Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah Darren Untuk Emily
Emily tiba di gedung apartemen mewah milik Darren dengan langkah anggun. Untuk masuk, ia cukup menyebutkan nama Darren kepada petugas keamanan di lobi, berbekal statusnya sebagai kenalan dekat. Ia naik lift menuju lantai yang dimaksud. Sesampainya di depan pintu, Emily menggunakan kunci cadangan yang diberikan Darren beberapa bulan lalu. Pintu itu terbuka dengan mulus, menunjukkan betapa seringnya ia mengunjungi tempat ini tanpa pemberitahuan.
Namun, apartemen itu sepi.
"Darren?" panggil Emily, langkahnya terhenti di ruang tengah.
Kosong.
Emily mendengus kesal. Tujuannya datang mendadak karena teleponnya kepada Darren tak diangkat. Ia mengeluarkan ponsel, bersiap menelepon lagi.
"Honey, kamu benar-benar tidak sabar, ya?"
Sebelum sambungan teleponnya terangkat, sebuah suara menyergapnya dari belakang. Darren baru saja keluar dari kamar mandi.
Laki-laki itu hanya mengenakan handuk yang melilit longgar di pinggang. Bulir-bulir air sisa mandi masih menempel di kulit dan rambutnya, menciptakan kesan yang sangat segar dan menggoda.
Darren tersenyum menyambutnya. "Apa yang dikerjakan Erick hingga membuat kamu menemuiku seperti ini?" tanyanya, berjalan santai mendekat.
Emily segera menyampaikan inti kedatangannya. "Erick. Dia sudah kurang ajar. Dia selingkuh, Darren, dengan wanita lain."
Darren mendengarkan dengan seksama, sorot matanya yang gelap menunjukkan perhatian palsu yang memabukkan. Ia mendekat dan mengulurkan jemarinya, dan jemari itu pun menyusuri ceruk wajah Emily, dari pipi, rahang, hingga berakhir di leher jenjangnya.
"Sstt... kasihan sekali kamu, Sayang," bisik Darren, suaranya terdengar lembut dan menghibur. Sentuhan itu membuat Emily merasa aman dan nyaman.
Meskipun begitu, Darren juga tak lupa menyisipkan sindiran. "Tapi kita juga sama seperti mereka, kan?"
Emily hanya bisa tersenyum malas. Ia tahu, tapi saat ini rasa sakit hati kepada Erick jauh lebih besar.
"Tapi tetap saja mereka harus dapat balasan. Darren, kamu bisa bantu aku kan untuk membalaskan itu?"
Darren menarik tangannya. "Aku akan bantu kamu balas dendam padanya. Tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya?"
"Datang ke tempat yang sudah kutentukan nanti malam," jawab Darren. Tanpa pikir panjang, Emily langsung menyetujui.
"Baiklah, aku akan datang nanti malam. Memangnya aku akan datang ke tempat apa?" Tanya Emily.
"Rahasia dong, nanti kamu juga akan tahu."
Sambil berbicara, Darren mengambil sebuah map dari meja kopi. Ia menyodorkan dokumen di dalamnya kepada Emily. Itu adalah surat-surat perjanjian yang isinya sama dengan yang pernah dicoba sodorkan tempo hari, dan saat itu berhasil dicegah oleh Erick. Kali ini tanpa ada yang menghalangi atau memaksa, Emily menandatangani dokumen itu dengan sukarela. Ia terlalu terpukul dan dibutakan oleh janji balas dendam.
Darren tersenyum simpul, sebuah senyum kemenangan yang tidak disadari Emily.
Semenjak tanda tangan, tiba-tiba saja aura Darren berubah drastis. Sikapnya menjadi dingin namun masih dibaluti kelembutan. Itu adalah sebuah perpaduan yang tidak pernah dilihat Emily sebelumnya.
"Honey, sekarang aku minta kamu sebaiknya pergi dari sini. Aku pun ada urusan lain."
Emily terkejut. "Tumben kamu begini, Darren? Biasanya aku pulang kamu tahan-tahan."
"Justru ini untuk kebaikanmu, honey," ia berkelit. "Tidak bagus, kan, jika statusmu yang sebenarnya sudah dicerai Erick dan tinggal menunggu sidang pengadilan, diketahui orang lain. Jika mereka mendapati kamu sering-sering ke sini, mereka akan berpikiran jelek tentang kita. I’m sorry, honey, dengan berat hati diriku ini mempersilakanmu untuk kembali ke rumah."
Meskipun merasa sebal dan ingin membantah, Emily tahu perkataan Darren ada benarnya. Dengan dengusan kesal, Emily pun beranjak pergi meninggalkan Darren seorang diri di apartemen.
...***...
Hari yang dijanjikan Darren telah tiba. Emily didampingi asistennya tiba di lokasi yang disebutkan, yaitu sebuah gedung perhelatan mewah yang ramai dipenuhi oleh lalu lalang tamu berpakaian formal.
"Ada apa ini?" bisik Emily pada asistennya, pandangan matanya menyapu dekorasi yang begitu megah dan anggun. Ia merasa janggal. Darren menyuruhnya datang, tapi ia sama sekali tidak tahu acara apa ini. Kenapa Darren mengajaknya ke sebuah pesta?
Keheranan Emily memudar saat seorang pria dengan setelan rapi mendekat. "Nona Emily? Saya suruhan Tuan Darren. Mari, saya antar Anda masuk."
Tanpa perlu menunjukkan undangan, Emily dan asistennya dengan mudah dibawa masuk. Di dalam, musik klasik mengalun dan wajah-wajah penting dari kalangan bisnis tampak hadir. Emily mencoba mencari sosok Darren di antara kerumunan.
