Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Pagi masih gelap. Kabut tipis menggantung di halaman, embun membasahi ujung daun pisang di samping dapur. Di langit, bintang-bintang sudah mulai surut, digantikan warna abu-abu yang merayap pelan.
Di rumah Kaji Mispan, aktivitas dapur sudah dimulai. Kompor menyala. Air mendidih. Para ibu-ibu sibuk menghangatkan rawon sisa semalam dan menanak nasi untuk iring-iringan pengantin mempelai pria yang menuju ke rumah mempelai wanita, yang rencananya berangkat jam delapan pagi.
Ruqayah bangun lebih awal dari siapa pun. Ia menuju kamar Wiji untuk membangunkan anaknya, seperti kebiasaannya sejak dulu.
“Le… ayo tangi.…”
Ia mendorong pintu kamar pelan-pelan. Tapi begitu daun pintu terbuka penuh, langkahnya terhenti. Kamarnya kosong.
Bajunya masih tergantung. Seprai masih licin.
Dan yang paling membuat jantungnya tercekat —Wiji tidak ada.
“Wiji…” panggilnya lirih. Tak ada jawaban.
Ia masuk, menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada jejak. Hanya selembar kertas kecil di atas meja, tertindih sisir. Dengan tangan gemetar, Bu Ruqayah mengambil kertas itu dan membacanya pelan:
"Ibu, Bapak… maaf. Aku tidak bisa. Aku bukan pengantin hari ini." Tangannya langsung lemas. Ia terhuyung duduk di tepi ranjang. Matanya basah seketika. “Ya Allah, Wiji…” bisiknya pelan, suaranya nyaris pecah.
Kaji Mispan yang mendengar suara istrinya dari ruang tengah, segera datang dengan wajah heran. “Ada apa, Yah?”
Ruqayah hanya menyerahkan kertas itu dengan tangan bergetar. Kaji Mispan membaca cepat—lalu mendongak, matanya membara. “Dia kabur?! Kurang ajar! tinggal ijab kabul kok malah minggat?!”
Sementara itu, dari dapur dan halaman, para tetangga mulai bertanya-tanya.
Tukang rias datang membawa kotak make-up.
Sopir mobil pengantin memanaskan mesin.
Para ibu menyendok rawon ke baskom besar.
Tapi… pengantinnya tidak ada.
Dan pagi itu, rumah yang semula penuh persiapan, pelan-pelan berubah menjadi tempat panik, gumaman, dan kekecewaan. Wiji benar-benar pergi. Entah ke mana.
Tapi yang jelas, ia tidak sanggup melangkah ke pelaminan tanpa cinta.
Kaji Mispan berdiri di teras, wajahnya tegang, matanya merah karena menahan emosi. Di tangannya, secarik kertas kecil telah lecek—surat singkat dari Wiji, anaknya sendiri, yang memilih pergi pagi-pagi buta, meninggalkan hari pernikahannya.
Tak sanggup lagi memendam kecamuk di dada, Kaji Mispan berseru lantang, “Tejo! Untung! Cepat ke sini!”
Dua pemuda itu segera muncul dari samping rumah. Wajah mereka kebingungan, napas masih belum teratur, rambut acak-acakan. Mereka tahu ada yang tidak beres.
“Ada apa, Pak?” tanya Untung.
Kaji Mispan menyerahkan kertas itu dengan tangan gemetar. “Wiji… kabur.”
Tejo menatap Untung, terdiam sejenak, lalu menatap Kaji Mispan lagi. “Pergi ke mana, Pak? Nggak ninggalin pesan apa-apa?”
“Cuma itu!” kata Kaji Mispan, menunjuk kertas di tangan mereka.
Suasana tegang. Dari dalam rumah, suara dapur masih terdengar. Para ibu menyiapkan sarapan untuk rombongan. Tapi di teras ini, waktu seolah berhenti.
“ Tolong kalian cari dia,” kata Kaji Mispan, suaranya mulai bergetar. “Kalian sahabatnya. Kalian pasti tahu dimana dia. Cari ke mana saja. Tanggul, sawah, terminal, rumah siapa pun. Bawa dia pulang.”
Untung mengangguk cepat. “Baik, Pak. Kami cari sekarang juga.”
Tejo menepuk bahu Kaji Mispan pelan. “Tenang, Pak. Kami akan temukan Wiji. Dia nggak mungkin jauh.”
