakapan antara Renata dan Fauzan yang tengah merebah tanpa jarak di atas tempat tidur. Keheningan diantara mereka terasa berat seperti menyimpan banyak kata yang sulit terucap.
Renata menghela napas dalam, tangannya mengusap lengan Kokok Fauzan yang melingkar di perutnya. Entah kenapa suaminya itu semenjak pulang dari Bandung sore tadi banyak diam dan murung, seolah tengah menyimpan beban yang sangat berat. 'Apakah proyek di Bandung tengah bermasalah? Kenapa diam padahal biasanya kalau ada masalah dengan pekerjaan selalu bercerita' monolognya terus meracau.
Tak ingin dilanda gundah yang tak berujung tanpa sebab, Renata akhirnya menyerah. Ia membalikkan tubuh menghadap Fauzan yang semakin mengeratkan dekapan padanya.
Ia mendongakkan kepala, menatap wajah sendu Fauzan. "Mas kenapa?"
"Hmm?"
"Mas kenapa? Apa ada masalah dengan pekerjaan di Bandung?" Renata mengulang pertanyaannya, sorotnya menelisik netra Fauzan yang berulang kali menghela napas berat.
"Enggak ada sayang. Mas hanya lelah, dan saat ini hanya denganmu dan saat bersamamu mas bisa tenang. Maafkan mas kalau lelah mas membuatmu tidak nyaman." Fauzan menarik wajah Renata dan mendekapnya di dada berharap perempuannya itu bisa mendengar detak jantungnya yang tengah berperang dengan beban yang ia pikul saat ini.
Renata terdiam sesaat, namun tak lama kemudian ia memundurkan wajahnya dan kembali mendongak. "Mas, mungkin raga kita memang beda dan terpisah tapi asal mas tahu separuh jiwaku adalah mas. Aku bisa merasakan jika mas saat ini lagi enggak baik-baik saja. Apapun masalah mas dalam pekerjaan dan semuanya adalah masalahku juga, lelah mas adalah lelahku juga. Aku adalah rumah buat mas, apapun yang membuat mas lelah di luar sana maka akulah tempatmu pulang, curahkan semuanya. Kita jalani dan hadapi sama-sama kecuali pengkhianatan."
Deg.
"Enggak sayang! Mas beneran hanya lelah, dan mas hanya ingin minta kamu untuk berjanji. Apapun yang terjadi kelak tetaplah disisi mas, kamu boleh menyiksa dan menghukum mas sepuasmu tapi jangan tinggalkan mas. Kamu adalah cinta dan hidup mas yag sesungguhnya." Fauzan kembali mendekap Renata dengan dada yang berdentuman menahan gejolak yang kian memenuhi. Bahkan air matanya kini menetes pada kening Renata sehingga membuat perempuan itu terhenyak.
"Mas! Mas kenapa? Jangan bikin aku takut seperti ini. Ada apa? Aku mas anggap apa kalau mas ada masalah tapi aku seperti orang bo-doh yang hanya diam tidak melakukan apa-apa!"
"Enggak sayangku, diam lah biarkan mas seperti ini. Kamu adalah obat dari semua masalah dan lelah mas." Lirih Fauzan sembari memejamkan mata.
Renata terdiam meski sebenarnya hati semakin dilanda gelisah, bahkan entah kenapa saat ini tiba-tiba dadanya di penuhi sesak yang tidak tahu sebabnya apa.
Flashback
Fauzan tergelak saat Azka mengorek lubang hidungnya, berulang kali ia menciumi wajah bayi yang kini sudah pintar merangkak tersebut. Bahkan setiap ia pulang bekerja sosok mungil itu selalu menyambutnya dengan rengekan dan tangan yang membentang meminta untuk di gendong. Lelah yang menderanya pun seketika menguap entah kemana.
"Boy ayo sama Oma dulu ya, papa mau mandi dulu biar wangi dan ganteng kayak kamu okay!" Fauzan bangkit dari tempat tidurnya sambil menggendong Azka keluar dari kamar, bahkan tidak menyadari kalau dirinya saat ini tengah bertelanjang dada.
Ia menuju ruang tengah namun disana sepi, 'kemana mereka?' gumamnya seraya membalikkan badan hendak memasuki rumah Sophia dan baru beberapa langkah samar-samar terdengar riuh tawa ibunya dan suara yang terasa asing di telinganya.
"Zan, kirain tidur? Tadinya mau ibu susul ke kamar sudah jam 5 juga ini."
"Enggak kok." Fauzan menoleh kearah Sophia yang seketika memalingkan wajah saat menatapnya. Ia hanya mengerutkan kening lalu kembali beralih pada Kartika. "Bu, tolong ambil kakak dulu aku mau mandi."
"Enak ya Zan dinas kerjanya di kampung halaman. Kerjaan lancar dan orang tua pun tak terlantar." Celetuk Maya tetangga dekat Kartika yang sering datang ke rumah Sophia hanya untuk melihat si kembar.
