Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17
Kurang lebih dua jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikendarai Azhar dan Nisa memasuki kota Makassar.
Jalanan mulai ramai, dan bangunan-bangunan tinggi mulai terlihat. Azhar menggenggam erat tangan Nisa, seolah ingin menenangkan hati istrinya yang sejak tadi terlihat gugup.
“Nggak usah tegang begitu, Sayang. Semua ini kan buat kamu,” ucap Azhar lirih, suaranya penuh kelembutan.
Nisa tersenyum tipis, “Aku masih nggak percaya, Mas. Rasanya seperti mimpi aku punya rumah di kota besar ini.”
“Bukan kamu, tapi kita. Rumah ini rumah kita berdua,” tegas Azhar sambil menatapnya penuh makna.
Mereka pun berhenti di sebuah kompleks perumahan elit. Satpam yang berjaga langsung menghampiri.
Azhar menyampaikan kalau rumah itu milik Nisa, dan sesuai arahan awal saat pembelian, nama Nisa memang tercatat sebagai pemilik sah di sertifikat. Satpam pun memberi hormat, lalu mempersilahkan mereka masuk.
“Masuklah, ini rumah kita, Sayang. Mas beliin khusus buat kamu. Jadi, kalau besok-besok Mas nggak ada di Makassar, kamu bisa pulang ke sini kalau kamu kangen sama Mas,” tutur Azhar sambil membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Nisa terpaku. Rumah dua lantai itu sudah lengkap dengan perabotan mewah. Ruang tamu dengan sofa empuk, lampu gantung kristal, dan aroma segar dari diffuser yang menyebar ke seluruh ruangan.
“Masya Allah… rumahnya bagus banget, Mas. Semuanya sudah lengkap, tinggal bawa baju aja. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi,” ucap Nisa dengan mata berbinar-binar.
Azhar menepuk lembut bahunya, “Syukur kalau kamu suka. Mas hanya ingin kamu merasa punya tempat pulang, tempat aman yang bisa jadi saksi kebahagiaan kita.”
Nisa menunduk, air matanya menetes tanpa ia sadari. “Terima kasih, Mas. Aku nggak pernah membayangkan hidupku bisa sampai di titik ini. Aku janji aku bakal jaga semua ini.”
Azhar tersenyum, lalu berbisik, “Yang penting kamu jaga diri kamu juga. Oh iya, ganti baju dulu ya, biar lebih santai. Pakai celana aja, biar bebas gerak. Setelah ini kita ke rumah sakit lihat Berliana.”
Tak lama, setelah Nisa berganti pakaian, mereka pun menuju rumah sakit. Setibanya di sana, Azhar berhenti sejenak di depan lobby.
“Kamu tunggu disini dulu, Sayang. Kalau Mas telepon, baru kamu masuk. Kita harus hati-hati, jangan sampai ada yang curiga,” pintanya serius.
Nisa mengangguk, meski dalam hatinya berdebar. “Iya Mas, aku tunggu.”
Azhar pun melangkah ke ruang perawatan. Begitu masuk, ia langsung disambut adik bungsunya, Bella.
“Alhamdulillah abang akhirnya datang!” seru Bella lega.
“Maaf ya, Bel. Abang baru bisa balik sekarang. Banyak kerjaan yang nggak bisa ditinggal,” jawab Azhar dengan nada bersalah.
Bu Retno, mertuanya, ikut menyahut dengan nada datar, “Istrimu katanya nggak bisa datang. Ada meeting penting, jadi nggak bisa cuti.”
Azhar menarik napas panjang. “Nggak apa-apa, Bu. Aku sudah terbiasa.” Lalu ia menoleh ke arah ibunya, Bu Nurul. “Ma, gimana kondisi Berliana? Dia masih sering menangis nyariin aku?”