Dan tanpa banyak bicara lagi, keduanya segera berlari menuju motor masing-masing. Mesin meraung.
Kabut pagi masih menggantung ketika roda motor melaju kencang menyusuri jalan kampung yang belum sepenuhnya terjaga. Sebelum kabur lebih jauh dari kampung, Wiji menepikan motornya di tanggul Kali Brantas. Langit masih abu-abu. Embun menempel di ujung ilalang. Suara kokok ayam terdengar sayup dari kejauhan, dan air sungai mengalir pelan, seolah belum ingin terburu oleh waktu.
Ia melangkah pelan, menyusuri jalan setapak tanah yang sedikit becek. Sepatunya basah. Tapi ia tak peduli. Pandangannya lurus ke depan, ke satu sudut yang tak asing: bangku bambu wulung yang dulu ia dan Asmarawati duduki berdua, sore demi sore.
Bangku itu masih ada. Sedikit miring. Sudah lapuk di bagian ujung. Tapi bagi Wiji, itu lebih dari sekadar dudukan tua—itu tempat kenangan.
Ia duduk perlahan. Mengusap permukaannya dengan ujung tangan. Lalu menoleh ke samping: pohon akasia yang rindangnya pernah menaungi tawa mereka. Dahan-dahannya kini tak seindah dulu, tapi bayangan Asmarawati yang menyender di sana masih melekat jelas di ingatannya.
Wiji memejamkan mata. Mengingat tawa. Mengingat bisik-bisik. Mengingat janji-janji yang dulu terdengar mudah diucapkan.
Ia menatap aliran sungai. Tenang, dalam, seperti menanggung cerita yang tak bisa ditulis ulang. Dulu, mereka sering duduk di sini berdua, hanya memandangi air mengalir sambil bertukar mimpi. Sekarang… hanya Wiji sendiri.
Dan sungai itu tetap mengalir, seolah berkata: apa pun yang terjadi, hidup terus berjalan.
Wiji menghela napas panjang. Matanya basah, tapi tak ada tangis.
Ia tahu: keputusannya menyakitkan banyak orang. Tapi lebih menyakitkan lagi jika ia berdiri di pelaminan hari ini tanpa cinta.
Ia meraba saku celananya. Ponsel masih di sana. Ada satu pesan yang tadi malam ia kirim pada Asmarawati:
“Dek, aku njaluk ngapura, ya.”
Tak ada balasan. Hanya sunyi. Dan barangkali… diam yang memang tak butuh jawaban. Dan di atas bangku bambu yang sudah mulai lapuk itu, Wiji hanya bisa menatap air dan waktu. Ia tidak lari dari cinta. Ia lari dari ketidakjujuran pada dirinya sendiri.
Sebelum melanjutkan pelarian yang lebih jauh, ia hanya ingin duduk sebentar—bersama kenangan yang tak bisa ia bawa pergi, tapi juga tak bisa ia tinggalkan sepenuhnya.
Dengan tangan gemetar, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Layar retak sedikit di pinggir, tapi masih bisa digunakan. Ia mengetik pelan “Dek, tunggu aku. Aku akan kembali kepadamu.”
Pesan itu terkirim. Layar menunjukkan centang dua. Tidak ada balasan. Tapi baginya, itu cukup. Setidaknya ia sudah memilih—bukan untuk pesta, bukan untuk restu orang tua, tapi untuk hatinya sendiri.
Namun belum sempat ia menyandarkan punggung dan menenangkan napas,
terdengar suara dari kejauhan:
“Woi Ji!!”
Itu suara Tejo dan Untung.
Suaranya semakin dekat, laju motor mereka meraung cepat menyusuri jalan bawah tanggul.
Wiji tersentak. Sekejap ia bangkit, motornya masih terparkir tak jauh dari pohon akasia.
Ia segera meloncat ke atas jok, menyalakan mesin, dan tanpa pikir panjang tancap gas.
Saking tergesa, ponselnya terjatuh dari saku, meluncur dan terhempas di rerumputan pinggir tanggul kali Brantas.
Ia sempat menoleh ke belakang—hanya sepersekian detik. Tapi tak cukup waktu. Ia tak sempat mengambilnya.
