Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KRITIK SEBAGAI SENJATA
Pelatihan dengan Pak Arka tidak terasa seperti bimbingan akademis biasa; rasanya seperti menjalani seminar sosiologi tingkat doktoral yang dipercepat, dengan nyawa dan nasib Amara sebagai tesis utamanya.
Selama dua minggu berikutnya, Pak Arka mengubah kantornya menjadi ruang perang intelektual kami. Kopi pahit menjadi bahan bakar, dan tumpukan buku tebal menjadi amunisi.
Hari pertama, fokusnya adalah pada mitos meritokrasi.
“Sistem Ranking adalah tuhan baru di dunia akademik,” ujar Pak Arka, menunjuk diagram di papan tulis putih yang menggambarkan hubungan antara IPK, rekrutmen korporat, dan penyandang dana universitas.
“Semua orang percaya bahwa ini adalah jalan menuju kesetaraan, bahwa kerja keras pasti terbayar. Tapi apa yang terjadi jika sistem itu sendiri adalah filter, yang dirancang untuk memastikan bahwa hanya orang yang benar-benar patuh yang berhasil melewatinya?”
Aku bersandar di kursi, otak Kinara berputar, mencerna materi. “Itu yang Bapak Surya sebut ‘Proyek Seleksi Generasi’. Mereka tidak mencari yang terbaik, Pak. Mereka mencari yang paling mudah diatur. Amara yang lama, dengan semua kenakalannya, dianggap variabel yang tidak bisa diatur. Variabel Fana A.”
“Tepat sekali. Dan Serena, si Fana S, adalah representasi dari kepatuhan yang berlebihan,” Pak Arka menyahut.
“Dia adalah produk sempurna dari sistem ini: IPK 4.0, memenangkan setiap lomba, tapi kehilangan kemampuan untuk mempertanyakan otoritas. Dalam mata kuliah saya, dia selalu mendapat B, karena dia hanya mengulang teori, tidak pernah mengkritik struktur.”
“Jadi, kemenangan saya di Debat Nasional harus membuktikan dua hal,” ujarku, mencoba menyusun kerangka argumen.
“Satu, bahwa saya, Amara, sudah ‘layak’ secara akademis. Dua, bahwa kelayakan itu tidak berasal dari kepatuhan, melainkan dari kritik yang mendalam.”
Pak Arka mengangguk perlahan. “Mari kita bicara tentang Paulo Freire. Konsep ‘Pendidikan Gaya Bank’ (Banking Concept of Education). Apakah kau ingat?”
“Tentu. Freire berpendapat bahwa pendidikan tradisional memperlakukan siswa sebagai celengan kosong yang harus diisi oleh guru (penabung). Itu dehumanisasi, Pak. Itu menghilangkan kreativitas dan kesadaran kritis siswa.”
“Sekarang, Amara, lihat data Bapak Surya,” Pak Arka mendesak, menggeser tablet itu ke hadapanku.
“Mereka tidak hanya mengisi celengan itu dengan pengetahuan. Mereka mengisi celengan itu dengan ideologi yang dibutuhkan perusahaan mereka. Dan yang lebih mengerikan, mereka melatih Penjaga Data seperti Serena untuk memastikan celengan yang rusak, celengan yang berlubang (seperti Amara yang lama), tidak boleh diperbaiki, melainkan harus dihancurkan.”
Aku menatap data tersebut, yang memetakan skor psikologis Amara yang lama skor pemberontakan, kreativitas, dan empati yang semuanya diberi nilai minus.
“Skor-skor inilah yang membuat saya menjadi Antagonis Terbuang. Sistem ini tidak ingin ada empati yang mengganggu profitabilitas.”
“Maka, di Debat Nasional nanti, kau tidak hanya akan memenangkan piala. Kau akan menghancurkan metafora celengan itu. Kau harus menunjukkan kepada audiens nasional bahwa pendidikan sejati adalah pembebasan, bukan penimbunan. Kau harus menggunakan kritik sosiologis untuk mengalahkan retorika hukum dan ekonomi yang biasa mendominasi panggung itu,” tegas Pak Arka.
“Bagaimana jika mereka mencoba membungkam saya, Pak? Debat Nasional adalah panggung yang sangat terstruktur. Mereka akan mengutip peraturan dan kebijakan yang ada untuk membatasi argumen saya tentang korupsi struktural,” tanyaku.