Bu Retno menyahut lagi, kali ini dengan nada menyindir. “Sudahlah, Azhar. Anakmu itu terlalu manja. Ibu capek jagain seharian. Mulai sekarang carilah pembantu untuk urus mereka. Dian itu wanita karier, bukan ibu rumah tangga. Dia nggak bisa ngurus semuanya.”
Bella mendengus kesal, “Cih! Ngaku jagain, padahal kerjaannya cuma rebahan main HP. Berliana nangis pun malah dimarahin. Kalau nggak kuat, bilang aja, Bu.”
Bu Retno melirik tajam, lalu meninggalkan ruangan dengan wajah kaku.
Azhar hanya diam. Ia terlalu lelah untuk berdebat.
Bu Nurul mencoba menenangkan, “Bella, kecilkan suaramu. Berliana butuh istirahat. Jangan sampai dia kebangun.”
Bella tetap bersuara lirih tapi penuh kekesalan. “Mama selalu aja bela menantu kesayangan itu. Padahal jelas-jelas dia istri nggak becus. Abang, kenapa sih masih sabar banget sama Dian?”
Azhar menepuk bahu adiknya, “Sudahlah. Percuma dibahas. Dian nggak akan pernah berubah.”
Bella menunduk, tapi wajahnya masih masam. “Ya sudah, semoga aja orang yang abang maksud bisa dipercaya.”
Azhar tersenyum, “Insya Allah. Kamu dan Mama nanti kenal langsung. Dia orang baik.”
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Nisa masuk dengan langkah ragu. Ia menunduk sopan, lalu mengulurkan tangan.
“Assalamualaikum, saya Alfathunisa Husna. Panggil saja Nisa,” ucapnya dengan senyum lembut.
Bella dan Bu Nurul menyambut uluran tangannya dengan ramah.
“Semoga kamu betah dan sabar ya merawat cucuku. Berliana memang agak manja,” ujar Bu Nurul.
“Syukurlah kamu datang, Mbak Nisa. Berliana itu susah dekat sama orang baru. Tapi semoga kamu bisa bikin dia nyaman,” tambah Bella.
Nisa tersenyum malu, “Insya Allah, saya akan lakukan yang terbaik. Terima kasih sudah percaya sama saya.”
Azhar menatapnya penuh rasa bangga. Syukurlah, mereka bisa menerima kehadiran Nisa tanpa curiga.
Tak lama, Berliana terbangun dengan suara kecil, ia merentangkan tangannya ke arah Nisa.
“Mama cantik… mama cantik kangen…”
Azhar tercekat. Nisa pun salah tingkah. Wajah mereka sama-sama memerah.
Bella dan Bu Nurul sempat terkejut, tapi segera menanggapinya dengan senyum.
“Wah, cepat sekali akrabnya. Syukurlah,” ucap Bu Nurul lega.
Azhar menatap ke arah istrinya yang kedua hatinya berdoa,”Ya Allah, lindungi rahasia ini. Jangan biarkan mereka tahu terlalu cepat.”
Malam itu setelah semua pulang Nisa menemani Berliana. Azhar berpamitan, “Nisa, Mas harus ke perusahaan dulu. Bisa kan kamu berdua di sini?”
Nisa tersenyum lembut sambil menyeka mulut Berliana, “Pergilah, Mas. Aku bisa jaga Berliana. Ada perawat juga di luar. Kalau ada apa-apa, aku telepon.”
Azhar mengecup keningnya, “Jangan ragu hubungi Mas ya.”
Berliana ikut bersuara, “Papa hati-hati ya. Mama cantik jagain aku kok.”
Azhar mencium pipinya, “Anak baik. Jangan cengeng ya.”
Setelah Azhar pergi, malam mereka diisi dengan doa, dongeng, dan belaian kasih sayang. Nisa membacakan doa sebelum tidur, menuntun Berliana dengan sabar.
“Ya Allah,” batin Nisa, menahan tangis haru, “anak sekecil ini bahkan belum tahu doa-doa dasar bagaimana ibunya bisa begitu lalai?”