Laju motor Wiji melesat cepat meninggalkan Desa Wonosari. Roda-roda menyapu aspal basah sisa embun, meninggalkan jejak panjang dan riuh angin yang memukul wajahnya. Ia tak menoleh ke belakang. Tak berani. Ia tahu, di belakang sana bukan hanya ada Tejo dan Untung, tapi juga seluruh hidup yang tak lagi ingin ia jalani.
Jalanan masih sepi. Rumah-rumah kampung belum membuka jendela.
Langit mulai merekah tipis di sisi timur, pertanda pagi akan segera datang. Tapi bagi Wiji, hari ini bukan tentang matahari—ini tentang lari.
Udara pagi memapas wajahnya. Jaket yang ia kenakan tak cukup menahan dingin. Tapi dingin di luar tak seberapa dibanding beku yang bersarang di dadanya.
Ia melaju melewati sawah-sawah yang sudah mulai berembun, pepohonan yang memayungi sisi jalan, dan jembatan kecil yang membelah dua dusun. Wiji mengenali setiap lekuk jalan itu, karena ia tumbuh di sini. Tapi pagi ini, ia bukan warga Wonosari lagi.
Ia hanya seorang laki-laki yang tak sanggup berdiri di pelaminan dengan hati yang kosong.
Sesekali matanya berkaca-kaca. Tapi ia tahan. Bukan waktunya menangis. Belum.
Pikirannya kacau: Apakah ia pengecut?
Apakah ia justru baru berani jujur?
Yang pasti, ia memilih pergi daripada mengkhianati perasaannya sendiri. Dan saat motor itu melesat keluar batas desa, melewati gapura bertuliskan "Selamat jalan– Desa Wonosari", Wiji tahu… mungkin ia tidak akan bisa kembali dengan cara yang sama.
Tapi di dalam hatinya, masih ada satu nama yang mengikat kuat—Asmarawati.
Motor GL-MAX itu terus melaju menyusuri jalan lintas desa, melewati pematang sawah, hutan, dan pasar. Tak ada arah pasti, hanya satu dorongan di dalam dada: menjauh.
Hingga akhirnya, ia tiba di kota Kediri. Pagi mulai matang. Jalan mulai ramai. Ia memasuki Jalan Semeru, jantung kota yang mulai hidup. Suara klakson bersahut-sahutan. Bau nasi pecel dari warung trotoar bercampur dengan asap kendaraan.
Tak jauh dari studio Radio Andika FM, motor Wiji diberhentikan oleh dua petugas polisi yang sedang razia.
“Mas, minggir sebentar. Mana helmnya. Waduh knalpotnya brong lagi.”
Wiji hanya mengangguk pelan. Ia memang tidak membawa helm. Motor itu juga berknalpot brong, berisik sejak dari desa. Dan sekarang, ia benar-benar tak punya energi untuk menjelaskan apa pun.
Tanpa perlawanan, ia turun dari motor, menyerahkan STNK dan kunci. “Saya tinggal saja, Pak,” ucapnya lirih.
Petugas menatapnya heran. “Lho, Mas, ini motornya mau diapakan?”
“Terserah Bapak saja. Saya nggak butuh lagi.”
Sebelum petugas sempat bertanya lebih jauh, Wiji sudah berjalan pergi, menyusuri trotoar dengan langkah cepat, meninggalkan motor, meninggalkan identitas, meninggalkan sisa-sisa hidup lamanya.
Beberapa menit kemudian, tak jauh dari situ. Ia menghentikan Bus Sumber Kencono tujuan Jawa Tengah.
Ia naik tanpa banyak bicara. Membayar tiket tunai, lalu duduk di kursi dekat jendela. Bus pun berangkat.
Tak seorang pun tahu ia menuju kota mana. Tak seorang pun sempat menanyakan alasan sebenarnya. Dan sejak hari itu, tak ada lagi kabar dari Wiji.
Ia pergi, meninggalkan Wonosari. Tanpa pamit, tanpa jejak pasti. Ia tinggalkan keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan cintanya yang paling dalam—Asmarawati. Hanya satu pesan terakhir tertinggal. Setelah itu, sunyi. Dunia kehilangan kabarnya.
Yang tersisa hanyalah kabar simpang siur,
dan satu nama yang masih memanggil-manggilnya dalam diam: Asmarawati.
********
Di Wonosari, Untung dan Tejo pun kembali menghadap Kaji Mispan dengan tangan hampa.
Langkah mereka berat, wajah tertunduk. Tak perlu banyak kata—kepergian itu sudah tak bisa dicegah.
