Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awan Hitam Sebelum Badai
Yuer tidak tahu apa yang lebih penting saat ini. Tapi setidaknya isi kepalanya tidak seberat sebelumnya. Sudah beberapa hari sejak saat itu Yuer dengan sengaja melakukan kontak fisik dengan siapapun selain Zeyan. menggenggam tangan seorang pelayan wanita dan juga Mingyue, bahkan ia membuat skenario agar dia bisa menyentuh Han Zichen dengan berpura-pura tersandung saat Zichen menjemputnya ke paviliun dimana Zeyan menunggunya. Meski setelahnya pria itu mendapat tatapan tajam dari Zeyan. Yuer merasa sedikit merasa bersalah untuk itu.
Kekuatan yang Yuer tak ketahui ada pada dirinya hingga beberapa hari lalu ini menguras tenaganya setelah Yuer menggunakannya dalam intensitas yang besar. Dia rutin melakukan pelatihan dengan bibi Yuan—roh ibu Zeyan setiap malam dan itu cukup menguras energinya. Sulit dipercaya, tetapi kesimpulannya adalah tubuhnya seperti kembali pulih hanya saat kontak fisik dengan Zeyan.
"Bagus, semakin kau terbiasa, semakin sedikit pula tenaga yang terkuras. Tapi tentu itu tidak sama jika kau menggunakan kekuatanmu untuk menyembuhkan luka yang parah atau bahkan membawa kembali kehidupan pada seseorang yang berada di ambang kematian."
Yuer mengernyit. "Aku bisa melakukan itu?"
Bibi Yuan mengangguk lembut. "Tentu saja, menumbuhkan tumbuhan apapun yang kau mau itu hanyalah sebagian kecil dari kekuatanmu. Kau pernah menyelamatkan seekor burung, itu karena kau memiliki tekad dan energi Huiyan dalam tubuhmu merasakannya."
"Aku lupa memberitahumu, tapi, kau memiliki tenaga yang cukup bagus Yuer. Seharusnya tenagamu cukup terkuras, kau masih dalam tahap beradaptasi dengan energi Huiyan yang kini segel pelindung ibumu terlepas sepenuhnya dan seharusnya itu menguras lebih banyak energi."
Yuer ragu-ragu menjawab. "Ya, aku... Aku juga ingin memberitahu bibi. Tubuhku selalu terasa lemas setelah sesi latihan. Seperti seluruh tenaga tersedot habis. Tapi setiap kali aku bersentuhan dengan Zeyan, tubuhku kembali pulih. Bukan hanya ringan, tapi seolah energi itu mengalir lagi dalam nadiku."
Ia menggigit bibirnya, matanya menunduk. "Aku sudah mencobanya dengan orang lain. Dengan pelayan, Mingyue, bahkan dengan Han Zichen, tapi tidak ada yang terjadi. Hanya dengan Zeyan."
Bibi Yuan, yang sedari tadi memperhatikan, sempat terdiam. Sorot matanya membesar sesaat, nyaris seperti kilatan terkejut yang sulit ia sembunyikan. Wanita dengan wujud tidak sepenuhnya nyata itu kemudian menghela napas panjang, senyumnya tipis tetapi lembut.
"Itu... masuk akal. Aku lupa memberitahumu kalau Huiyan akan memilih seorang penyeimbang untuk energi Huiyan itu sendiri."
Yuer mendongak, bingung.
"Dan tenaga Huiyan yang kini terlepas dalam tubuhmu tidak mungkin memilih sembarang penyeimbang. Energi sebesar itu tidak akan pernah bekerja dengan acak," ujar Bibi Yuan lembut, nada suaranya mengandung ketegasan seorang ibu yang penuh pemahaman. "Ia mencari tubuh yang paling cocok, yang sejak awal sudah disiapkan untuk mendampingimu. Dan jika sesuai dengan apa yang kau katakan, maka berarti itu memang Zeyan."
Jemari transparan sang roh bergerak seolah ingin membelai Yuer, meski tak pernah benar-benar menyentuh. "Kau harus tahu, energi Huiyan adalah kekuatan yang juga memahami takdir. Ia tidak akan memilih seseorang yang hanya akan lewat dalam hidupmu. Ia memilih yang akan tetap berada di sisimu, bahkan jika kalian sempat terpisah oleh waktu."
Mata Yuer bergetar, napasnya tercekat.
"Mungkin ia sudah memilih Zeyan sejak lama," lanjut Bibi Yuan dengan suara yang semakin tenang, "Huiyan melihat kalian terikat, bukan hanya oleh darah klan, tapi oleh takdir yang lebih dalam dari itu."
Mata Yuer membesar mendengar kata takdir. Dadanya bergemuruh, seakan ada sesuatu yang berat menekan, namun sekaligus mendorong perasaan yang sulit ia uraikan. Takdir bisa berupa banyak hal, itulah kenapa semua ini terasa seperti rangkaian kebetulan yang sebenarnya sudah diatur?
Ia menunduk, berusaha meredakan kegelisahannya, namun tatapan lembut Bibi Yuan menahannya. Roh wanita itu menatapnya seperti seorang ibu yang sedang menatap putrinya sendiri—hangat dan penuh kasih.
"Yuer," suara Bibi Yuan merendah, bening, "aku tahu Zeyan tidak mudah membuka hatinya. Ia tumbuh menjadi seseorang yang keras pada orang lain, juga pada dirinya sendiri. Tapi sejak kau muncul kembali di sisinya, ada cahaya baru dalam dirinya yang tidak bisa kusangkal. Dia menjadi lebih hidup."
Yuer tertegun, jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku bersyukur," lanjut Bibi Yuan, senyum lembut melengkung di wajahnya. "Terima kasih karena kau sudah ada untuknya, meski kau mungkin belum sepenuhnya menyadarinya dan sebagai seseorang yang melahirkannya, aku merasa lega karena itu kau."
Tapi Yuer tidak bisa memberikan jawaban atau respon apapun selain senyum paling tulusnya. Jujur saja, menghabiskan waktu dengan Bibi Yuan mengobati rasa rindu pada ibunya sendiri. Mungkin karena Bibi Yuan adalah teman ibunya, seseorang yang sangat mengenal dan dipercaya oleh ibunya untuk menyimpan rahasia besar bahwa dia dipilih oleh energi Huiyan.
...
Langit sore berwarna keemasan ketika angin lembut berhembus melalui paviliun kecil di tepi kolam. Yuer duduk berhadapan dengan Zeyan, jarak mereka hanya sebatas meja rendah di antara. Tatapan mata Zeyan terarah penuh ke Yuer, membuat gadis itu tidak bisa berpura-pura tak menyadarinya.
"Yuer," suaranya rendah, berat, dekat di telinga. "Kau tahu, saat pertama kau dikirim ke bentengku, semua orang berpikir aku langsung menikahimu."
Yuer menegakkan punggungnya, bulu kuduknya meremang. Ia tahu benar bahwa dia juga berpikir hal yang sama bahkan sejak ia meninggalkan wilayah kekaisaran. Tetapi Zeyan tidak melakukannya, bahkan tak pernah membahasnya. Ia sangat lega dan sampai sekarang, Yuer masih merasa itu adalah satu-satunya alasan ia bisa bernafas bebas di benteng ini.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, sorot matanya mengeras dengan ketulusan yang membuat Yuer tidak bisa berpaling. "Tapi, sekarang aku tahu, aku menginginkanmu. Aku ingin kau jadi istriku, Wen Yuer."
Jantung Yuer berdetak kacau. Kata-kata itu bukan hanya sekadar keinginan, melainkan penegasan. Zeyan bukan sekadar laki-laki yang asal bicara tapi Yuer ingin berpikir bahwa pria itu asal bicara.
Yuer tidak merasa dia bisa menghadapi Zeyan untuk ini tetapi juga tidak ingin menyinggungnya. Ia berusaha bersikap tenang, mengatur nafasnya sebelum kemudian beranjak dan berjalan ke sisi paviliun. Tangannya mencengkram kayu pembatas, matanya menatap ikan di dalam kolam.
"Pernikahan adalah sesuatu yang lebih besar dari sebuah kata-kata. Aku tau kau tidak sembarang mengatakan ini, tetapi apapun itu yang membuatmu memikirkan pernikahan denganku, aku ingin kau memikirkannya lagi." Yuer menunduk, menatap jari-jarinya dan menarik nafas dalam. "Aku tidak ingin mempermainkan pernikahan, dan saat kau tidak langsung memaksaku untuk menikah di hari pertama, pikiranku tentangmu sedikit berubah. Bahwa mungkin kau sedikit lebih baik."
Tanpa suara, Zeyan berdiri di belakangnya. Tidak terlalu dekat, tapi cukup membuat bayangannya menyatu dengan bayangan Yuer. Perlahan, tangan kanannya terulur, menyentuh dan menggenggam tangan kanan Yuer yang bertumpu di pagar.
"Dan sekarang kau berpikir aku tidak jauh lebih baik karena memintamu untuk menikah denganku?" suaranya rendah, berat, dekat di telinganya
Yuer menahan napas, tubuhnya refleks menegang. Ia tidak melepaskan genggaman Zeyan, tapi juga tidak berbalik menatapnya.
"Bukan begitu, aku hanya..."
"Kau tidak menyukaiku?"
"Zeyan, aku..."
