NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 The First Lunch

Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kaca besar di lantai dua kantor PT Global Teknologi Surabaya. Cahaya keemasan jatuh di atas meja-meja kerja yang mulai ramai, diiringi aroma kopi baru dari pantry dan suara lembut printer yang berdengung di sudut ruangan.

Beberapa karyawan berjalan membawa laptop dan dokumen, sebagian menyalakan komputer mereka sambil membicarakan berita tentang serangan siber yang hampir mengguncang Arjuno grup kemarin malam.

“Gila, ya. Katanya sistem hotel Arjuno hampir jebol?”

“Iya, tetapi diselamatin sama tim Global. Katanya Bu Rembulan sendiri yang turun tangan!”

“Bu Rembulan? Atasan kita?”

“Uh-huh. Yang gue denger sih kayanya gitu.”

Bulan yang sedang ada keperluan dengan tim programmer, hanya bisa mendengar percakapan itu samar-samar kemudian berlalu menuju lift dan langsung naik ke lantai lima (keruangannya). Sesampainya diruangannya dia duduk di kursi kulit warna putih, rambutnya tergerai lembut, mengenakan kemeja sage green dengan tangan kanan memegang cangkir kopi yang sudah setengah dingin. Di depan layar laptopnya masih terbuka laporan hasil koordinasi kemarin — halaman demi halaman penuh kode, catatan, dan analisis.

Tak lama pintu ruangannya di ketuk lalu Liora tiba tiba muncul di ruangannya dan langsung menatapnya dengan ekspresi “gue masih belum bisa move on dari kejadian kemarin dan gue butuh penjelasan.”

“Lo sadar gak sih, Bul,” kata Liora sambil menyeruput kopi, “kemarin tuh gue kayak nonton film Mission Impossible tetapi versi lokal.”

Bulan hanya menghela napas pelan, menatap layar laptop. “Iya, tapi kan, ini bener-bener lo alami sendiri, rasanya lebih kayak no sleep impossible.”

Sambil menaruh kopinya diatas meja, Liora tertawa pendek. “Lo kemarin keren banget tauk. Gue masih takjub lo bisa mikir sejernih itu pas semua panik.”

Bulan menatapnya sebentar, tersenyum kecil. “Sebenernya kalau cuma satu titik yang diserang, gue bisa handle sendiri, Li. tetapi hacker itu nyerang tiga titik sekaligus — database tamu, sistem pembayaran, sama server cadangan. Tujuannya buat ngecoh kita.”

“Dan berhasil bikin tim IT Arjuno panik,” potong Liora cepat. “tetapi lo bisa kontrol semuanya. Itu sih bukan keren lagi, Bul, itu udah level dewa namanya.”

Bulan terkekeh, menunduk sebentar. “Lebay lo.”

“Enggak. Serius.” Liora menyandarkan tubuh ke kursinya. “Gue liat cara lo kerja kemarin... gak cuma tenang, tetapi kayak lo tahu banget apa yang harus lo lakuin. Gue rasa Pak Bhumi juga liat itu.”

Nama itu — Bhumi — membuat Bulan terdiam sejenak. Cangkir di tangannya berhenti tepat di bibirnya, tetapi dia tak segera minum. Pikirnnya melayang entah kemana.

Liora langsung menyipitkan mata. “Apa? Lo mikirin sesuatu?”

Bulan menggeleng pelan, menaruh cangkir di meja. “Enggak. Cuma... aneh saja. Biasanya petinggi kayak dia gak akan mau turun langsung ke ruang server, apalagi buat lihat situasi.”

“Hmm,” Liora pura-pura berpikir, mengaduk kopinya. “Atau mungkin dia punya alasan lain buat ke ruang server.”

Bulan menatapnya datar. “Li.”

“Apa?” Liora menatap polos tetapi senyum nakalnya gak bisa disembunyikan. “Gue cuma bilang ‘mungkin’ kok.”

Sebelum Bulan sempat menjawab, ponselnya di meja bergetar pelan. Notifikasi baru muncul di layar: 1 pesan baru – Bhumi Jayendra.