“Maaf, Pak…” ujar Untung pelan.
“Wiji nggak bisa ditemukan. Kami sudah keliling. Tapi dia benar-benar pergi,” tambah Tejo, menahan napas.
Kaji Mispan mematung. Tak ada kemarahan, tak ada kata makian. Hanya diam yang dingin, menggantung di antara mereka. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh, tapi hatinya remuk tak berbentuk.
Ruqayah duduk diam di kursi sudut rumah.
Kedua matanya bengkak, pandangannya kosong. Air matanya tak lagi deras, hanya sisa-sisa tangis yang sudah terlalu lelah untuk jatuh.
Iring-iringan pengantin yang sedianya akan berangkat menuju rumah mempelai wanita pun dibatalkan. Mobil-mobil yang sudah dihias bunga dibiarkan diam di halaman. Sopir dan panitia hanya saling pandang, tak tahu harus berbuat apa. Beberapa tamu mulai berbisik-bisik, suasana berubah hening—bukan karena hormat, tetapi karena syok yang menyebar perlahan.
Kabar itu akhirnya sampai ke rumah Kaji Umar dan Hajah Raminten.
Andini, si mempelai wanita, tak kuat mendengarnya. Tubuhnya limbung. Bibirnya gemetar. Mata yang sejak pagi telah dirias kini berkaca-kaca. Dan sebelum sempat mengucap sepatah kata pun—ia jatuh pingsan di tengah ruang tamu.
Tangis pun pecah. Hajah Raminten langsung memeluk anaknya, panik. Beberapa orang berlarian, mencari air dan minyak angin. Namun semua sudah terlambat. Hari yang seharusnya menjadi pesta, kini berubah menjadi luka.
Hari itu, dua keluarga disatukan bukan oleh pelaminan, melainkan oleh kekecewaan yang dalam.
Pagi itu, rumah Ki Ratmoyo diselimuti diam. Tapi diam yang panas, seperti bara dalam abu.
Pagar rumah berderit keras ketika Kaji Mispan masuk tanpa permisi. Wajahnya merah. Langkahnya kasar. Nafasnya terburu. Di belakangnya, Ruqayah menangis, mencoba menahan, tapi kalah oleh amarah yang sudah meledak sejak malam.
“Ratmoyo! Keluarkan anakmu!”
Ki Ratmoyo yang sedang duduk di bale bambu berdiri pelan. Lurik cokelat masih melekat di tubuhnya. Pandangannya tajam tapi tidak marah. Ia tahu badai ini akan datang. Dan ia tahu, tak ada payung yang bisa melindungi siapa pun hari ini.
Asmarawati muncul dari balik pintu. Pelan. Wajahnya tanpa warna. Selendang hijau di bahu, tak lagi rapi. Ia berdiri di serambi. Tak bicara. Tak bergerak.
“Kamu yang bikin Wiji lari?! Kamu pikir ini apa?! Sandal jepit?! Hari ini harusnya anakku nikah! Tapi malah kabur kayak maling!”
Asmarawati menunduk. Tidak menangis.
Tidak membela diri. Ratmoyo menatap Mispan.
Suaranya tenang, nyaris dingin.
“Asmarawati tidak mengajak siapa pun pergi. Anakmu pergi atas keputusannya sendiri.”
“Ah, kamu enak bicara!” suara Mispan naik. “Dari dulu kamu memang nggak suka aku, kan? Sekarang anakku yang jadi tumbal kebencianmu!”
Ratmoyo diam. Tak membenarkan, tapi juga tak membantah.. Itulah jawaban paling jujur dari seorang Jawa yang menolak tanpa kata.
Mispan tertawa getir. “Bagus. Bagus, Ratmoyo. Tapi ingat, hari ini dua keluarga jatuh, bukan karena anak-anak, tapi karena orang tua yang terlalu pandai menyimpan kebencian!” Ia menunjuk Asmarawati.
Sundari keluar dengan langkah tergesa, wajahnya pucat pasi.
Matanya membesar melihat Mispan yang berdiri gemetar menahan amarah, seperti bara yang siap membakar rumah siapa pun yang disentuhnya.
Tanpa berkata-kata, ia meraih bahu Asmarawati, memegangi putrinya erat-erat seakan hendak menyelamatkan sisa-sisa yang belum terbakar.
