NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Keesokan harinya, pagi masih menyisakan embun di kaca jendela ketika suara klakson mobil terdengar dari depan rumah kontrakan kecil di Bumiarjo, Surabaya.

Grilyanto yang baru selesai mempersiapkan teh hangat untuk Sri segera menoleh ke arah pintu.

“Sri, kayaknya ada tamu,” katanya sambil berjalan ke depan.

Sri yang masih mengenakan daster dan berbaring di dipan ruang tengah, mencoba bangkit.

Tapi sebelum sempat berdiri, terdengar suara langkah ramai dan pintu pagar diketuk.

Grilyanto membuka pintu dan matanya membelalak.

“Bu...? Mbak Nanik? Mbak Tini...?”

Ibu Grilyanto berdiri di depan pagar dengan senyum dan air mata, sementara Nanik menggendong Pramesh yang tertawa kecil melihat ayahnya.

Ngatini membawa tas besar, dan dua anak remaja, Joni dan Tikno, berdiri dengan mata berbinar melihat rumah kontrakan itu.

“Mas...” panggil Nanik pelan.

Grilyanto langsung membuka pintu pagar. Mereka semua masuk dan Sri yang berdiri dengan susah payah langsung terisak saat melihat Pramesh.

“Nak...!” Sri memanggil, air matanya mengalir saat Nanik menyerahkan Pramesh ke pelukannya.

“Sri...” ucap Ibu Grilyanto pelan, sebelum memeluk tubuh menantunya dengan erat.

“Maaf... kamu sendirian mengandung, sakit, dan tetap menjaga rumah ini. Sekarang biar ibu bantu.”

Pelukan mereka hangat, air mata dan rasa lega bercampur jadi satu.

Sri bersandar di bahu mertuanya, sementara Pramesh meringkuk manja di dada ibunya, seolah tahu bahwa akhirnya rumah ini terasa utuh kembali.

Grilyanto berdiri beberapa langkah di belakang, menyeka matanya sendiri.

Rumah kontrakan sederhana itu kini terasa seperti surga kecil, saat cinta dan keluarga kembali menyatu.

Malam menjelang dengan tenang di rumah kontrakan kecil mereka di Bumiarjo, Surabaya.

Setelah perjalanan panjang dari Magelang, keluarga besar Grilyanto memutuskan untuk menetap beberapa hari membantu merawat Sri yang tengah mengandung.

Suasana rumah yang biasanya sepi kini ramai dan hangat oleh tawa, percakapan, dan suara Pramesh yang riang.

Siang itu, aroma khas masakan Jawa memenuhi seluruh ruangan.

Ibu Grilyanto sibuk di dapur kecil, membuka bungkusan-bungkusan yang dibawanya dari Magelang.

Sri duduk bersandar di sudut ruang tamu, wajahnya lelah tapi bahagia, sementara Pramesh bermain dengan Joni dan Tikno yang membuat mainan dari kardus bekas.

“Pa, ini ibu bawa brongkos, baceman tahu tempe, dan getuk eco. Katanya kamu kangen masakan rumah, to?” ujar ibu sambil tersenyum pada Grilyanto.

“Wah, brongkos buatan ibu paling top sedunia. Apalagi bacem nya, Sri suka banget.”

Nanik mengatur piring dan sendok, lalu membantu menyediakan nasi hangat ke dalam piring-piring.

Ibu meletakkan mangkuk brongkos, warnanya pekat dengan potongan daging, telur, dan tahu yang empuk, lengkap dengan kuah gurih khas masakan rumahan.

Baceman yang manis dan gurih tersaji dalam nampan kecil, sementara getuk berwarna-warni tersusun rapi di atas daun pisang, memberikan nuansa nostalgia.

Mereka semua duduk lesehan di lantai dengan alas tikar pandan. Sri duduk berdampingan dengan ibu, disuapi perlahan karena masih lemah.

“Enak bu, alhamdulillah. Udah lama enggak makan masakan ibu.” ucap Sri dengan mata berkaca.

Ibu tersenyum sambil mengelus rambut menantunya.

“Makan yang banyak, Sri. Biar kuat kamu dan bayinya.”

Makan siang itu menjadi momen kebersamaan yang sunyi tapi hangat.

Tak ada musik, hanya suara sendok yang menyentuh piring dan percakapan ringan tentang masa kecil, kenangan di Magelang dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Setelah makan, Pramesh tertidur di pangkuan Nanik. Sri akhirnya bisa benar-benar beristirahat, sementara ibu dan Ngatini membereskan dapur.

Di luar, matahari menyusup lembut di balik tirai rumah kecil itu.

Hari itu bukan sekadar siang, tapi kelegaan dari sebuah pelukan keluarga yang datang tepat di saat dibutuhkan.

Setelah makan siang yang hangat bersama keluarga, suasana rumah kembali tenang.

Aroma brongkos dan baceman masih menggantung samar di udara.

