NovelToon NovelToon
Kepepet Cinta Ceo Arogan

Kepepet Cinta Ceo Arogan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / CEO / Romansa / Fantasi Wanita / Nikah Kontrak / Wanita Karir
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: keipouloe

Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.

Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.

Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggilan tengah malam

Tepat pukul 02.00 dini hari.

Devan masih belum juga bisa tidur.

Lampu kamar redup, tapi pikirannya terlalu riuh. Di kepalanya berputar laporan konstruksi, tagihan proyek, dan entah kenapa—wajah Arash Maulidia ikut terselip di antara semuanya. Wajah dengan ekspresi kesal dan mata tajam yang terlalu jujur untuk ditutupi senyum pura-pura.

Ia mendengus, menyandarkan diri di headboard. “Sial,” gumamnya pelan. “Kenapa aku memikirkan asisten ceroboh itu?”

Devan mencoba membaca laporan di tablet, tapi pikirannya tidak fokus. Ia akhirnya meraih ponsel di nakas, membuka daftar kontak, dan mencari nomor Arash. Nomor itu ia dapatkan dari berkas CV gadis itu, yang ia baca ulang semalam.

Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol panggil.

Nada sambung terdengar lama. Tidak diangkat.

Devan mengernyit. “Asisten macam apa yang ditelpon sulit sekali?”

Ia menekan ulang. Nada sambung kedua, lagi-lagi nihil. Devan mendecak, kesal. Jantungnya berdebar bukan karena cemas, tapi karena marah. Seorang asisten pribadi harus siap 24 jam—itu prinsipnya.

Baru di panggilan ketiga, suara serak terdengar dari seberang.

“Halo, Pak…” suara Arash terdengar pelan, setengah sadar.

Devan langsung menegakkan punggung. “Kenapa lama sekali angkatnya?”

“Ya Allah, Pak, Bapak tahu jam berapa ini?” Arash menatap layar ponselnya. “Ini jam dua pagi, loh! Orang normal itu tidur, bukan buka spreadsheet.”

“Seorang asisten pribadi harus siaga kapan pun saya butuh,” jawab Devan dingin, tetap berwibawa.

“Tapi nggak gini juga kali, Pak,” Arash mulai terdengar kesal. “Saya butuh tidur. Besok saya harus menyelamatkan puluhan juta uang perusahaan Bapak!”

Kata-kata itu membuat Devan terdiam sejenak. Ia hampir tersenyum—hampir.

Nada Arash penuh keberanian, tapi tetap ada tanggung jawab di baliknya. Ia menghela napas.

“Baik,” katanya akhirnya. “Besok pagi siapkan bahan meeting. Saya ingin kamu yang presentasi.”

“Sudah, Pak Devan yang terhormat,” jawab Arash dengan suara setengah ngantuk tapi bernada menggoda. “Presentasi fintech-nya udah lengkap dari tadi.”

Devan mengangkat alis, terkejut dengan inisiatifnya. “Bagus. Saya matikan teleponnya.”

“Iya, Pak. Selamat malam,” jawab Arash cepat, lalu meletakkan ponselnya di kasur.

Namun, Devan tidak benar-benar menutup sambungan. Ia menahannya di telinga, tanpa sadar ingin tahu apa yang dilakukan gadis itu setelahnya.

Terdengar suara selimut diseret, lalu desahan kecil lega.

Beberapa detik kemudian, suara gumaman muncul, nyaris seperti doa pelan.

“Dasar manusia kulkas,” kata Arash lirih. “Spek Tuhan banget, semua harus sempurna. Aku doain semoga Bapak dapat istri pemalas, biar hidupnya nggak tenang.”

Devan mematung.

Satu alisnya terangkat, dan entah kenapa, bibirnya menahan tawa kecil yang segera ia tekan kembali. Ia mematikan sambungan telepon itu dengan wajah datar, tapi dalam hatinya ada sesuatu yang aneh—semacam geli, sekaligus jengkel.

“Wanita gila,” gumamnya. “Tapi berani.”

......................

Pagi hari datang cepat.

Devan sudah berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Setelan abu-abu gelapnya licin sempurna, dasinya simetris, dan wajahnya tenang seperti biasa. Semua emosi ia kunci rapat di balik kemeja mahal itu.

Saat turun ke ruang makan, ibunya sudah menatapnya dari meja.

“Devan, kamu nggak sarapan dulu?” tanya Diana, suaranya lembut tapi penuh penekanan.

“Aku ada meeting penting, Mom. Makan di kantor aja,” jawab Devan singkat, mengambil kunci mobil.

“Devan!”

Nada ibunya berubah tegas, tapi Devan sudah berbalik. Ia tak mau terjebak pembicaraan tentang gala dinner dan pasangan hidup lagi. Dunia bisnis lebih mudah dipahami daripada urusan hati.

......................

Sementara itu, di kos kecilnya, Arash baru selesai bersiap. Matanya masih berat, tapi semangatnya penuh. Ia berangkat lebih pagi dari biasanya—tak mau lagi ada celah untuk dikatakan “tidak siap”.

Ia memesan ojek online. Motornya masih disita oleh Devan, dan ia enggan memperdebatkannya lagi. Di perjalanan, angin pagi membuat pipinya dingin, tapi pikirannya justru jernih.

Di depan gedung Adhitama Group, ia mampir ke penjual bubur ayam langganannya.

“Satu bungkus ya, Bang. Banyak kerupuknya,” katanya cepat.

Ia tersenyum pada penjualnya, lalu berlari kecil masuk ke lobi sambil menenteng plastik putih beraroma gurih.

Pukul 06.45, ia sudah di lantai dua puluh. Kantor masih sepi.

Arash menyalakan laptop, menata kertas presentasi, lalu duduk sambil memakan buburnya dengan cepat. Setiap sendok terasa seperti energi tambahan sebelum menghadapi badai.

Namun, tepat pukul 07.00, pintu lift pribadi terbuka.

Langkah sepatu kulit terdengar mendekat, disertai aroma parfum yang mewah.

Devan muncul di ambang pintu, berdiri tegak. Tatapannya tajam menembus ruangan.

“Apa yang kamu makan itu, Maulidia?” suaranya dalam dan terukur.

Arash mendongak pelan, masih memegang sendok. “Bubur ayam, Pak. Saya belum sarapan. Butuh energi buat meeting.”

Devan mendekat, tangannya menyelip di saku celana. “Bubur ayam. Di lantai dua puluh Adhitama Group?”

Nada bicaranya membuat udara seolah turun derajat.

“Ini bukan warteg, Maulidia. Makanan beraroma seperti itu bisa mengganggu konsentrasi kerja. Habiskan dalam dua menit, atau buang.”

Arash menatapnya, menahan diri agar tidak mendengus.

Dalam hati ia mengutuk harga bubur Rp15.000 yang kini terasa seperti simbol penderitaan.

“Baik, Pak,” ujarnya akhirnya. Ia menyendok cepat-cepat, menelan bubur yang mulai dingin.

Dua menit kemudian, ia menatap Devan dan berkata lirih, “Sudah selesai.”

“Bagus. Sekarang ikut saya.”

Mereka masuk ke ruang rapat Devan. Arash menyambungkan laptop ke proyektor, tangannya cekatan. Para kepala divisi mulai berdatangan—tim keuangan, legal, dan marketing. Suasana berubah formal seketika.

“Kau yang akan mempresentasikan analisis merger ini,” ujar Devan tenang, tapi matanya menatap tajam. “Tunjukkan apa yang kau temukan. Saya ingin tahu seberapa tajam otakmu setelah doa semalam.”

Arash mendongak. Tatapan mereka bertemu—dingin di satu sisi, berapi di sisi lain.

Ia tahu, Devan sedang menantangnya.

Dan kali ini, ia tak akan kalah.

Ia menarik napas dalam, berdiri tegak di depan layar.

“Baik, Pak,” katanya sambil menekan tombol pertama di presentasi. “Mari kita mulai.”

Dalam hatinya, Arash tersenyum kecil.

Game on, Tuan Adhitama.

1
Reni Anjarwani
doubel up thor
Reni Anjarwani
lanjut thor
rokhatii
ditanggung pak ceonya🤣🤣🤣
matchaa_ci
lah kalo gajinya di potong semua gimana arash hidup nanti, untuk bayar kos, makan, bensin pak ceo?
aisssssss
mobil siapa itu kira kira
aisssssss
bagua banget suka ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!