Asmarawati menunduk, tubuhnya kaku. Tak menangis, tak bicara. Hanya matanya yang tampak kosong, seperti baru saja kehilangan nama.
Tak lama setelah itu, daun pintu belakang pendhapa berderit. Suara tongkat tua mengetuk lantai kayu. Ki Sanusi keluar, mengenakan kain lurik dan blangkon yang setengah miring. Wajahnya teduh, tapi ada bara dingin dalam suaranya.
“Cukup, Kaji Mispan.”
Mispan menoleh. Napasnya masih berat.
“Aku tua, tapi belum pikun. Kalau kau datang membawa dendam, kau salah alamat. Ini rumah kesenian, dudu pabaratan. Kowe wes gerang. Mbokya ngerti yang namanya patrap empan papan!.”
Ia melangkah pelan, menatap Mispan lurus-lurus.
“Kalau kamu masih punya hati, muliho. Tangisono anakmu di langgarmu sendiri. Jangan cemari tempat ini dengan amarahmu, sing tan migunani.”
Mispan terdiam. Bibirnya bergetar seperti hendak membalas, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya pandangannya yang menajam—bukan ke Ki Sanusi, tapi ke dirinya sendiri.
Tiba-tiba suara isak itu terdengar dari arah luar rumah Ratmoyo.
“Ya Allah, Pak… cukup, Pak… cukup. Ayo pulang! Pulang, Pak…”
Ruqayah datang tergopoh, kerudungnya miring, wajahnya basah oleh air mata yang tak sempat diseka. Di bawah cahaya pagi yang terang tapi dingin, tubuhnya tampak ringkih, namun suaranya menggema dengan keteguhan seorang istri yang tak ingin keluarganya runtuh di hadapan orang.
Ia memeluk lengan Mispan, mengguncangnya pelan.
“Anak kita sudah nggak ada, Pak… jangan tambah malu… jangan tambah aib…”
Mispan hanya menunduk. Cahaya matahari memantul di matanya yang sembab. Dadanya naik turun, tapi tak ada lagi kata. Ia membiarkan dirinya dituntun pergi, langkahnya goyah seperti kehilangan penyangga hidup.
Mereka pun berjalan pelan meninggalkan pendhapa, melewati halaman yang masih basah embun. Suara anjing menggonggong terdengar di kejauhan, seolah ikut menegaskan pagi yang ganjil itu. Ki Sanusi hanya menatap kepergian mereka dalam diam, wajahnya teduh tapi tegas, seperti bumi yang menyaksikan badai tanpa perlu menunduk.
Matahari mulai meninggi. Langit bersih, tapi hati Ruqayah masih gelap gulita.
Baru beberapa langkah menjelang depan rumah, Mispan tiba-tiba terhuyung. Tubuhnya limbung, lalu ambruk begitu saja di tengah jalan tanah yang masih lembap oleh embun pagi.
“Pak! Ya Allah, Pak…!” teriak Ruqayah histeris, menjatuhkan diri di samping suaminya. Ia mencoba mengangkat kepala Mispan ke pangkuannya, tangannya gemetar, suaranya bergetar. “Pak… jawab aku, Pak…”
Panik dan tangisnya menarik perhatian. Beberapa tetangga segera berdatangan—ada yang berlari kecil, ada yang mengangkat tangan ke dahi, kaget.
“Pak Kaji pingsan! Cepat, tolong!”
Tanpa banyak tanya, dua orang lelaki langsung mengangkat tubuh Mispan. Ruqayah menyingkir, matanya tak lepas dari wajah suaminya yang pucat dan tak sadarkan diri.
Mereka membawanya masuk ke dalam rumah, melewati teras yang masih berhias janur kuning melengkung. Kali ini, teras itu penuh napas tercekat dan langkah terburu-buru.
Dari dalam rumah terdengar suara Ruqayah terus memanggil-manggil nama suaminya, diiringi isak yang pecah seperti tembok tua yang retak karena digerus waktu.
Setelah beberapa hari kejadian itu, Kaji Mispan jatuh sakit. Tubuhnya melemah tiba-tiba, sebelah tangannya tak bisa digerakkan, mulutnya tertarik ke satu sisi, dan ucapannya tersendat. Panik menyebar cepat di rumah itu.
Ia segera dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara. Dengan ambulans milik desa, dibantu para tetangga dan saudara dekat.
Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter mendiagnosa: stroke berat.