Jantungnya berdegup kecil — bukan karena takut, tetapi karena tak menyangka. dia menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya membuka pesan itu.

Bhumi Jayendra:

Selamat pagi, Bu Rembulan.

Terima kasih atas kerja samanya semalam.

Kalau Anda tidak sibuk siang ini,

saya ingin mengundang Anda makan siang.

Ada beberapa hal terkait evaluasi sistem yang ingin saya diskusikan langsung.

Tangan Bulan masih memegang ponselnya, tetapi pikirannya sedikit melayang. Bahas evaluasi sistem, katanya. tetapi entah mengapa... nada pesannya terasa terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu pribadi untuk sekadar urusan kerja.

Liora, yang menyadari perubahan ekspresi sahabatnya, langsung mencondongkan tubuh.

“Siapa tuh? Kok lo tiba-tiba diem?”

Bulan buru-buru mengunci ponselnya. “Klien.”

“Klien mana?”

“Klien besar.”

“Klien besar... yang tinggi, gagah, cool dan kelihatan ganteng pas diliat dari sudut 45 derajat?” ucap liora sembari meminum kopinya yang sudah mulai dingin.

Liora tahu siapa yang dimaksud itu, tapi ia tidak akan berani bilang sebelum Bulan sendiri yang memberitahunya. Rasanya sudah lama sekali tidak melihat Bulan sedikit tersipu dan malu malu apabila sudah membicarakan tentang seseorang, apalagi itu seorang laki laki. Rasanya sangat menyenangkan bisa meledek Bulan seperti ini lagi.

Bulan menatapnya datar lagi. “Liora.”

“Oke, oke!” Liora tertawa kecil, mengangkat kedua tangannya. “tetapi ekspresi lo jelas sangat, Bul. Lo dapet pesan dari dia, kan?”

Bulan berdeham, menatap kembali ke layar laptopnya, pura-pura sibuk mengetik. Entah mengapa dia tidak berani menatap Liora balik, seakan akan dia takut Liora bisa membaca isi pikirannya.

“Dia cuma mau bahas sistem. Gak ada yang aneh.” Ucapnya santai yang masih berpura pura mengetik di laptopnya.

“Sure.” Nada Liora terdengar setengah menggoda. “tetapi lo gak perlu ngeles, Bul. Gue liat sendiri cara dia ngeliat lo semalam. Tatapan ‘Man mode off, admiration mode on’ sangat.”

Bulan memutar matanya pelan, tetapi senyum tipis tetap muncul di sudut bibirnya. “Li, tolong jangan bikin narasi baru. Gue udah cukup capek buat ngurus hacker kemarin, gak perlu nambah drama baru.”

“Tenang,” kata Liora, sambil berdiri mengambil gelas dari meja kerja Bulan. “Gue gak bikin drama, Bul. Gue cuma... menyampaikan fakta yang belum lo sadari.”

Setelah Liora keluar dari ruangannya, Bulan temenung memikirkan ucapan Liora barusan “cuma... menyampaikan fakta yang belum lo sadari”.

‘Apa gue udah mulai jatuh sama pesonanya Pak Bhumi’. Pikirnya dalam hati.

“Enggak mungkin .. dia siapa, gue siapa” gumannya pelan sembari menggelengkan kepalanya.

Di luar ruangan kaca itu, matahari makin tinggi. Bulan menatap pesan di ponselnya sekali lagi — kalimat singkat, tetapi entah mengapa terasa menembus lapisan profesionalitas yang biasanya dia jaga rapat-rapat.

dia menarik napas pelan, mengetik balasan:

Rembulan Adreyna:

Selamat pagi, Pak Bhumi.

Tentu, saya siap siang ini. Silakan tentukan waktunya.

Pesannya terkirim. Dan saat layar ponsel kembali gelap, Bulan mendapati dirinya tersenyum kecil tanpa alasan jelas. Pipinya tiba tiba memanas seiring dengan pesan yang tecentang biru tanda pesannya sudah dibaca oleh Bhumi

**

Siangnya langir Surabaya tampak jernih. Cahaya matahari menembus kaca tinggi gedung restoran Étoile, menciptakan pantulan lembut di meja-meja putih berlapis linen. Musik piano mengalun samar di udara, berpadu dengan aroma wine dan rosemary dari dapur terbuka di ujung ruangan.

