Bertukar Nyawa

Ilham seketika tertawa nyaring seraya menatap surat undangan mewah yang berada di telapak tangannya. "Nggak, gak mungkin. Ada banyak nama Aqilla di dunia ini. Mana mungkin mantan istriku menikah sama Bosku sendiri. Nggak, gak masuk akal," decaknya seraya melemparkan undangan tersebut.

Hari dan tanggal pernikahan tertera jelas di sana dan akan digelar satu Minggu dari sekarang. Pesta tersebut bahkan akan diadakan di salah satu hotel berbintang lima yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak hanya itu saja, nama artis terkenal terpampang jelas sebagai tamu istimewa yang akan menghibur tamu undangan. Meskipun Ilham menyangkal apa yang ia pikirkan, tapi perasaanya tetap saja dihinggapi gelisah. Bagaimana jika wanita yang dinikahi oleh Bosnya itu benar-benar mantan istrinya? Sialnya, dirinya belum pernah bertemu dengan Presiden Direktur tempat di mana ia bekerja saat ini.

"Sial," gumamnya lagi seraya menutup matanya dengan perasaan kesal. "Mudah-mudahan wanita itu bukan Aqilla. Bisa malu aku kalau ternyata dia beneran nikah sama Bosku sendiri. Hmm ... kayaknya aku harus memeriksanya sendiri. Aku pernah bertemu dengan calon suaminya waktu itu. Aku yakin masih mengingat wajahnya. Semoga dia lagi ada di ruangannya sekarang."

Setelah terdiam sejenak dengan rasa penasaran yang membuat hatinya gelisah, Ilham akhirnya memutuskan untuk mendatangi ruangan Presiden Direktur untuk mengobati rasa penasarannya. Pria itu pun berdiri tegak lalu melangkah keluar dari dalam ruangan.

***

Ilham melangkah menuju lift hendak naik ke lantai paling atas, tempat di mana ruangan Presdir berada. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu lift yang masih tertutup rapat, beberapa detik kemudian pintu pun terbuka dan pria itu hendak melangkah masuk ke dalam sana. Namun, kedua kakinya seketika membeku, keningnya mengerut, kedua matanya nampak lekat memandang seorang wanita bergaun merah terang dengan high heels warna senada yang tengah berdiri di dalam lift, sendirian.

"A-Aqilla?" gumamnya, mencoba untuk menerka-nerka karena penampilan mantan istrinya itu benar-benar berbeda, cantik dan berkelas, bak kepompong yang sudah menjelma menjadi kupu-kupu dengan warna yang indah.

Aqilla tersenyum sinis, memandang wajah Ilham dengan dingin. "Apa kabar, Mas Ilham? Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di sini."

Ilham dengan kaki gemetar, perlahan melangkah memasuki lift. Jantungnya berdebar kencang, selain karena penampilan mantan istrinya yang luar biasa cantik, ia pun akhirnya mendapat jawaban atas pertanyaan yang membuat perasaanya gelisah. Ternyata, nama Aqilla Pramesti yang tertulis di surat undangan itu benar-benar mantan istrinya. Ilham larut dalam lamunan, hingga pintu lift pun tertutup rapat dan melaju menuju lantai paling atas, lantai yang sama seperti yang hendak dikunjungi oleh Aqilla.

"Kamu cantik banget, Aqilla," ucap Ilham merasa gugup, persis seperti yang pernah ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Aqilla beberapa tahun yang lalu.

"Dulu aku gak cantik karena punya suami tak tau diri. Ingin melihat istrinya cantik, tapi dia lupa ngasih dana yang cukup buat aku. Cantik itu butuh dana, bukan?" jawab Aqilla dengan dingin tanpa menoleh, tatapan matanya nampak fokus kepada nomor tertera di samping pintu lift.

Ilham terdiam sejenak seraya menarik napas dalam-dalam. "Hmm ... kamu yakin mau menikah sama Bos saya?"