"Jangan katakan kau tidak menyukaiku, aku tidak mau mendengarnya." Pria itu memotong ucapannya lagi.
Jantungnya berdegup keras. Ia merasa genggaman Zeyan semakin erat, tapi tidak memaksa dan Yuer tidak bisa menolak atau pun mundur. Terlebih lagi perasaan hangat dan ringan yang kembali mengalir di dalam tubuhnya karena sentuhan itu.
Hal yang tidak diketahui Zeyan adalah bahwa Yuer juga tidak bisa mengatakan kalau dia tidak menyukainya.
berusaha menahan getaran dalam suaranya. "Aku tidak bisa begitu cepat menyimpulkan perasaanku, Zeyan. Aku tidak tahu apakah ini cinta, atau hanya kebersamaan yang membuatku nyaman."
Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka, hanya diisi suara riak air dan desir angin.
Lalu Zeyan menggeser genggamannya sedikit, jarinya menyelip di sela jari Yuer. "Kalau begitu, aku akan menunggumu menemukan jawabannya. Tapi sampai saat itu tiba, aku tidak mengizinkanmu pergi dari sisiku, dan kau tetap milikku."
Yuer memejam sebentar, hatinya bergetar. Ia tahu seharusnya ia menarik tangannya dan menyangkal apa yang baru saja pria itu katakan, tapi jari-jarinya justru menutup perlahan, membalas genggamannya.
Suasana hangat itu pecah begitu suara langkah mendekat terdengar. Yuer seketika menarik tangannya dari genggaman Zeyan, jantungnya masih berdebar kencang. Ia menunduk cepat, menyembunyikan rona di wajahnya.
Zeyan, di sisi lain, tidak menunjukkan tanda gusar sedikit pun. Dengan tenang ia menarik kembali tangannya, berdiri tegap.
Han Zichen melangkah bersama dengan seseorang dengan sikap hormat, pria di samping Zichen menggenggam sebuah gulungan kertas bersegel emas dan merah di tangannya. Ia sempat melirik Yuer sekilas, lalu berlutut memberi salam.
Zichen, disisi lain bersikap lebih santai namun ekspresinya tidak bisa berbohong kalau dia sedikit cemas.
"Dia utusan dari kekaisaran." Ucap Han Zichen pada Zeyan dan Yuer memperhatikan bagaimana kedua pria itu saling menatap begitu kata 'kekaisaran' diucapkan.
Tatapan Zeyan jatuh pada gulungan itu, mata gelapnya berkilat sesaat. Yuer bisa melihat perubahan samar dalam ekspresinya.
Zeyan menerima gulungan itu dan membukanya. Pria itu membaca isi gulungan dengan alis terangkat. Jarinya mengetuk ringan permukaan kertas bersegel, dan sekali lagi tatapan matanya menajam ke arah Han Zichen . Tatapan singkat namun penuh pemahaman diam-diam.
Zeyan tak mengatakan apapun saat ia mengulungnya kembali dan menyerahkan gulungan itu pada Zichen. Ia menatap utusan kekaisaran dengan raut serius.
"Sampaikan pada kaisar bahwa aku akan datang."
Zichen mengernyit dan berusaha menyela namun Zeyan menahannya dengan gestur tangannya.
"Antar dia ke gerbang." Ucap Zeyan lagi sebagai perintah pada Zichen yang diangguki pasrah olehnya.
Setelah Zichen dan pria utusan kaisar pergi. Yuer bergerak lebih dekat pada Zeyan.
"Ada apa? Kau akan kemana?"
Zeyan menoleh dan menatap Yuer, namun seketika sorot matanya melembut saat ia mengulurkan tangannya mengusap pelipis Yuer.
"Kaisar mengirim undangan perayaan hari kelahirannya."
"Bagaimana bisa? Bukankah kalian..."
"Hmm, aku tidak tahu apa yang sedang dia rencanakan."
"Dan kau akan datang?"
Zeyan mengangguk. "Aku harus, atau mereka akan berpikir aku takut."
"Tapi kau tidak butuh pengakuan mereka untuk itu."
Zeyan sedikit tertegun, tetapi dia tersenyum lembut. "Kau mengkhawatirkanku?"
"Buk– hhh, kau tahu perjanjian perdamaian ini sangat rapuh. Aku tidak berharga bagi mereka dan mereka tidak peduli jika aku mati sekalipun."
"Tapi aku peduli. Adanya perjanjian ini menegaskan bahwa aku adalah ancaman bagi mereka, Yuer. Aku tidak takut." Ibu jarinya mengusap pipi Yuer, menatapnya begitu dalam.
"Dan aku ingin kau ikut denganku."
ini pertama kali aku baca cerita kolosal china version indo jadi terasa excitednya gituu 🙈
tapi kasian yuerkuhhh