Pak Arka tersenyum tipis. “Itulah keahlianku. Aku akan mempersenjatai dirimu dengan terminologi yang begitu canggih, sehingga mereka tidak akan berani menyela, karena mereka takut terlihat bodoh di depan kamera. Kita akan berbicara tentang ‘Kapitalisme Kognitif’ dan ‘Perbudakan Berbasis Data’ istilah-istilah yang sah secara akademis, namun mengandung bom kritik.”
Aku merasakan koneksi intelektual yang mendalam dengannya, sesuatu yang tidak pernah kualami di kehidupan Kinara yang dulu. Pak Arka tidak hanya mengajariku cara menang; dia mengajariku cara melihat.
[Peringatan Sistem: Hubungan Intelektual dengan Target 1 Meningkat ke Level 3. Pak Arka adalah 'Variabel Tak Terkendali' yang semakin kuat. Risiko penyimpangan misi 45%.]
Aku mengabaikan peringatan Sistem itu. Penyimpangan? Mungkin. Tapi tanpa pemahaman ini, aku hanya akan menjadi boneka yang lebih cerdas, bukan reformator sejati.
“Pak Arka, Sistem di dalam diri saya terus memperingatkan bahwa Bapak adalah variabel tak terkendali. Mengapa Bapak mau mengambil risiko ini? Bukankah lebih aman bagi karir Bapak jika Bapak menjaga jarak dari mahasiswa yang kontroversial seperti saya?” tanyaku terus terang, setelah kami membahas skema pendanaan Konglomerat.
Pak Arka menghela napas, menatap keluar jendela kantornya. “Aku masuk ke dunia akademik karena aku percaya pada kekuatannya untuk mengubah masyarakat. Tapi selama bertahun-tahun, aku hanya melihat bagaimana kampus ini, seperti institusi lain di negara ini, perlahan-lahan diubah menjadi pabrik yang melayani modal. Aku sudah lelah. Aku sudah lama mencari katalis yang berani membakar sistem ini.”
“Dan Bapak melihat saya sebagai katalis itu?”
“Aku melihat potensi yang dulu ada di Amara, yang dihancurkan. Dan aku melihat Kinara yang sekarang jiwa yang lelah, yang tahu bagaimana rasanya gagal, tapi berani bangkit dan melawan. Kau tidak takut, Amara. Ketakutan adalah alat kontrol utama mereka.”
“Saya takut, Pak. Tapi rasa takut saya kalah dengan rasa jijik terhadap ketidakadilan yang saya alami,” aku mengakui.
“Jika saya gagal di Debat Nasional, Serena akan menggunakan kegagalan itu untuk memusnahkan saya sepenuhnya. Bapak Surya akan memastikan nama saya tercoreng permanen.”
Pak Arka kembali fokus padaku, matanya tajam. “Maka kita harus memastikan kemenangan itu tak terbantahkan. Kemenangan bukan hanya dari juri, tapi dari publik. Kita harus mulai membentuk narasi.”
“Membentuk narasi? Bagaimana?”
“Saat ini, Amara, citra publikmu terbelah dua. Netizen menyukaimu karena kau menang debat internal, tapi mereka juga skeptis karena rekam jejak lamamu. Serena akan menggunakan media sosial dan jaringan internal SPU untuk terus menyebarkan rumor tentangmu, terutama menjelang Debat Nasional.”
“Jadi, kita butuh media tandingan?”
“Kita butuh seseorang yang memiliki idealisme untuk melawan Serena. Seseorang yang memiliki akses ke massa, namun integritasnya tidak bisa dibeli oleh Bapak Surya. Kita harus mencari jurnalis yang idealis,” kata Pak Arka, tiba-tiba memunculkan ide strategis baru.
Aku teringat pada poin berikutnya dalam outline misi: Pertemuan Pertama dengan Jurnalis (Target 3).
“Ada satu orang,” kataku, mengingat wajah mahasiswa berkacamata yang selalu hadir di kelas Sosiologi, namun jarang berbicara, selalu membawa kamera usang.