"Iya bu Maya Alhamdulillah, rezeki terbesar saya adalah mendapat tugas menangani proyek di sini, tapi mungkin hanya tinggal satu tahun lagi karena sekarang pembangunannya sudah hampir 70 persen." Tutur Fauzan seraya berdiri setelah menyerahkan Azka pada Kartika dengan buru-buru, ia merasakan kantung kemihnya minta dikosongkan. Karena buru-buru ia tak menyadari Sophia tengah berdiri dibelakangnya sambil menggendong Azkia. Ia terhenyak saat dadanya menubruk tangan Sophia dan Azkia, reflek tangan kekarnya menahan tubuh mungil Sophia supaya tidak terjengkang.
"Argh, maaf sayang! Papa buru-buru kirain enggak ada Kia." Fauzan tergagap ia segera melepaskan tubuh Sophia yang menempel pada tubuh polosnya dan beralih mengambil Azkia yang menangis karena kaget. Bahkan tak menghiraukan semua mata tertuju padanya termasuk Maya.
"Maaf mas." Sophia kembali meminta maaf, ia menadahkan tangannya. "Kia nya sini sama bunda lagi, papa nya mau mandi. Mas mandi saja enggak apa-apa nanti juga reda sendiri nangisnya, ini juga bukan karena sakit cuma kaget kok." Ujar Sophia dengan wajah yang memerah, ia tak berani mengalihkan pandangannya dari tubuh sang putri.
"Oke, oke!" Tanpa banyak bicara Fauzan pun menyerahkan Azkia pada Sophia dan berlalu dengan tergesa.
Tak ingin menjadi perhatian Maya yang terlihat penasaran, Sophia memilih pamit pada Kartika dan Maya dengan alasan mau memberi makan Azka dan Azkia dengan di bantu Ninis.
"Ceu Tika boleh nanya sesuatu gak? Tapi maaf mungkin ini terlalu lancang." Ucap Maya dengan suara setengah berbisik, ia menggeser duduknya lebih dekat pada Kartika.
"Nanya apa May? nanyain Fauzan sudah punya momongan?" Todong Kartika sedikit ketus.
"Bukan!" Maya menggeleng cepat. "Ini masalah Neng Shopie." Ucapnya seraya melirik kearah dalam rumah.
"Kenapa dengan menantuku?" Kartika mengerutkan kening.
"Gini ya, ini cuma saranku saja Ceu." Maya menjeda ucapannya kemudian kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman seolah takut ada yang menguping.
"Neng Sophie itu masih muda, mungkin sekarang dia belum kepikiran untuk memulai hidup baru dan menikah lagi karena si kembar masih kecil. Tapi nanti saat si kembar sudah melewati usia batita kan tidak menutup kemungkinan dia akan membuka hati untuk pria lain, secara dia itu cantik banget."
"Maksudmu? Jangan berbelit-belit!" Potong Kartika dengan nada kesal karena menurutnya Maya terlalu berbelit-belit.
"Ceu Tika kenapa enggak nikahkan saja neng Sophie sama Fauzan! Mereka bukan mahram dan sah menikah, dan itu akan membuat semuanya lebih leluasa. Laki-laki boleh poligami daripada neng Sophie nikah sama laki-laki lain yang belum tentu bisa nerima si kembar lebih baik sama Fauzan yang sudah jelas-jelas sangat menyayanginya. Dan juga mereka sering berinteraksi lho Ceu, lama-lama akan jadi fitnah yang menjurus pada zi-na karena interaksi keduanya itu. Kemarin saja aku perhatikan meraka tertawa riang saat momong si kembar, mereka seperti pasangan suami istri yang bahagia."
Kartika terdiam, ia menatap Maya dengan sorot yang sulit diartikan.
"Saranku bagus kan?"
"Iya, tapi masalahnya Zan itu kan bucin sama Renata." Keluh Kartika diakhiri helaan napas panjang.
"Bucin saat mereka bersama kan? Tapi kan Fauzan seringnya datang kesini tanpa istrinya Ceu. Bahkan istrinya belum hamil kan sampai saat ini, Fauzan pasti mau meskipun awalnya dia bakal nolak." Lagi-lagi Maya kembali meyakinkan.
.
.
.
Ninis memasuki kamar si kembar, ia langsung menghampiri Sophia. "Neng dipanggil ibu!" Ucapnya pelan tak ingin mengganggu tidurnya si kembar. "Neng temui dulu biar saya disini."
"Iya teh, titip si kembar ya!" Sophia meletakkan ponselnya kemudian bangkit, ia menghampiri cermin lalu merapikan kerudungnya. Setelah memastikan semuanya rapi ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar denga hati dipenuhi tanya, tak biasanya mertuanya itu memanggilnya malam-malam kalau tidak ada hal yang sangat penting.