"Kenapa tidak?" jawab Aqilla, menoleh dan memandang wajah Ilham dengan sinis. "Aku di sia-siakan sama salah satu karyawan yang kerja di perusahaan ini, dan sekarang aku akan dipersunting sama pemilik perusahaan. Bukankah itu karma yang setimpal buat kamu, Mas Ilham?"

Ilham terdiam sejenak seraya menahan rasa sesak. Kesal dengan ucapan Aqilla, tapi dirinya tidak mampu berbuat apa-apa karena wanita itu adalah calon istri dari atasannya sendiri. Andai Aqilla masih sendiri, ia tidak keberatan kembali rujuk dengannya setelah melihat perubahan besar yang terjadi dengan mantan istrinya itu.

"Andai dari dulu kamu berpenampilan seperti ini, merawat diri kamu, merawat wajahmu agar senantiasa cantik, mungkin saya gak akan selingkuh dengan wanita lain," celetuk Ilham dengan wajah datar.

Aqilla tertawa nyaring. "Hahahaha ... sebelum aku menikah, aku sudah cantik seperti ini, Mas Ilham, tapi setelah menikah penampilan aku berubah karena suamiku tak mampu memenuhi kebutuhan aku," jawabnya dengan suara lantang. "Kamu pikir, beli baju bagus itu gak pake duit? Beli skin care, sepatu, tas dan perawatan di salon itu gak pake duit, hah? Memangnya berapa nafkah yang kamu berikan sama aku waktu aku masih jadi istri kamu?"

Ilham terdiam seraya menarik napas dalam-dalam.

"Dasar laki-laki gak tau diri. Pengen istrinya cantik, tapi gak mau ngemodal. Cantik itu tergantung duit, Mas Ilham, tergantung duit!" bentak Aqilla, beriringan dengan suara lift berhenti dan pintu pun terbuka lebar.

Akan tetapi, Ilham tiba-tiba kembali menekan tombol dan pintu pun kembali tertutup rapat membuat Aqilla seketika terkejut.

"Apa-apaan kamu, hah?" bentaknya dengan mata membulat.

Sementara Ilham, kembali menekan tombol bertuliskan angka nomor satu, yang itu artinya mereka akan kembali ke lantai dasar.

"Masih ada yang mau saya bicarakan sama kamu, Aqilla," ujarnya, tersenyum menyeringai.

"Udah gak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Kamu sudah punya keluarga baru dan aku akan segera menikah dengan laki-laki yang lebih segalanya dari kamu. Jadi, kita urus saja urusan kita masing-masing. Paham?"

"Batalkan pernikahan kamu sama Pak Radit, atau--"

"Atau apa? Kamu pikir, aku masih Aqilla yang sama seperti saat masih jadi istrimu dulu, yang penurut, manut dan patuh sama suami?" tanya Aqilla dengan tegas dan penuh penekanan. "Nggak, Mas Ilham. Aku udah berubah, aku gak akan pernah membatalkan pernikahan aku sama Mas Radit, tidak peduli meskipun kamu memohon dan berlutut di hadapan aku sekalipun. Jadi--"

Ilham tiba-tiba mencengkram kedua sisi bahu Aqilla dengan keras dan bertenaga seraya memandang wajahnya dengan tajam, membuat Aqilla sontak menahan ucapannya. "Saya belum selesai bicara, Aqilla. Jangan mentang-mentang kamu mau menikah sama Bos saya, kamu jadi sombong dan angkuh seperti ini!" selanya dengan tegas dan penuh penekanan.

"Lepasin aku, Mas Ilham. Kamu gak takut dipecat sama calon suamiku, hah?"

"Kalau kamu gak membatalkan pernikahan kamu sama Pak Radit, saya akan mengajukan hak asuh anak-anak. Ingat, saya Ayahnya, saya juga punya hak atas mereka. Paham?"

Bersambung ....