Udara di dalam restoran terasa sejuk dan wangi — campuran antara bunga segar di setiap meja, aroma lembut kayu oak dari lantai, dan semerbak herb butter yang baru saja dituang ke piring panas. Setiap sudut ruangan ditata rapi dan minimalis, namun ada kehangatan tersirat di balik kesederhanaannya.

Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang menari di permukaan gelas-gelas wine, sementara dindingnya dilapisi panel kayu muda dengan garis-garis halus, menciptakan suasana yang intim namun tetap berkelas.

Dari jendela besar yang menghadap ke taman yanga ada di luar, cahaya matahari memantul pada permukaan air mancur kecil — menebarkan bias cahaya lembut yang menari di dinding kaca. Beberapa tamu berbicara pelan di meja masing-masing, tertawa dengan suara teredam, dan pelayan-pelayan berseragam hitam-putih bergerak ringan di antara meja dengan langkah hampir tanpa suara.

Semuanya tampak tertata dengan ritme yang tenang, seolah waktu di tempat itu mengalir sedikit lebih lambat dari dunia luar. Restoran itu bukan sekadar tempat makan — tetapi ruang kecil di mana kesunyian berubah menjadi keindahan.

Di salah satu sisi ruangan, tepat di dekat jendela besar itu, duduk Bhumi Jayendra. Kemeja putih dan jas abu lembut yang dia kenakan memantulkan cahaya siang dengan tenang. dia duduk dengan postur tegak tetapi santai, satu tangan memegang ponsel, sementara yang lain menepuk ringan permukaan meja —

seolah sedang menunggu sesuatu yang entah dia sendiri paham atau tidak, membuat dadanya terasa sedikit... berbeda.

Saat pintu kaca terbuka, langkah sepatu datar terdengar lembut di lantai marmer. Bhumi menoleh.

Rembulan Adreyna melangkah masuk — mengenakan kemeja satin berwarna sage green dengan potongan sederhana, dipadukan dengan trousers putih gading dan sneakers bersih. Rambutnya digerai bergelombang, menambah kontras antara tampilan formal dan aura alami yang selalu dia bawa tanpa usaha. Cahaya matahari menyorot wajahnya lembut, dan Bhumi sempat diam sejenak — bukan karena terkejut, tetapi karena merasa sesuatu dalam dirinya berhenti bergerak.

Bhumi makin terperosok akan pesona seorang Rembulan Adreyna, matanya tidak bisa dia alihkan sedikitpun dari Bulan.

“Selamat siang, Pak Bhumi,” sapa Bulan dengan senyum sopan. “Saya tidak terlambat, kan?”

Bhumi berdiri dan menarikkan kursi untuknya. “Tidak. Saya memang datang lebih awal.”

“Ah.” Bulan duduk perlahan, meletakkan tas laptop di kursi sebelahnya. “Restorannya tenang sekali.”

“Ya,” jawab Bhumi, “saya memang memilih tempat yang tidak terlalu ramai. Biar kita bisa bicara tanpa gangguan.”

Pelayan datang membawa menu dan minuman pembuka. Setelah mereka memesan, suasana hening sebentar — hanya musik piano dan desiran halus AC yang terdengar.

Bulan membuka percakapan dengan nada profesional. “Jadi, sesuai pembahasan kemarin malam, saya sudah menyiapkan evaluasi sistem untuk database utama Arjuno grup, Pak.”

dia mengeluarkan tablet dari tasnya, menyalakannya, dan menyerahkannya pada Bhumi.

“Tiga titik serangan kemarin menunjukkan pola terkoordinasi. tetapi setelah saya dan tim memeriksa lebih dalam, ada indikasi kalau firewall lama Arjuno belum sepenuhnya ditutup dari jalur remote administrator lama.”

Bhumi mengambil tablet itu, matanya menatap layar tetapi pikirannya setengahnya teralihkan pada ketenangan suara Bulan. “Jadi Anda ingin menutup jalur itu sepenuhnya?”

