NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 : Ketika Gerbang Itu Terbuka

Sudah seminggu lebih desa itu tidak pernah benar-benar tenang. Sejak Diah kesurupan, ronda malam jadi kewajiban yang tak bisa ditawar. Tapi malam ini terasa berbeda.

Langit mendung, angin menderu pelan seperti bisikan-bisikan tak bernama yang mengendap di balik pepohonan. Kabut turun lebih cepat, menyelimuti jalanan tanah yang biasa dilalui warga seperti menyembunyikan sesuatu di dalamnya.

Udin dan Pedot duduk di pos ronda, menghadap gelas kopi yang sudah dingin.

Udin: “Dot… kowe ngerasa ora sih, akhir-akhir ini hawa deso kita kok kaya aneh. Adem, tapi bukan adem semriwing... ademnya nylekit.”

Pedot: “Ora usah kowe bahas-bahas, Din. Aku wae nek mlaku neng kebon sawit, merinding tok. Kemarin malah aku liat bayangan... kaya mbok-mbok tua bungkuk... lha kok ilang neng batang pisang.”

Udin: membesarkan mata “Opo? Kok kowe ora ngomong kemarin?”

Pedot: “Lha aku ngomong sopo? Nek ngomong karo mbah Tejo malah disuruh nginep di kebon, disuruh ngobrol bareng ‘mbok-mbok’ kae…”

Belum sempat mereka lanjutkan obrolan, Pak Ustaz Lutfi datang, membawa botol kecil berisi air yang baru dibacakan doa.

Pak Ustaz: “Malam ini, hati-hati. Sudah dua warga mimpi buruk berulang. Ada yang mimpi kebun terbakar, ada yang mimpi ditarik ke dalam sumur.”

Pak RT, yang juga ikut malam itu, menimpali, “Aku juga denger kabar... dari dusun sebelah. Katanya ada anak kecil yang melihat perempuan tanpa muka berdiri di depan kandang sapi.”

Semua terdiam.

Mbah Tejo datang terlambat, seperti biasa membawa kantong kain kecil penuh dedaunan dan akar-akaran. Ia langsung menghadap ke arah kebun tua di belakang desa.

Mbah Tejo: “Pintu yang dibuka bukan hanya pintu dendam. Tapi mungkin juga gerbang antara alam. Ketika satu jiwa tak tenang, ia bisa menjadi magnet.”

Pak Ustaz: “Magnet bagi makhluk-makhluk lain?”

Mbah Tejo: “Iya. Yang belum pernah dikenal di sini... bisa saja tertarik datang.”

Udin: berbisik ke Pedot “Walah, nek semut wae pada datang nek ana gula... iki nek jin-jin ya padha ngumpul nek ana nyawa tersesat.”

Pedot: “Maksudmu Mbah Sanem jadi gula?”

Udin: “Jangan keras-keras, Dot. Nanti disamperin jin doyan kopi.”

Menjelang tengah malam, kelompok ronda mulai membagi tim. Pak RT membawa tim kecil menyisir kebun belakang, sementara Mbah Tejo dan Pak Ustaz tinggal di pos sebagai pusat pengawasan.

Di tengah penyisiran, Pak Minto, yang bertugas membawa lampu, tiba-tiba berhenti.

Pak Minto: “Tunggu… kalian denger suara air tumpah?”

Semua diam. Suara gemericik seperti ember tumpah pelan-pelan terdengar dari semak sebelah kanan.

Saat mereka dekati, tidak ada air. Tapi di atas tanah basah itu berdiri seorang perempuan dengan rambut menutupi wajah. Gaunnya lusuh, dan kulitnya seperti kayu basah.

Pak RT: “Siapa itu?!”

Tidak ada jawaban. Sosok itu berdiri diam, lalu menunduk… dan perlahan mengangkat wajah.

Tidak ada mata. Tidak ada hidung. Hanya rongga hitam dan kulit putih keriput. Sosok itu membuka mulut—tapi bukan suara yang keluar—melainkan bunyi seperti serangga menggiling kayu.

Pak RT: “Mundur!! Semua mundur!”

Lampu petromaks mendadak padam. Dalam hitungan detik, kegelapan menyelimuti. Suara jeritan kecil terdengar, disusul suara langkah kaki yang seperti diseret.

Tim ronda lari terbirit-birit kembali ke pos, sebagian jatuh bangun.

Udin dan Pedot, yang mendengar keributan itu, langsung berdiri siap lari. Tapi Pak Ustaz menahan mereka.

Pak Ustaz: “Jangan panik. Bacakan doa dalam hati. Jangan biarkan ketakutanmu jadi pintu masuk!”

Pak RT tiba, mukanya pucat pasi.

