Kelvin muncul dari dapur sambil mengelap tangan dengan handuk kecil. Ia berdiri tegak di depan Wilona.
“Semua piring sudah bersih dan mengkilat!” ujarnya penuh percaya diri.
“Sekarang waktunya penyerahan hadiah!”
Wilona melirik geli ke arahnya.
“Iya, iya … sini sini”
Kelvin langsung duduk di samping Wilona, wajahnya mendekat dengan ekspresi penuh harap. Wilona tertawa kecil dan memberikan ciuman ringan di pipinya.
Ikuti ceritanya dari awal sampai akhir yuk✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqueena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Ternyata Aku Mencintainya
Lobi perusahaan Kelvin selalu ramai. Para karyawan berlalu-lalang, sebagian sibuk dengan berkas, sebagian lagi dengan telepon genggam mereka. Suasana profesional, elegan, dan penuh ritme. Namun di balik kesibukan itu, ada seseorang yang tengah menyusun rencana dengan hati penuh iri.
...~FLASHBACK POV VIONA~...
Di hari sebelumnya, suasana lobi perusahaan begitu sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, suara langkah kaki bercampur dengan bunyi telepon yang sesekali berdering.
Namun, di tengah keramaian itu, Viona duduk di salah satu sofa tamu dengan tatapan tajam yang membuat lawan bicaranya merasa terhimpit.
Seorang resepsionis muda duduk di depannya, jelas terlihat canggung. Jemarinya sibuk meremas ujung roknya sendiri, seolah mencari pegangan. Ia tak terbiasa dipanggil khusus oleh seorang seperti Viona.
“Dengar baik-baik,” ucap Viona pelan tapi sarat tekanan, mencondongkan tubuhnya sedikit. “Aku butuh mata dan telinga di kantor ini.”
Resepsionis itu mengerjap. “Maksud Nyonya?”
Viona menghela napas, lalu menatapnya lurus, dingin.
“Pantau Kelvin. Catat gerak-geriknya. Kuping pembicaraannya dengan orang di telepon. Siapa yang menemuinya, apa yang dia lakukan. Dan yang lebih penting kalau perempuan bernama Wilona atau kekasih Kelvin itu sampai menginjakkan kaki di kantor ini, aku harus jadi orang pertama yang tahu.”
Resepsionis itu langsung menegakkan punggungnya, matanya membesar.
“M-maaf, Nyonya. Tapi itu, itu kan privasi. Kalau sampai ketahuan, saya bisa kena masalah besar.”
Senyum miring muncul di bibir Viona. Ia merogoh tas tangannya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang yang terlipat rapi. Dengan santai, ia meletakkannya di atas meja rendah di antara mereka.
“Anggap saja ini imbalan untuk kerja kecilmu. Tidak ada yang akan tahu. Kamu hanya perlu lapor padaku secara diam-diam.”
Resepsionis itu menatap uang itu, lalu kembali menatap Viona dengan wajah gamang.
“Tapi… Nyonya, kalau sampai Pak Kelvin sadar...”
“Dia tidak akan sadar,” potong Viona cepat, nada suaranya dingin dan tegas. “Kamu hanya perlu lakukan bagianmu. Sisanya biar aku yang urus.”
Keheningan menggantung sejenak. Resepsionis itu menggigit bibir, jelas hatinya terombang-ambing antara takut dan tergoda. Hingga akhirnya, dengan tangan gemetar, ia menarik uang itu ke pangkuannya.
“Baiklah… saya akan coba bantu.”
Tatapan Viona melunak, tapi senyumnya justru semakin menusuk.
“Bagus. Ingat satu hal, jangan pernah berani membohongiku. Kalau sampai aku tahu kamu berkhianat… kamu akan menyesal.”
Resepsionis itu menunduk cepat, tak berani membalas tatapan tajam Viona. Dan sejak hari itu, perintah busuk itu pun mulai berjalan, tanpa sepengetahuan Kelvin maupun Wilona.
...~FLASHBACK VIONA END~...
****
Kembali ke masa kini.
Pukul 10.39, ponsel Kelvin berdering. Nama Wilona🌹 terpampang jelas di layar.
Kelvin yang tengah sibuk menandatangani beberapa berkas sontak menoleh, lalu senyumnya mengembang lebar begitu melihat siapa yang menghubunginya. Ia segera mengangkat panggilan itu.
📞Kelvin.
"Halo, Sayang?"
📞Wilona.
"Sayang, nanti aku bawakan makan siang buat kamu, ya. Tadi aku izin masak sendiri ke Mamah, sekalian aku yang nganterin. Aku sudah bisa jalan sendiri kok.”
📞Kelvin.
“Oh, iya? Kamu yakin mau ke sini, Sayang? Minta antar sama Pak Opi ya. Yasudah, kalau begitu aku tunggu.”
Percakapan berakhir dengan senyum hangat di wajah Kelvin. Ia tak menyadari, dari celah pintu yang sedikit terbuka, seseorang sudah mendengar seluruh percakapan itu dengan telinga tajam dan hati yang penuh rencana.
Waktu pun bergulir cepat. Pukul 11.56, suasana kantor sedikit mereda dari riuh pagi. Suara heels berderap pelan tapi mantap, bergema di koridor menuju ruang kerja Kelvin.
Di dalam, Kelvin tengah berdiri membelakangi pintu, matanya menatap keluar jendela kaca besar, ponsel di telinganya masih sibuk dengan panggilan penting.
Tanpa ia sadari, pintu ruangannya berayun terbuka. Langkah kaki itu mendekat perlahan, penuh perhitungan. Tanpa Kelvin sempat menoleh, sepasang tangan mungil, halus, tiba-tiba melingkar dari belakang, merengkuh pinggangnya dengan berani.
...----------------...