“Dimas. Dia adalah kepala redaksi Majalah Mahasiswa ‘Kritis’. Dia sering meliput acara-acara kampus, tapi selalu menulis dengan nada skeptis terhadap otoritas BEM dan Administrasi.”
“Dimas,” ulang Pak Arka, mengetuk-ngetuk meja.
“Aku tahu dia. Mahasiswa yang idealis, tapi sedikit naif. Itu bagus. Serena akan kesulitan membelinya, dan Bapak Surya akan meremehkannya.”
“Tapi dia akan sangat skeptis terhadap saya, Pak. Citra Amara di mata jurnalis idealis pasti sangat buruk. Saya adalah representasi dari mahasiswa yang tidak peduli pada isu-isu sosial.”
“Maka tugasmu, Amara, adalah mengubah skeptisisme itu menjadi aliansi,” Pak Arka menantangku.
“Kau tidak bisa memenangkan perang ini sendirian. Rendra hanya memberikan dukungan politik internal. Aku hanya bisa memberimu dukungan akademis. Kau butuh Dimas untuk memenangkan opini publik.”
“Apa yang harus saya tawarkan padanya? Jurnalis idealis tidak akan termakan oleh janji kosong,” tanyaku, merasa tegang. Memenangkan Dimas terasa lebih sulit daripada memenangkan debat.
“Kau tidak menawarkan janji, Amara. Kau menawarkan kebenaran yang berbahaya,” bisik Pak Arka, matanya menatap tablet yang berisi data rahasia Konglomerat.
“Kau harus memberinya cukup petunjuk, cukup potongan puzzle tentang ‘Proyek Seleksi Generasi’ ini, sehingga ia tidak punya pilihan selain menyelidiki. Kita tidak akan memaksanya memihakmu, tetapi kita akan memaksanya untuk menjalankan idealisme jurnalistiknya.”
“Petunjuk yang cukup untuk menariknya, tapi tidak cukup untuk membuatnya terbunuh,” aku menyimpulkan, merasakan bobot strategis dari data itu.
Pak Arka mengangguk. “Ya. Dan kau harus melakukannya segera. Debat Nasional kurang dari dua minggu lagi. Kemenanganmu harus didukung oleh narasi media yang kuat, yang sudah mulai meragukan sistem ini.”
Saat kami selesai merencanakan strategi media, malam sudah larut. Pak Arka memberiku tumpukan buku dan beberapa esai yang harus kubaca sebelum besok pagi.
“Satu hal lagi, Amara,” kata Pak Arka sebelum aku pergi.
“Serena dan SPU tidak akan hanya menyerangmu melalui data. Mereka akan mencoba menjebakmu secara fisik, secara emosional. Mereka tahu kelemahan Amara yang lama adalah emosi dan godaan. Berhati-hatilah dengan setiap interaksi sosial, terutama yang menawarkan kemudahan atau kekayaan tiba-tiba.”
“Saya mengerti. Tubuh Amara ini membawa beban masa lalu yang siap meledak kapan saja,” jawabku, memeluk buku-buku itu erat-erat.
Saat aku berjalan keluar dari gedung fakultas yang sunyi, ponsel Amara bergetar. Itu adalah notifikasi dari sistem.
[Misi Baru: Dapatkan Perhatian Intelektual dari Jurnalis Mahasiswa Dimas (Target 3). Tingkat Kepercayaan Dimas harus mencapai 30% sebelum Debat Nasional.]
Dan di bawahnya, ada pesan baru, bukan dari sistem, melainkan dari nomor yang tidak kukenal. Pesan itu hanya berisi dua kata: Selamat Datang.
Itu bukan nada mengancam dari Serena, juga bukan pesan bisnis dari Bapak Surya. Pesan itu terasa dingin, terpisah, dan cerdas.
Di bawah pesan tersebut, terselip sebuah link yang mengarah ke sebuah blog akademik yang sangat tersembunyi. Judul artikelnya: ‘Variabel Tak Terkendali: Ketika Kritik Membutakan Sistem’.
Aku menelan ludah. Ini adalah serangan pertama yang datang dari Target 3, Dimas, yang mulai mengobservasiku, atau mungkin ini adalah ancaman terselubung dari Mastermind sendiri, yang mengamati setiap langkahku.
Aku harus segera menemukan Dimas.