Namun, ia tetap tersenyum di depan Berliana, membacakan kisah Nabi Ibrahim dengan suara merdu sampai anak itu terlelap.
Lalu, Nisa mengambil air wudhu, melaksanakan shalat isya, dan berdoa dengan penuh kekhusyukan.
“Ya Allah, lindungi suamiku. Lapangkan jalan rezekinya, kuatkan imannya, dan jadikan rumah tangga kami berkah di sisi-Mu.”
Air matanya menetes, menyatu dalam doa panjangnya malam itu.
Bella duduk di kursi rumah sakit, menatap sosok kakaknya yang baru saja keluar dari kamar.
Hatinya berkecamuk. Ia selalu melihat Azhar sebagai kakak yang sabar, terlalu sabar malah, hingga sering kali terluka sendiri.
“Abang kenapa sih harus bertahan dengan Dian? Padahal jelas-jelas dia nggak pernah sayang sama abang, apalagi sama Berliana,” gumam Bella lirih, seakan bicara pada dirinya sendiri.
Matanya kembali melirik ke dalam kamar. Ada sosok perempuan baru di sana, Nisa. Senyum lembutnya, caranya menyeka keringat di dahi Berliana, suaranya yang menenangkan saat membacakan doa sebelum tidur.semuanya terasa begitu tulus.
Bella tertegun, sejak kapan aku terakhir lihat Berliana tidur dengan senyum seperti itu?
Ia memeluk tas kecilnya erat, bibirnya bergetar. Ada rasa hangat sekaligus haru yang menjalari hatinya.
“Mungkinkah dia yang abang maksud? Perempuan yang abang percaya?” bisiknya.
Bella menghela nafas panjang. “Ya Allah, kalau memang dia baik, tolong lindungi kakakku dari sakit hati. Jangan biarkan abang dipermainkan lagi.”
Nisa menatap wajah mungil Berliana yang sudah terlelap di pangkuannya. Hati kecilnya bergetar hebat saat anak itu memanggilnya “Mama cantik.” Itu pertama kalinya ia dipanggil seperti itu, dan entah kenapa rasanya begitu dalam menusuk ke sanubarinya.
Ia tahu, posisinya rapuh. Ia hanyalah istri kedua. Ada banyak rahasia yang harus ia jaga, terutama dari keluarga besar Azhar. Tapi tatapan tulus Bella dan Bu Nurul tadi membuatnya sedikit lega.
“Insya Allah, aku akan jaga anak ini seperti anakku sendiri,” ucapnya pelan sambil membelai rambut Berliana.
Air matanya jatuh, tapi ia segera menyekanya agar tak membasahi pipi si kecil.
Lalu pandangannya terarah ke pintu. Ia tahu Bella masih di luar, mungkin mengawasinya diam-diam.
Haruskah aku bicara jujur atau cukup dengan sikapku saja yang menunjukkan ketulusan?
Nisa menghela napas berat. “Ya Allah… beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku jadi penyebab pertikaian keluarga Azhar. Aku hanya ingin memberi cinta yang tulus.”
Malam semakin larut. Bella akhirnya masuk kembali ke kamar, membawa segelas susu hangat. Ia meletakkannya di meja kecil, lalu menatap Nisa yang sedang merapikan selimut Berliana.
“Dia tidur nyenyak sekali,” ujar Bella pelan.
Nisa menoleh, tersenyum. “Iya. Alhamdulillah, dia nggak rewel.”
Bella menatapnya lekat-lekat. Ada sesuatu di mata Nisa ketulusan yang sulit dipalsukan.
Akhirnya Bella berbisik lirih, seolah ingin menguji, “Mbak Nisa sebenarnya kamu siapa buat abangku?”
Nisa tercekat. Jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan yang ia takutkan akhirnya muncul juga.
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor