Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29.
Namun tiba-tiba mata mereka semua berbinar binar saat melihat orang orang yang baru saja keluar dari mobil...
“Ya Allah… itu Emak! Dan Bapaknya Fatima… juga adik adik Fatima!” seru Bu Hasto penuh haru, suara nya bergetar oleh kebahagiaan. Ia masih menatap ke arah keluarga Fatima yang sibuk menurunkan tas tas dari bagasi mobil. Begitu semua barang diangkat, mobil pun kembali melaju perlahan - taxi online yang mengantarkan mereka pergi.
Begitu mobil Pak Hasto berhenti, Bu Hasto dan Pak Hasto segera turun, langkah mereka cepat dan antusias menyambut kedatangan sang besan beserta anak anaknya.
Emak dan Bapak Fatima menoleh, wajah mereka berseri seri melihat pasangan tuan rumah itu.
“Maaf, Pak, Bu… kami datang lebih awal dari waktu undangan,” ujar Emak dengan suara lantang dan tawa bahagia. “Kami sudah kangen sekali sama Fatima… ingin mencium Fatima yang sekarang sudah hamil, Bu.”
Keluarga Fatima memang juga diundang untuk ikut mengantar Anisa. Mereka tampak begitu gembira. Maklum, ini pertama kalinya mereka akan naik pesawat dan pergi jauh ke luar Jawa, ke tempat di mana gunung besar itu berdiri, gunung yang konon dihuni oleh Kerajaan Sang Ratu Jin.
“Iya, Mak… tidak apa apa. Aku malah senang, rumah jadi terasa ramai,” jawab Bu Hasto hangat. Mereka pun saling memberi salam dan berpelukan.
Anisa dan Ibu Kepala Pelayan juga ikut menyambut kedatangan keluarga Fatima.
“Ya ampun, Mbak Anisa… semakin cantik, aku sampai pangling,” kata Emak dengan mata berbinar. “Terima kasih, ya Mbak… sudah mau berkorban untuk Fatima dan Ndaru. Semoga Mbak Anisa selalu bahagia… hu… hu… hu…” Suaranya pecah di antara tangis haru. Air mata menetes lembut di pipinya, lalu ia memeluk tubuh Anisa erat erat.
“Sama sama, Bu…” sahut Anisa pelan, balas memeluk Emak. Air matanya ikut mengalir. Ada rasa hangat di dadanya - perasaan diterima, perasaan memiliki keluarga besar untuk pertama kalinya.
“Ayo, kita masuk saja dulu,” ajak Pak Hasto dengan ramah. Namun baru saja ia selesai berbicara, pintu utama rumah terbuka lebar… dan dari dalam muncul sosok Fatima, tersenyum lebar penuh cahaya.
“Emaaakkkk!” jerit Fatima, suaranya penuh rindu.. bagai rindu yang telah menahun. Ia segera melangkah cepat menuruni tangga.
“Fat! Hati hati!” seru Ndaru dari dalam rumah, bergegas mengejarnya.
“Kamu sedang hamil muda, kata dokter harus hati hati! Bahaya kalau terpeleset,” ucap Ndaru sambil menggandeng tangan Fatima dengan cemas.
“Sudah, Fat! Tunggu di situ saja, jangan turun!” teriak Emak, panik tapi bahagia. Ia mempercepat langkah nya, ingin segera memeluk putri nya.
Sementara itu, Pak Hasto berjalan di samping Bapak Fatima, berbincang ringan tentang kabar dan perjalanan. Namun tiba tiba, suara dering ponsel dari saku kemejanya memecah suasana. Ia segera mengeluarkannya - di layar tertera nomor polisi yang tadi ia hubungi. Dengan cepat ia menekan tombol hijau.
“Selamat malam, Pak,” suara dari seberang terdengar tegas. “Kami hanya ingin memberi kabar: mobil yang tadi berusaha menembaki kendaraan Bapak sudah kami tangkap. Tapi pelaku ditemukan pingsan… tanpa tanda tanda kekerasan sedikit pun. Mas Hegar, anak Pak Waskita, kebetulan sedang lewat dan membantu menanganinya. Kami juga sedang mintai keterangan dari Mas Hegar.”
“Hegar…” gumam Pak Hasto dalam hati, rahangnya menegang. “Sudah pasti dia terlibat dalam hal ini.”
“Tolong selidiki sampai tuntas, Pak,” ucapnya tegas.
“Siap, Pak,” jawab suara polisi, lalu sambungan telepon pun berakhir.
Sementara itu, rumah Pak Hasto kini penuh kehangatan dan tawa. Kedatangan keluarga Fatima membuat suasana malam itu hidup dan ramai. Anisa tampak bahagia ikut makan malam bersama mereka di ruang makan. Di wajahnya tersirat rasa damai ... untuk pertama kalinya, ia benar benar merasa menjadi bagian dari keluarga Hasto.
🏡🏡🏡🏡
Sedangkan di tempat lain. Di kamar kos Pungki , dua penghuni kost beda alam itu tengah heboh menyiapkan segala keperluan untuk perjalanan esok. Tas ransel Pungki kini tampak makin menggembung, berat oleh tambahan barang barang milik Windy.
“Wind, besok kalau kita sudah masuk ke Kerajaan Jin, kamu jangan dekat dekat aku dulu, ya,” kata Pungki serius sambil merapikan barang. “Aku takut Sang Ratu mengawasi aku… nanti curiga kalau aku bersama anak kecil.”
“Terus aku harus dekat sama siapa dong, Kakak Pung Pung? Sama Kakak Ndien Ndien aja ya?” tanya Windy polos, suaranya lembut dan imut.
“Jangan, Wind. Sama saja. Aku kan juga bakal dekat sama Andien,” jawab Pungki sambil melirik Windy yang duduk di lantai, asyik bermain kereta mainan pemberian Andien.
“Habis, kalau aku jauh jauh, nanti aku rindu Kakak Pung Pung…” ucap Windy lagi, suaranya manja.
“Kamu ikut sama Iqbal, adiknya Fatima. Semoga saja kerabat Ndaru bawa anak anak juga, biar kamu bisa gabung sama mereka. Kata Ndaru sih, memang ada anak anak yang ikut,” jelas Pungki dengan nada serius.
“Okeee, Kakak Pung Pung… tapi Kakak jangan jauh jauh juga ya…” gumam Windy, masih dengan suara kecil yang manis.
🌸🌸🌸🌸
Waktu pun berlalu. Hari yang mereka tunggu tunggu akhirnya tiba. Semua yang akan mengantar Anisa sudah berkumpul di rumah Pak Hasto. Termasuk Pungki, Andien, dan Windy. Windy masih dalam mode tak terlihat, hanya tampak oleh mata Pungki saja.
Semua sudah bersiap naik ke mobil mobil yang akan mengantar ke bandara. Andien sudah duduk di mobil bersama Ningrum dan Fatima. Sementara Syahrul dan Ndaru masih berbincang dengan keluarga Fatima.
Pungki berdiri di halaman, matanya mencari cari sosok Anisa yang belum juga tampak.
“Kakak Pung Pung, apa mereka nanti nggak kaget kalau tiba-tiba ada aku besok?” bisik Windy lirih di telinganya, saat melihat anak anak kecil kerabat Ndaru..
“Enggak,” jawab Pungki dalam hati. “Orang tua Andien juga nggak berangkat dari sini, mereka langsung ke sana. Nanti biar Andien yang nganter kamu biar bisa gabung sama anak anak itu. Aku juga bakal bilang ke Iqbal dan Inayah buat jagain kamu. Aku bilang kamu adik angkat Andien.”
“Oke, oke, Kakak Pung Pung! Sip sip!” balas Windy riang.
“Ayo kita cari Mbak Anisa. Aku mau minta tolong dia ambilin popok kamu. Besok kalau sudah di sana, pasti susah ketemu dia lagi,” gumam Pungki sambil berjalan pelan. Windy yang menempel di punggungnya tersenyum kecil.
“Kakak Pung Pung kemarin bilang ‘rahasia buat anak kecil’, tapi kalau nanti Kakak Pung Pung ngomong sama Mbak Anisa… aku tetap dengar, hihihi,” bisik Windy dalam hati, geli sendiri. Pungki tentu tak mendengarnya.
“Mungkin dia masih di dalam,” gumam Pungki sambil memandang sekeliling. Di luar dan di dalam mobil mobil yang terparkir, tak ada tanda tanda Anisa. Ia pun melangkah menaiki anak tangga.
Namun belum sempat mencapai pintu, ia melihat Pak Hasto dan Bu Hasto keluar dari dalam rumah.
“Ayo, Pung, cepat masuk ke mobil. Kita mau berangkat. Kok malah mau masuk rumah?” ujar Bu Hasto sambil menuruni tangga.
“Iya, Bu,” sahut Pungki cepat, menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah pintu rumah ... di sanalah akhirnya Anisa muncul, bersama Ibu Kepala Pelayan. Beberapa pelayan mengikuti mereka dari belakang, mungkin hanya akan mengantar sampai gerbang.
Namun tiba tiba, dada Pungki menegang. Ia terperanjat ... di belakang tubuh Anisa, berdiri sosok besar: seekor jin monyet putih, tubuhnya berkilat lembut diterpa cahaya pagi. Dialah penjaga yang dikirim Sang Ratu untuk mengawasi Anisa.
“Haduh… Wind, ada yang jaga Mbak Anisa… apa dia bisa lihat kamu? Bisa bahaya nih…” gumam Pungki dalam hati. Jantungnya berdegup kencang ketika tatapan tajam si monyet putih tertuju langsung ke wajahnya.
Windy diam. Tak bersuara sedikit pun.
Langkah langkah Anisa dan Ibu Kepala Pelayan makin dekat, mengikuti Bu dan Pak Hasto yang telah turun lebih dulu.
Pungki berdiri terpaku di tempatnya .. sampai telinganya tiba tiba menangkap suara yang memanggil namanya…
pokok sultini wes
ada nasi minyak g atau nasi ayam
nahh makan itu mengingatkan q dlu di negri sebrang
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