Di sudut ruangan, Pramesh sudah tertidur pulas setelah kenyang dan kelelahan bermain.

Pipinya merah, nafasnya teratur, dan boneka kain kecil kesayangannya masih tergenggam erat di tangannya yang mungil.

Grilyanto perlahan berdiri, lalu menghampiri Sri yang masih duduk bersandar di dinding dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya.

Wajahnya terlihat pucat, tetapi tersenyum saat melihat suaminya mendekat.

“Yuk, aku papah ke kamar,” bisik Grilyanto lembut sambil meraih tangan Sri.

Sri mengangguk pelan. Dengan hati-hati, Grilyanto menyelipkan satu tangannya di belakang punggung istrinya dan satu lagi di bawah lututnya, lalu membantunya berdiri.

Langkah mereka pelan, seolah waktu melambat mengikuti gerakan kasih sayang yang tanpa kata-kata.

Sesampainya di kamar, Sri langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Grilyanto menarik selimut dan membetulkan bantal di belakang punggungnya, lalu duduk di samping Sri, menggenggam tangannya yang dingin.

“Terima kasih ya, Pa." bisik Sri dengan suara lirih.

Grilyanto hanya mengangguk dan mengusap kepala istrinya dengan penuh sayang.

Di sisi lain ranjang, Pramesh masih tertidur dengan damai.

Melihat putrinya yang tenang di antara mereka, Grilyanto merasa sejenak dunia menjadi begitu sederhana cukup istri yang ia cintai dan anak yang mereka rawat bersama.

Tak lama kemudian, Sri pun tertidur. Grilyanto menyandarkan punggungnya di dinding kamar, memandang wajah dua orang yang paling ia cintai di dunia ini.

Rumah kecil mereka mungkin tak mewah, tapi detik itu, terasa seperti

Sore itu, sinar matahari mulai meredup, menciptakan semburat jingga yang lembut di langit Surabaya. Di dapur rumah kontrakan sederhana di Bumiarjo, aroma tumisan bawang dan santan mulai menguar, memenuhi udara dengan wangi yang menggoda selera.

Ibu Grilyanto dengan cekatan memotong daun jeruk dan serai, sementara Ngatini, kakak perempuan Grilyanto, sedang mengaduk kuah opor ayam yang sudah menggelegak di atas kompor kecil.

Sesekali mereka saling bertukar senyum dan cerita ringan, mengenang masa kecil Grilyanto yang dulu sering merengek ingin mencicipi masakan sebelum matang.

"Tin, tolong lihat nasi uduknya ya, jangan sampai gosong," ujar ibu sambil menambahkan garam ke dalam sayur lodeh yang sudah ia siapkan sejak tadi.

"Iya, Bu. Kalau Gril lihat begini pasti langsung pulang cepat dari kantor," sahut Ngatini sambil tertawa kecil.

Di meja makan, sudah tersusun rapi beberapa piring: tempe bacem, sambal terasi, urap sayur, dan kerupuk udang yang masih renyah.

Tidak lupa, ibu juga menyeduh teh panas dalam teko besar dan menyiapkan pisang rebus sebagai pencuci mulut.

Di ruang tamu, terdengar suara kecil Pramesh yang baru bangun dari tidur sore, menangis pelan mencari ibunya.

Sri yang masih dalam masa pemulihan berusaha bangkit, namun ibu segera menghampiri dan menggendong cucunya dengan sigap.

"Sudah, Sri. Kamu istirahat saja. Pramesh biar sama Simbah," ucapnya embut, lalu mengelus rambut cucunya yang halus.

Langit semakin gelap, lampu-lampu di rumah mulai dinyalakan.

Wajah ibu dan Ngatini tampak puas melihat meja makan yang penuh dengan sajian hangat.

Dalam diam, keduanya merasa bahagia bisa kembali merawat dan menemani Sri, meskipun hanya sebentar.

Bagi mereka, ini bukan sekadar makan malam, tapi sebuah bentuk kasih sayang yang dituangkan lewat setiap sendok bumbu dan tiap butir nasi yang mereka masak dengan sepenuh hati.

Ketika pintu depan dibuka dan langkah kaki Grilyanto terdengar, senyum ibu dan kakaknya pun mengembang.

“Wah, sudah harum dari luar ya, Gril?” canda Ngatini.

Grilyanto hanya tertawa sambil mencium tangan ibunya.Ia menatap meja makan yang sudah penuh, lalu beralih memandang Sri yang duduk bersandar di bantal, tersenyum lemah namun bahagia.

“Terima kasih, Bu... Mbak… ini semua terasa seperti rumah yang penuh cinta.”

Malam itu, keluarga kecil mereka duduk mengelilingi meja makan dengan hati yang hangat, meski tubuh lelah dan beban kehidupan masih ada.

Kebersamaan menyatukan semuanya dalam sunyi yang penuh makna.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!