Ia terus mencerna situasi. Ini bukan tempat rahasia untuk merencanakan balas dendam seperti yang ia bayangkan. Semua tampak terlalu terstruktur. Saat rangkaian acara dimulai, sebuah panggung megah menjadi pusat perhatian. Dan jantung Emily tiba-tiba berdegup cepat tidak karuan.
Di atas panggung, Darren berdiri gagah dalam tuksedo, tampak berseri-seri di samping seorang wanita cantik yang tidak dikenali Emily. Wanita itu mengenakan gaun malam yang berkilauan, rambutnya ditata sempurna.
Pembawa acara mengumumkan acara puncak, memperjelas bahwa ini adalah acara pertunangan eksklusif antara Darren dan tunangannya.
Tidak mungkin, batin Emily, matanya mulai memanas.
Kemudian Darren maju ke podium untuk berpidato. Suaranya lantang penuh kepercayaan diri.
"Terima kasih atas kehadiran Anda semua. Hari ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidup saya. Saya telah menemukan cinta sejati saya, cinta pertama yang tak pernah tergantikan. Dialah yang akan mendampingi saya membangun masa depan..."
Emily berdiri kaku di tengah keramaian. Kenapa bisa ia bertunangan dengan wanita lain? Bukankah dia hanya cinta padaku? Batinnya berteriak. Tetapi ia tidak bisa menyuarakan protesnya. Ada terlalu banyak orang disini.
Puncaknya tiba ketika Darren mengambil sebuah kotak beludru dan membukanya di depan hadirin. Itu bukan cincin tapi dokumen penting.
"Sebagai tanda cinta dan komitmen saya. Saya berikan kepemilikan penuh atas perusahaan kosmetik dan kecantikan yang baru-baru ini saya kelola."
Saat mendengar nama perusahaan itu, Emily tersentak hebat. Brand kosmetik itu adalah perusahaan miliknya. Ia langsung teringat dokumen yang ia tanda tangani dengan sukarela di apartemen Darren. Itu adalah dokumen pengalihan kepemilikan.
Kemarahan, rasa sakit, dan penghinaan yang luar biasa membuat Emily tidak bisa lagi menahan diri. Ia menerobos maju melewati barisan tamu.
PLAK!
Emily menampar Darren.
Seluruh ruangan mendadak hening. Semua mata kini tertuju pada Emily yang tampak emosional.
Darren kini memandang Emily dengan tatapan sinis.
"Itu kan Emily putrinya Pak Hartono? Dia mengganggu acara," bisik para tamu.
Darren menjawab dengan suara yang dibuat sedih. "Maafkan kegaduhan ini. Dia hanyalah... mantan istri dari seorang rekan bisnis yang sedang mengalami depresi berat karena perceraian."
Darren maju selangkah ke mikrofon.
"Maafkan kegaduhan ini, hadirin sekalian. Ini adalah Emily, mantan istri dari seorang rekan bisnis yang sedang sangat terpukul dengan perceraiannya."
Lalu Darren menatap Emily, menyiratkan rasa kasihan yang merendahkan.
"Emily, saya tahu kamu mencintai saya. Kamu menelepon saya berkali-kali, kamu datang ke apartemen saya tanpa diundang. Saya mengerti perasaan kamu," katanya, memutarbalikkan fakta tentang perselingkuhan mereka menjadi obsesi sepihak Emily.
Ia melanjutkan,"Tapi, saya sudah katakan berkali-kali. Saya tidak bisa dekat dengan wanita yang masih berstatus istri orang. Etika saya melarang itu. Dan, maaf, hati saya tidak pernah untuk kamu. Hati saya hanya untuk tunangan saya. Saya setia kepadanya hingga rela menunggu kepulangannya kesini, selama lima tahun lamanya."
Kalimat itu bagaikan mengiris harga diri Emily. Ia bukan hanya dicampakkan, kehilangan perusahaan, dan ditampar kembali dengan fakta perselingkuhannya, tetapi kini ia dituduh sebagai wanita yang mengejar-ngejar, tidak tahu malu, dan terobsesi pada Darren.
Penghinaan itu berlipat ganda. Tamu-tamu mulai berbisik lebih keras.
"Kasihan ya, sampai nekat menampar di acara orang."
"Dia tidak terima ditolak. Putrinya orang kaya tapi mentalnya tidak stabil."
"Benar kata Darren, dia terlalu kecintaan."
Emily kini menjadi pihak yang paling terhina dan tertindas. Darren telah berhasil menempatkannya sebagai antagonis yang menyedihkan di mata publik, sementara dirinya tampak seperti pria terhormat yang menolak godaan.
Air mata dan amarah Emily kini berubah menjadi rasa malu yang menggerogoti. Ia akhirnya ditarik paksa oleh asistennya yang terkejut, sebelum Emily melakukan pembelaaan bahwa bisnis yang akan dihadiahi Darren kepada tunangannya, ialah bisnis miliknya. Ia meninggalkan pesta dalam keadaan air mata dan aib yang terkuak, sementara Darren kembali tersenyum penuh kemenangan kepada tunangannya.
Sorry, Em. Cerita kita berbagi hal manis sudah berakhir. Tadinya aku memang ingin menikahimu sambil mencari keuntungan. Akan tetapi, cinta pertamaku datang kembali. Aku lebih memilih dia, cintaku, tapi aku juga bisa sedikit mengeruk keuntungan darimu, Em. Dan untuk Papa, aku sudah menunaikan apa yang diinginkannya. Batin Darren.
jadi lebih baik kau perbaiki dirimu sendiri bukan untuku TPI untk masa depanmu sendiri
bay
yg penting mas areick makin Cintaa dan sayang ke zahra