Pak RT: “Kita lihat sesuatu… bukan Mbah Sanem… itu lain. Dan itu... bukan manusia…”

Mbah Tejo: “Gerbangnya makin terbuka. Kita harus segel tempat itu.”

Keesokan harinya, warga desa berkumpul di balai dusun. Pak RT menjelaskan semuanya dengan terbata-bata. Tak ada yang menyanggah. Semua sadar, kini bukan hanya tentang Mbah Sanem.

Pak Ustaz: “Mulai malam ini, kita adakan doa bersama. Setiap rumah harus menyalakan lampu sepanjang malam.”

Pak Kromo: “Dan kebun belakang... sebaiknya dipagari sementara. Anak-anak dilarang mendekat.”

Sementara itu, dari arah barat desa, ada kabar baru. Seorang petani yang hendak pulang dari ladang melihat sosok pria tanpa kepala duduk di atas pematang sawah. Ia menggoyang-goyangkan kakinya seperti sedang menunggu sesuatu.

Saat didekati, sosok itu menghilang, meninggalkan bekas duduk dan... cap tangan berdarah di tanah.

Malam harinya, doa bersama diadakan di mushola. Warga berkumpul, membawa sajadah dan air botol. Suasana khusyuk, namun penuh kecemasan.

Udin, yang duduk di belakang, menggenggam tasbih plastiknya erat-erat.

Udin: “Dot… aku ora ngerti kenapa, tapi aku merasa... kaya ada yang ngawasi kita dari langit-langit mushola.”

Pedot: melirik pelan ke atas “Jangan dilihat, Din. Kakekku pernah bilang, nek ngrasain sesuatu tapi ora bisa dijelasin, mending diem. Nek dilawan malah ‘ngundang’.”

Di tengah dzikir, lampu mushola sempat berkedip. Angin bertiup masuk dari jendela, membuat beberapa sajadah terlipat sendiri.

Pak Ustaz melanjutkan bacaan dengan suara lebih keras. Pak RT menggenggam keris pusaka kecil yang dititipkan Mbah Tejo, untuk jaga-jaga jika “makhluk” itu mencoba mendekat.

Tak lama kemudian, seorang anak kecil—Lina, cucu Bu Karsi—tiba-tiba berdiri di barisan perempuan.

Lina: (suara berat dan serak) “Kalian semua terlalu terang... tapi kami belum selesai…”

Lina ambruk. Dan dari balik jendela... seseorang atau sesuatu mengintip dari luar.

Warga panik. Tapi Pak Ustaz tetap melanjutkan doa hingga selesai.

Setelah itu, tidak satu pun yang berani pulang sendirian.

Esok paginya, Pak RT, Mbah Tejo, dan beberapa tokoh desa memutuskan akan mengadakan ritual penutupan gerbang yang diyakini terbuka sejak kematian Mbah Sanem.

Namun sebelum itu bisa dilakukan, rumah Pak Minto terbakar… padahal semua anggota keluarga sedang di sawah.

Dan dari antara sisa puing yang hangus, ditemukan satu boneka kayu dengan wajah mirip Mbah Sanem. Di balik boneka itu tertulis:

"Aku bukan satu-satunya."

Pagi itu, embun masih menempel di ujung daun, namun ketegangan di wajah para warga sudah terasa sejak ayam jantan berkokok. Sejak rumah Pak Minto terbakar malam sebelumnya, hampir semua warga sepakat bahwa ini bukan lagi soal satu arwah penasaran—sesuatu yang lebih besar sedang bergerak di desa mereka.

Di balai dusun, Pak RT, Pak Ustaz Lutfi, dan Mbah Tejo sudah duduk bersama menyusun rencana. Di pojokan, duduklah Pak Bolot, mengenakan sarung kotak-kotak, kopyah miring, dan jaket kebesaran yang entah milik siapa.

Pak RT: “Pak Bolot, njenengan paham, kan? Kita mau adakan ritual penutupan gerbang malam nanti. Tolong bantu jaga batasan barat.”

Pak Bolot: manggut-manggut cepat “Oohh... iya iya, saya juga senang kembang desa. Dulu saya juga suka yang namanya serabi kembang!”

Pak Ustaz: menahan tawa “Bukan kembang, Pak Bolot. Batasan barat. Wilayah desa bagian barat.”

Pak Bolot: mengernyit “Ah, iya iya... barat, arah matahari tenggelam, kan? Tapi kok malah saya disuruh nyanyi?”

Pak RT: “Nyanyi? Waduh, piye to, Pak Bolot. Ora disuruh nyanyi, disuruh jaga!”

Semua orang tertawa. Ketegangan yang menggumpal sejak malam sebelumnya sedikit mengendur. Bahkan Udin dan Pedot yang duduk di belakang tak kuasa menahan geli.

Udin: “Dot, kowe ngebayangin ndak, nek Pak Bolot tiba-tiba disamperin pocong, tapi dia malah nyaut ‘Mau nonton lenong?’”

Pedot: “Halah, malah pocongnya yang kabur!”

Malam hari pun tiba. Ratusan lilin mulai dinyalakan di pinggiran jalan desa. Doa-doa terus dipanjatkan sejak Maghrib. Mbah Tejo menyiapkan beberapa sesaji tradisional: bunga tujuh rupa, kendi air dari sumur belakang, dan seikat daun kelor yang katanya bisa menangkal jin pelintas.

Di titik barat, Pak Bolot sudah siap dengan senter dan pentungan kayu.

Pak Tejo (berteriak): “Pak Bolot, ingat! Kalau lihat ada gerakan mencurigakan, tiup peluit!”

Pak Bolot: “Iya iya, saya juga suka makan ketupat!”

Pak Tejo: “Bukan ketupat, Pak Bolot! Peluit! Priiitt itu lho!”

Pak Bolot: “Ohh! Iya iya, saya kira disuruh nyambel…”

Di tengah lapangan kecil yang diyakini sebagai “titik terbuka”-nya gerbang itu, Pak Ustaz mulai memimpin doa. Mbah Tejo menancapkan tongkat bambu berisi mantra dan menabur garam di sekeliling lingkaran api.

Angin menderu lebih kencang malam itu.

Salah satu warga, Bu Sari, tiba-tiba terjatuh, tubuhnya bergetar hebat.

Bu Sari (dengan suara berat): “Kalian mengganggu… KAMI tidak suka… TUTUP GERBANGMU SENDIRI!”

Tubuhnya melayang beberapa sentimeter dari tanah sebelum Pak Ustaz dan Mbah Tejo serempak membacakan doa. Tubuh itu terhempas ke tanah dan diam.

Seketika itu pula terdengar suara peluit berbunyi tiga kali dari arah barat.

Semua panik.

Pak RT: “Itu Pak Bolot! Ayo ke sana!”

Mereka berlari menuju batas barat desa, menemukan Pak Bolot berdiri terengah, memegang senter dan peluitnya.

Pak RT: “Pak Bolot, ada apa?! Sampean lihat apa?!”

Pak Bolot: “Tadi... ada yang lewat cepet banget. Kaya bayangan. Tak kira maling sapi!”

Udin: “Terus sampean tiup peluit?”

Pak Bolot: “Iyo! Tapi peluitnya ternyata malah kemakan... nyangkut di tenggorokan!”

Pedot: “Laah, terus itu suara peluit barusan?”

Pak Bolot: “Bukan, itu suara angin... saya malah sendawa.”

Mereka semua terdiam… lalu pecah tawa. Bahkan Mbah Tejo, yang biasanya serius, terkekeh kecil.

Pak RT: “Pak Bolot, jenengan ini... walau salah tangkap, tapi kehadiranmu menenangkan juga.”

Pak Bolot: “Iya iya, kalau perlu saya bawa bedug minggu depan. Biar jin juga takut!”

Tawa belum sempat hilang saat dari balik semak, terdengar suara bayi menangis.

Sunyi. Semua menoleh.

Di bawah pohon jambu biji, terlihat sesosok bayi, telanjang, hanya dibungkus daun pisang. Tapi wajahnya…

Bukan wajah bayi. Wajahnya keriput seperti nenek tua.

Mbah Tejo: “Jangan didekati!”

Pak Bolot: merangsek maju “Bayi kok ditinggal begitu, kasian! Nih, sini, sini ke Pak Bolot…”

Pak Ustaz: “Pak Bolot! Mundur! Itu bukan bayi!”

Sosok “bayi” itu perlahan bangkit, lalu berdiri dengan dua kaki... tubuhnya tetap kecil, namun matanya hitam dan besar, dan mulutnya menyeringai.

Suara tangis berubah menjadi suara tawa mengerikan, dan sosok itu melompat ke atas pohon, lalu menghilang.

Pak Bolot jatuh terduduk.

Pak Bolot: “Hooo... aku kira boneka cebokan!”

Udin (nyengir): “Dot, nek setan liat Pak Bolot terus kesel, mungkin dia malah kesurupan balik!”

Pedot: “Setan: ‘Astaghfirullah, gue yang nyesel nyamperin.’”

Meski ritual belum selesai, malam itu berhasil ditutup dengan kekuatan doa dan kerja sama warga. Walau makhluk-makhluk yang “tertarik” ke desa belum sepenuhnya pergi, warga merasa lebih siap.

Dan kehadiran Pak Bolot, meski sering salah dengar, entah bagaimana membuat ketegangan sedikit lebih ringan.

Pak Ustaz: “Kadang Allah kasih kita ujian bersama... tapi juga kasih tawa di tengahnya.”

Pak Bolot: “Iya iya... saya juga suka tape uli!”

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!