Kabar itu membuat hati Bu Ruqayah runtuh seketika.
Ia hanya bisa duduk di samping ranjang, menggenggam tangan suaminya yang dingin dan tak lagi kuat mencengkeram balik.
Hari-hari berikutnya berjalan pelan, diselimuti kecemasan dan doa.
Wajah Kaji Mispan tampak lelah, tapi matanya kadang berkaca-kaca, seolah masih menanti seseorang datang membuka pintu dan berkata,
“Pak, aku pulang…”
Namun pintu itu tetap diam. Tak ada jejak langkah. Tak ada kabar dari Wiji. Dan di dalam ruang rumah sakit yang berbau obat dan sunyi, Bu Ruqayah hanya bisa menatap jendela. Menanti waktu. Menanti anak. Menanti pulihnya harapan yang nyaris patah.
Halimah, anak sulung Kaji Mispan, bersama suaminya Arifin, segera menyusul ke rumah sakit. Mereka datang tergesa, dengan wajah cemas dan napas yang belum sempat tenang. Di tangan Halimah masih tergenggam tas kecil berisi obat-obatan dan air minum, seolah baru sempat menyambar apa yang bisa dibawa.
Begitu masuk ke ruang perawatan, Halimah langsung memeluk ibunya. Tak ada kata yang keluar, hanya pelukan lama yang cukup untuk berkata: “Mak, aku di sini.”
Mereka lalu duduk bergantian di sisi ranjang.
Menatap wajah Kaji Mispan yang kian pucat, dengan selang infus menancap di punggung tangannya yang dulu begitu keras bekerja. Arifin mencoba menenangkan, tapi suaranya terdengar jauh, seperti gema dari lorong rumah sakit yang dingin.
Sesekali, Kaji Mispan mencoba berbicara.
Mulutnya bergerak, tapi suaranya putus-putus, seperti potongan angin malam yang menerpa daun jendela.
“Hhh… Li… mah…”
Begitu lirih, begitu berat. Air mata Halimah menetes tanpa bisa ditahan. Ia genggam tangan bapaknya erat-erat, mencoba menyalurkan hangat tubuhnya, seolah bisa menyambung kembali urat yang putus.
Di dalam ruang itu, waktu seolah melambat.
Hanya suara mesin medis dan detak jantung yang terus berbunyi—Menandai harapan yang masih hidup, meski nyaris redup.
Tengah malam itu, ruang rumah sakit diselimuti sunyi yang nyaris beku. Lampu temaram di sudut ruangan menyinari ranjang Kaji Mispan yang tak bergerak, hanya dada yang naik turun pelan, seiring napas yang dituntun selang oksigen.
Di sisi ranjang, Bu Ruqayah bangkit perlahan. Dengan tubuh renta yang diselubungi kerudung lusuh, ia mengambil air wudu dari wastafel kecil di pojok ruangan. Tak ada sajadah, hanya jaket anaknya yang ia bentangkan di lantai dingin, menghadap kiblat seadanya. Ia mendirikan tahajjud.
Gerakan shalatnya pelan, penuh hati-hati.
Setiap takbir seolah melepaskan beban yang menggunung di dadanya, Setiap sujud, seperti menumpahkan air mata yang selama ini ia tahan di pelupuk.
“Ya Allah…” Doanya lirih, namun penuh gentar.
“Sembuhkan suamiku. Panjangkan usianya, beri kesempatan untuk kami menebus segala kekurangan sebagai orangtua…”
Tangisnya tertahan. Bahunya gemetar, namun tubuhnya tetap bersujud di sisi ranjang—seperti seorang istri yang tak pernah menyerah pada takdir.
“Dan jika Engkau masih memberiku waktu... kembalikanlah anakku. Pulangkan Wiji, ya Allah... biarlah ia melihat bapaknya meski sekali. Biar luka ini tidak makin menganga…”
Tiada jawaban selain deru lembut dari mesin-mesin medis dan dengus napas suaminya. Tapi langit, mungkin diam-diam mendengar. Malaikat, mungkin mencatat dengan takzim air mata ibu yang tersungkur dalam malam paling sunyi di ujung usia.
Di luar, bulan menggantung sendu. Menatap bumi dengan sorot dingin, sementara seorang perempuan tua, di balik jendela rumah sakit Bhayangkara,
masih bersujud… masih menanti keajaiban.