“Tidak hanya menutup, tetapi memindahkan sistem pemantauan real-time-nya ke cloud lokal yang terenkripsi, lalu buat akses satu arah. Kalau ada percobaan masuk, sistem akan langsung memutus koneksi sebelum sempat membaca data.”

Bhumi menatapnya. “Kedengarannya seperti sistem yang digunakan oleh sektor finansial.”

Bulan tersenyum kecil. “Ya. tetapi sektor pariwisata kini juga menyimpan data besar. Bagi saya, keamanan data tamu dan kredibilitas brand itu sama pentingnya.”

Kalimat itu sederhana, tetapi disampaikan dengan cara yang membuatnya sulit dibantah. Ada nada keyakinan, tetapi tanpa kesombongan. Dan Bhumi tahu — dalam dunia bisnis, orang seperti itu langka.

Makanan mereka datang — tenderloin untuk Bhumi, salmon beurre blanc untuk Bulan. Aroma butter, lemon, dan lada hitam memenuhi meja, bercampur dengan wangi bunga dari vas kecil di antara mereka.

“Jadi,” ucap Bhumi pelan sambil meletakkan tabletnya, “dengan pembaruan sistem itu, Anda yakin Arjuno akan aman dari serangan berikutnya?”

“Tidak ada sistem yang benar-benar aman, Pak Bhumi,” jawab Bulan tenang, menusuk potongan salmonnya. “tetapi setidaknya, sekarang kita bisa tidur lebih nyenyak.”

Bhumi menatapnya lama, bibirnya terangkat tipis. “Saya tidak tahu apakah itu candaan atau pandangan.”

“Mungkin dua-duanya,” sahut Bulan, senyum menari di sudut bibirnya.

Tawa kecil Bhumi lolos tanpa sengaja — suara rendah tetapi hangat, sesuatu yang jarang terdengar darinya. Dan bagi Bulan, itu suara yang ingin dia simpan diam-diam.

Beberapa menit berlalu dalam percakapan ringan. Tentang sistem keamanan, perjalanan kerja, dan sedikit tentang Surabaya. Namun di sela-sela pembahasan formal itu, setiap jeda diam terasa hidup – seperti keduanya tahu bahwa ada sesuatu yang mengalir di bawah semua kalimat profesional mereka.

Bhumi akhirnya menatapnya, nada suaranya berubah lebih lembut.

“Saya jarang ketemu orang yang bisa ngomongin data tapi tetap bikin topiknya enak didengar.”

Bulan menatapnya, sedikit kaget tetapi tersenyum. “Kirain cuma kode yang bisa bikin tenang, Pak.”

Bhumi menoleh pelan. “Enggak juga.”

Bulan mengangkat alis. “Oh iya?”

Bhumi tersenyum kecil. “Kadang… orang yang ngerjain kodenya juga bisa bikin tenang.”

Keheningan singkat menyusul. Terlalu singkat untuk disebut aneh, tetapi cukup lama untuk membuat keduanya sadar bahwa percakapan ini sudah bukan sekadar tentang pekerjaan.

'Suasana apa barusan', pipi Bulan seketika memanas setelah mendengar penuturan Bhumi. Apa barusan Bhumi sedang merayunya atau hanya percakapan sederhana antar klien. Entahlah yang jelas saat ini jantung Bulan sudah tidak bisa dikondisikan, dia merasakan degup jantungnya terlalu kencang.

Kemudian pelayan datang membawa dessert menu, menenangkan suasana yang perlahan terlalu personal dan agak sedikit canggung. Mereka memakan desert itu dengan keheningan, sesekali Bulan melirik kearah Bhumi yang sedang menyendokkan makannnya terlihat tampan menurutnya. Begitupun Bhumi yang sesekali menatap Bulan yang terlihat begitu mempesona dibawah sinar matahari yang masuk melalui jendela restoran.

Setelah menenangkan degup jantungnya, Bulan menutup tabletnya, berkata ringan, “Evaluasi sistem lengkapnya akan saya kirim sore nanti, Pak.”