"Bu, ibu manggil Sophie?" Sophia berdiri menatap bergantian 3 orang yang sudah duduk di depan televisi.
"Iya, si kembar sudah tidur kan?"
"Sudah tadi pas mas Zan antar kekamar juga tak lama langsung tidur mereka, Alhamdulillah."
"Duduklah! Ibu sama bapak mau bicara hal penting pada kalian." Kartika menoleh pada sofa disebelahnya yang masih kosong, kemudian beralih pada Fauzan yang memasang wajah keruh.
Tanpa menunggu perintah dua kali Sophia langsung menduduki sofa disebelah Kartika.
"Nak, ibu mau bicara hal penting. Ini tentang masa depan kalian dan si kembar, tolong dengarkan baik-baik dan jangan potong dulu ya." Ucap Kartika hati-hati, ia melirik Fauzan dan Ikram tak lama kemudian kembali beralih pada Sophia yang menatapnya penuh tanya.
'Kalian dan si kembar' Monolog Sophia, keningnya berkerut bingung dengan kata 'kalian' yang dimaksud mertuanya tapi ia tidak berani bertanya sebagaimana yang dikatakan Kartika tidak boleh memotong pembicaraannya.
"Nak, sebelumnya ibu ingin menegaskan kalau apa yang ibu minta saat ini padamu adalah untuk masa depan nak Sophie sama si kembar. Mungkin untuk saat ini akan sulit, tapi percayalah seiring berjalannya waktu semua akan terbiasa dan ibu yakin perasaan akan tumbuh diantara kalian."
Mendengar ucapan Kartika terutama pada kata 'kalian' Sophia reflek menunjuk dada seraya mengikuti tatapan Kartika yang mengarah pada Fauzan yang sama sekali tak bersuara, pria itu diam seribu bahasa.
"Ibu dan bapak ingin kalian menikah."
"Bu!!"
"Mm-maksud ibu?"
Sophia menatap Kartika lalu menoleh kearah Fauzan yang bersuara tinggi memanggil Kartika.
Dengan raut tenang Kartika kembali membuka suara. "Ibu ingin nak Sophie sama Zan menikah. Bukan tanpa alasan, ini semua demi kebaikan kita terutama Azka dan Azkia. Kasih sayang siapa yang akan bisa melampaui orang-orang yang memiliki hubungan darah dengannya, tidak ada! Ibu tidak akan tenang bila suatu saat nanti ibu dipanggil yang Maha Kuasa si kembar memiliki ayah sambung orang lain." Suara Kartika seketika bergetar, ia menyeka sudut matanya yang berair.
"Dan satu hal yang harus kalian tahu, kalian bukan mahram kedekatan, keakraban dan kebersamaan kalian akan menimbulkan fitnah meski sebenarnya kalian bersama dan berinteraksi hanya untuk si kembar. Tapi Dimata orang lain akan beda arti."
"Kalau alasan menikah hanya untuk menjaga fitnah aku bisa cari apartemen untuk tempat tinggalku saat bekerja disini Bu!" potong Fauzan cepat.
"Enggak Zan, bukan hanya itu! Apa kamu akan tenang membiarkan si kembar berada dalam pengasuhan orang lain? Apa kamu lupa dengan wasiat almarhum adik mu? Coba kamu ingat-ingat apa yang diucapkan adikmu sebelum menghembuskan napas terakhirnya? Dia menitipkan Sophie dan si kembar padamu itu artinya kamu yang harus menggantikan peran dia! Hiks."
Tangis Kartika pecah begitupun dengan Sophia, namun tak lama kemudian perempuan muda itu membuka suara. "Tapi Bu, aku tidak bisa. Bagaimana dengan mbak Renata, aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri." Ucapnya terisak.
"Justru itu, Renata sangat menyayangimu. Ibu jamin lambat laun Renata akan menerimanya karena kalian menikah bukan karena cinta, tidak ada pengkhianatan. Kalian bisa menjadi kakak adik madu, bisa lebih saling menyayangi dan bisa membesarkan si kembar bersama-sama penuh kasih."
"Aku tidak mau! Dan sampai kapanpun tidak akan ada pernikahan aku dan Sophie!"
Brak!
Fauzan menggebrak meja kemudian ia berdiri meninggalkan ruang televisi.
"Zan! Argh... Pak! Dada ib-bu sak-kitt."
"Bu!"
"Buu!!"
Seru Ikram bersamaan dengan jeritan Sophia yang langsung mendekap Kartika. Fauzan yang sudah berada ditengah undakan tangga pun tersentak. Seketika ia menghentikan langkahnya menoleh kearah sang ibu yang sudah tergeletak di sofa tak sadarkan diri membuat nya langsung berlari menuruni kembali undakan tangga.
"Buu!"
Jangan lupa tinggalkan jejaknya dears
Like komen vote dan ads ya🤗❤️