Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Aku terbangun karena merasa lapar. Lelah yang begitu aku rasakan kini sudah hilang sepenuhnya. Aku duduk, minum segelas air putih yang biasa aku siapkan di sisi tempat tidur.
Sadar, aku sudah berada di dalam kamar. Bahkan pakaian yang aku kenakan sudah tidak ada berganti dengan piyama berwarna biru. Aku mengingat bagaimana aku sampai di kamar. Di mobil hanya ada Aron tadi, tapi apa mungkin dia yang membawaku ke kamar.
Aku benar-benar lelah sampai tidur dan tidak merasakan apapun. Aku mencoba berpikir positif untuk saat ini. Tidak mungkin Aron yang sudah menggantikan aku baju.
"Kau sudah bangun?"
"Ya. Aku benar-benar lelah."
"Aku tahu. Kau tidur seperti orang pingsan."
Dari jawaban ini aku menyimpulkan jika Mada yang sudah menggantikan aku baju. Bukan Aron.
"Ini jam berapa?"
"Jam lima sore."
"Apa?!"
Aku mengambil ponselku. Ingin mengabari Oma Melati jika aku tidak bisa ke rumah sakit. Namun belum sempat aku mengirim pesan, Oma Melati sudah mengirim pesan lebih dulu.
[ Arga sudah boleh pulang hari ini. Jika ingin bertemu, ke rumah saja. ]
"Ada apa?"
Mada duduk di depanku. Melihat isi ponsel di tanganku. Lalu setelah itu Mada mengelus kepalaku dengan lembut.
"Kau berakting sangat baik."
"Kau ini."
Kami berdua tertawa. Aku tidak tahu apa ini bisa di sebut akting atau aku memang menerima jika Pak Arga adalah ayah kandungku.
Mada mengeluarkan berkas dari tas kerjanya. Meletakkannya di depanku. Aku membukanya, ternyata semua yang aku inginkan ada di sana. Aku tanpa sadar memeluk Mada dengan erat. Berulang kali berterima kasih padanya.
"Ingat. Badai pasti berlalu, jika badai berhenti. Apa kamu sudah bisa fokus padaku?"
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku ingin dirimu hanya untukku. Hanya memikirkan aku."
"Apa kau mencintaiku?"
"Jika tidak. Untuk apa aku di sisimu dan mendukung semua yang kau lakukan."
"Terima kasih."
Aku menangis dengan pengakuan Mada. Tanpa dia membalas saja sudah membuat aku merasa bahagia. Kini, aku mendengar sendiri ungkapan hatinya. Bagaimana aku tidak menangis bahagia saat ini.
Ternyata, Tante Mira benar adik sepupu ibuku. Dia dan ibuku sangat dekat dulunya. Bahkan dialah yang melarang ibuku menikah dengan Pak Arga. Sayangnya cinta benar membutakan segalanya. Ibuku tidak peduli dan tetap memilih menikah dengan Pak Arga.
Pernikahan itu membuat hubungan ibuku dan keluarga merenggang. Bahkan tidak saling memberi kabar. Sampai sebuah kamar membuat keluarga ibuku merasa kecewa sekaligus menyesal. Kabar kematian ibuku yang katanya bunuh diri.
Tante Mira memilih menyembunyikan identitasnya sebagai keluarga Ibu Heni. Dia bahkan mencari cara agar bisa menjadi dokter pribadi Pak Arga. Sampai akhirnya beberapa bulan ini dia berhasil mendapatkan kesempatan itu.
Botol obat yang diberikan padaku juga benar obat untuk orang depresi. Selama ini Pak Arga meminum obat yang salah. Membuat emosinya tidak stabil bahkan sampai di luar kendali. Seperti ada yang berniat membuat Pak Arga bungkam dengan cara ini.
Sembari membaca semuanya. Mada terus menepuk punggungku. Dia mencoba menguatkan aku dengan semua ini. Di mana kisah hidupku masih tertutup tabir tidak terlihat. Semakin di cari, semakin pelik saja rasanya. Membuatku lelah.
"Apa sudah selesai?"
"Bagaimana jika aku berhenti?"
Mada menatapku. Dia tidak mengatakan apapun, dia hanya menarik diriku ke dalam pelukannya. Sampai aku teringat kembali bagaimana Mada menikahiku. Dia juga ingin mencari tahu kebenaran kematian dari Ibu Rima.
"Tidak apa. Kamu bisa berhenti."
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Kau tidak usah mencemaskan aku."
Beberapa kali ketukan di pintu membuat aku dan Mada saling melepas pelukan. Aku tidak tahu jika ada orang lain di rumah saat ini. Mada turun dari tempat tidur. Aron, pria itu mengatakan sesuatu pada Mada. Mada mengangguk dan kembali menutup pintu.
"Ada apa?" tanyaku.
"Bersiaplah untuk makan malam."
"Aku belum masak."
"Aku sudah menyewa asisten rumah tangga. Kamu tidak perlu repot memikirkan menu masakan lagi."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
*.*.*.*
Mada sudah pergi pagi-pagi sekali. Aku yang memang tidak ada pekerjaan memilih berdiam diri di rumah. Mau masak, sudah ada yang masak. Mau membersihkan, sudah dibersihkan. Alhasil aku hanya bisa duduk sembari melihat berita di TV.
Berita tentang seseorang yang bunuh diri. Aku jadi teringat dengan apa yang terjadi pada Ibu Heni. Jika benar bunuh diri, apa lagi dia menantu keluarga terpandang pasti ada jejak digitalnya.
Aku iseng mencarinya di kolom pencarian. Ada beberapa artikel memang. Bahkan ada juga foto Ibu Heni yang tergeletak bersimbah darah dengan sebuah pistol di tangannya.
Ada rasa takut saat membacanya, tapi aku juga penasaran dengan yang terjadi saat itu. Aku terus membacanya, bahkan sampai pada beberapa komentar yang menyalahkan keluarga Hilmar. Namun, banyak juga yang mengatakan jika ibu Heni tidak bersyukur sudah menjadi menantu di keluarga terpandang itu.
Sakit hati, tentu saja. Sampai pada akhirnya aku menutup kolom pencarian. Aku duduk termenung dengan semua yang terjadi. Masalah apa yang membuat ibu Heni bunuh diri? Atau ada masalah apa sampai ibu Heni di bunuh?
Kasus itu selesai begitu saja. Tidak ada hal yang membahas tentang itu lagi. Bahkan daei pihak keluarga Hilmar juga meminta untuk berhenti. Sementara keluarga ibu Heni sama sekali tidak ikut campur.
Aku ingin berhenti, tapi saat melihat foto jenazah ibu Heni membuat aku kembali bersemangat. Ya, aku harus tahu semuanya. Lagi pula alasan kenapa aku di buang juga belum jelas. Aku harus menyelesaikan semuanya karena ku sudah memulainya. Kepalang basah sudah.
Pintu beberapa kali di ketuk. Eni, asisten rumah tangga yang disewa Mada langsung keluar untuk membuka pintu. Tidak lama ibu Ayu masuk dengan pakaiannya yang mewah tapi mini.
Aku berdiri menyambutnya, meski dalam hati jelas merasa terganggu akan kedatangan mertuaku ini.
"Di mana Mada?"
"Mada bekerja. Ada apa Ma?"
Ibu Ayu tersenyum sinis dan duduk. Aku meminta Eni untuk membuatkan minum saat itu. Ibu Ayu meletakkan tas bermereknya di meja, menyandarkan tubuh dan menatap lurus padaku. Dia seperti sedang memindai diriku dari atas sampai bawah.
"Silahkan di minum," kata Eni meletakkan dua gelas jus jeruk.
"Kenapa Mama datang ke sini?"
Tidak mungkin bukan aku hanya duduk diam dan saling pandang dengan ibu mertuaku ini.
"Kamu di bayar berapa oleh Mada?"
"Maaf?"
"Aku bisa membayar dua atau tiga kali lipat dari apa yang Mada beri. Namun satu hal, ceraikan dia."
"Kenapa? Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Karena dia sudah memiliki tunangan yang jelas asal-usulnya. Jika kamu tidak mau, aku bisa memaksamu melakukannya."
"Silahkan paksa saya. Saya siap kapan pun, namun tidak dengan perceraian."
"Kamu sedang menantangku?"
"Anda sendiri yang datang dan mengancam saya. Apa Papa Aji tahu tentang hal ini?"
Ibu Ayu diam. Aku tahu, dia bertindak sendiri. Jelas-jelas Pak Aji mendukung pernikahan ini.
"Aku ingin ..."
"Anda ingin apa? Suamiku? Atau hartanya?"
Wajah ibu Ayu langsung terlihat merah padam. Jelas dia tersulut emosinya saat ini.
"Aku menikah dengan Mada karena cinta. Bukan karena nafsu apa lagi harta. Papa Aji juga sudah tahu dan mendukung, jadi saya harap anda tidak mengancam saya dengan hal semacam ini lagi."