Bhumi mengangguk. “Saya tunggu. tetapi... terlepas dari itu, terima kasih sudah datang.”

“Ini bagian dari kerja sama kita,” jawab Bulan sopan.

“Tidak.” Bhumi menatapnya sebentar. “Ini... lebih dari sekadar kerja sama.”

Bulan membeku beberapa detik ‘Apalagi ini ya Tuhan, maksudnya ini cowok masih mau terus ketemu sama gue’ suara batinnya berteriak. Sebelum akhirnya menjawab dengan senyum kecil yang samar.

“Kalau begitu... sama-sama, Pak Bhumi.”

Ketika mereka berjalan keluar restoran, angin siang yang lembut menyambut dengan aroma bunga dari taman di depan gedung. Langit biru Surabaya masih sama jernihnya seperti saat mereka datang,

tetapi entah mengapa — semuanya terasa sedikit berbeda sekarang. Untuk pertama kalinya, langkah dua orang itu berjalan sejajar. Tidak ada data, tidak ada strategi,

**

Langit Surabaya mulai bergeser ke sore ketika Bhumi Jayendra melangkah masuk ke kantornya di lantai tiga puluh gedung Arjuno Grand Hotel. Ruang kerjanya sunyi, berlapis aroma khas kayu sandalwood yang menenangkan. Dinding kaca memantulkan bayangan dirinya — jas yang masih rapi, dasi sudah terlepas semua, dan wajah yang entah mengapa tampak... sedikit berbeda.

dia berjalan pelan menuju meja, menaruh jasnya di sandaran kursi, dan baru saja hendak duduk ketika suara pintu diketuk.

“Masuk.”

Pintu terbuka, dan Marvin Nalendra muncul — kemeja abu lembut, ekspresi tenang seperti biasa, tangan membawa dua gelas kopi hitam. “Gue bawa tambahan kafein, siapa tahu lo butuh.”

Bhumi mengangkat alis, menerima salah satunya. “Sejak kapan lo perhatian begini?”

“Sejak gue liat lo di lobby tadi,” jawab Marvin datar, menaruh gelasnya di meja. “Lo keliatan... beda.”

Bhumi mendongak pelan. “Beda bagaimana?”

“Kayak orang yang abis meeting sukses tetapi bukan karena proyeknya.” Nada Marvin datar sangat, tetapi di ujung bibirnya ada senyum kecil yang menyebalkan.

Bhumi hanya mendesah pendek. “Lo kebanyakan baca ekspresi orang.”

“Bukan. Gue kebanyakan ngelihat lo bertahun-tahun,” balas Marvin kalem, duduk di kursi tamu. “Biasanya abis makan siang, lo balik dengan raut lelah. tetapi sekarang?” dia menatap Bhumi lama, meneguk kopinya.

“Sekarang lo keliatan tenang. Nyebelin, tetapi tenang.”

Bhumi menatap jendela, mencoba menahan senyum kecil yang tak sengaja muncul. “Kalau cuma karena makan siang bisa bikin tenang, lo harus sering makan di tempat yang bener.”

Marvin terkekeh pendek. “Atau sama orang yang bener?”

Bhumi diam. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia tidak membantah.

Marvin mencondongkan tubuh sedikit. “Siapa, Bhumi?”

Bhumi menatapnya datar. “Klien.”

“Klien?” ulang Marvin, nada suaranya penuh skeptis.

“Ya.”

“Siapa klien yang bikin lo senyum kayak begitu?”

Bhumi meliriknya setengah tajam, setengah geli. “Lo gak punya kerjaan ya, perusahaan lo udah mau bangkrut?”

“Sembarangan, Gue punya kerjaan,” jawab Marvin santai, “cuma kerjaan gue hari ini nambah, yaitu mastiin sahabat gue gak gila karena jatuh cinta.”

Bhumi mendengus pendek. “Jatuh cinta?”

“Yup.” Marvin berdiri, menepuk bahunya pelan. “Kalau lo belum sadar, yaudah. tetapi ekspresi lo barusan... lebih jujur dari apa pun yang pernah lo tanda tangani di kontrak bisnis.”

Bhumi menatap punggung Marvin yang berjalan keluar, lalu menghela napas panjang sambil menatap ke luar jendela. Sore mulai memantulkan cahaya keemasan di kaca gedung seberang. Dan di dalam ruang sunyi itu, untuk sesaat — Bhumi benar-benar tersenyum. Senyum kecil yang bahkan dirinya sendiri gak tahu alasannya.

**

Sementara itu di lantai Lima PT Global Teknologi, suasananya jauh dari tenang.

“BULAAAAAN!”

Suara Liora menggema dari lorong. Beberapa staf yang sedang lewat langsung menyingkir sambil menahan tawa, karena semua tahu — kalau Liora sudah memanggil nama sahabatnya dengan nada nyanyi begini, berarti ada gosip serius yang akan terjadi.

Bulan, yang sedang duduk di ruangannya menatap layar laptop, bahkan belum sempat menoleh ketika pintu dibuka tanpa ketukan.

Liora masuk dengan tote bag di satu tangan dan ekspresi seperti wartawan infotainment yang baru dapat bocoran penting. “Jadi. Lo pikir gue gak akan tahu?”

Bulan menatapnya datar. “Tentang?”

Liora menaruh tasnya di sofa. “Tentang makan siang misterius lo.”

Bulan menghela napas. “Li, itu cuma makan siang kerja.”

“Kerja?” Liora menyilangkan tangan di dada. “Kerja pakai outfit bagus dan senyum semanis itu? Kerja?”

“Dari pagi gue udah pake baju ini kali, Li .”

“Bulan.”

“Liora.”

Mereka saling tatap — perang tatapan klasik dua sahabat yang sama-sama keras kepala.

Akhirnya Liora menjatuhkan diri ke kursi di depan meja Bulan. “Gue gak mau bohong, Bul. Gue bangga sama lo, akhirnya mau keluar dari laptop dan bertemu manusia nyata. tetapi, serius deh, klien yang satu ini... terlalu ‘tenang’ buat gak disadari.”

Bulan mencoba menahan senyum. “Lo kebanyakan mikir.”

Liora memicingkan mata. “Gue sahabat lo sepuluh tahun lebih, Bul. Lo kira gue gak tahu bedanya ‘abis meeting biasa’ sama ‘abis makan siang yang bikin senyum diem-diem di lift’?”

Bulan menunduk, mencoba fokus pada layar, tetapi matanya justru memantulkan bayangan dirinya sendiri — dengan ekspresi yang bahkan dia tak sadari: lembut, sedikit tenang, dan mungkin... bahagia.

“Li,” ucapnya akhirnya, pelan, “gue cuma bahas evaluasi sistem, gak lebih.”

“Dan tatapan-tatapan hangat yang ikut nongol, di situ bonusnya” Liora nyengir.

Bulan menggeleng, tetapi kali ini tak bisa menahan senyumnya. “Lo gak bisa serius lima menit saja?”

“Gue serius, Bul,” jawab Liora, mencondongkan tubuh. “Kalau dia bisa bikin lo senyum senyum sendiri, itu pertanda bagus.”

“Apaan sih Li” lalu Bulan terdiam. Kata-kata Liora itu seperti angin pelan yang lewat, tetapi meninggalkan bekas di dada.

Beberapa menit kemudian, Liora berdiri, mengambil tasnya. “Udah, gue balik ke ruang meeting. tetapi nanti malem, gue mau detail makan siang lo dari A sampai Z, lengkap sama nada suaranya.”

“Li.”

“Gue serius.”

“Gue juga.”

“Bagus, berarti kita sepakat buat bahas di jam makan malam,” ujar Liora sambil keluar ruangan, puas dengan ‘ancamannya’.

Begitu pintu menutup, Bulan akhirnya menghela napas panjang. Tangannya terulur mengambil ponsel, membuka pesan terakhir yang masih tersimpan di layar, kemudian ia tersenyum melihat isi chat pada ponselnya itu

Bhumi Jayendra:

Terima kasih sudah datang siang ini.

**

Tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!