Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 31: Desa Uyah Gesing
Di tengah alunan suara jangkrik yang saling bersahutan, aku duduk dengan pikiran bimbang di depan layar komputer karena pertemuan bersama Michael Huang tadi sore. Pasalnya, setelah tiga puluh menit berselancar di internet, aku bisa menyimpulkan bahwa pria tua itu adalah seorang mafia.
Berbagai aksi protes pernah terjadi di seluruh penjuru Indonesia dengan tuntutan yang ditujukan kepada Michael Huang. Penyebabnya adalah pria tua itu sudah mengambil banyak lahan pertanian, perkebunan, hingga pemukiman masyarakat kecil untuk diubah menjadi sebuah resort, tempat hiburan, atau bahkan kasino. Namun, tentu saja tuntutan para warga itu sama sekali tidak ditanggapi oleh oknum pemerintah yang sudah disuap Michael Huang.
Berakar dari penemuan itu, aku yakin bahwa tanah “tak bertuan” yang ditunjukkan oleh Michael tadi adalah tanah milik masyarakat kecil yang tidak bersertifikat. Pak tua itu pasti bermaksud untuk merampas tanah tersebut, lalu mendirikan sebuah penginapan, beach club, atau kasino di sana. Dia bahkan sudah menyiapkan denah sebagai persyaratan untuk mencetak sertifikatnya. Dasar manusia setengah ular. Licik sekali kau.
Di sinilah letak kebimbangan seorang notaris berada. Di satu sisi, tentu saja aku tidak ingin membuat para masyarakat kecil jadi menderita karena tanah mereka dirampas oleh orang kaya yang rakus. Namun, di sisi lain, kode etik notaris melarangku untuk menolak client yang membutuhkan bantuan jasa seorang notaris. Aku harus memutar otak untuk mengatasi permasalahan ini.
Demi mendapatkan sebuah ide, aku sampai pergi ke kebun belakang untuk merokok di tengah gelapnya malam. Pandanganku menatap jauh menuju bulan purnama yang bersinar terang melawan kegelapan tersebut. Entah kenapa, rasanya sekarang aku sedang memohon pada Dewa Candra untuk memberikan solusi atas permasalahan ini. Tapi, aku sadar bahwa hal ini hanya dapat diselesaikan oleh kelihaian otakku dalam berpikir.
Tak cukup hanya satu batang saja, aku menyulut sebatang lagi untuk menstimulasi otakku dalam mencari solusi. Anganku melayang pada berbagai skenario yang bisa membantu para masyarakat dalam mempertahankan tanah mereka, tanpa perlu menaruh nyawaku di tangan Michael Huang. Aku bukanlah tokoh protagonis dalam cerita kepahlawanan, layaknya Aryandra dalam novel “Civil War: Bali”.
Sedikit demi sedikit, rokok itu menjadi semakin pendek, namun aku masih saja belum menemukan solusi yang efektif. Setiap strategi yang terpikirkan olehku pasti memiliki kelemahan yang membuatnya jadi kurang sempurna untuk diterapkan.
Ayolah, Nael! Kau sudah melalui banyak masalah serius selama berkarir sebagai seorang notaris! Masa masalah kecil kayak gini nggak bisa kepikiran solusinya, sih?!
“Hah… menyebalkan sekali…” Aku mengeluh dengan suara lirih, sambil melemparkan puntung rokok terakhir ke dalam bak sampah.
Karena tidak menemukan solusi yang pas, aku berencana untuk mengunjungi tanah “tak bertuan” yang diincar oleh Michael Huang besok pagi. Aku pun mengunci pintu belakang, lalu naik ke lantai dua menuju kamar tidurku yang sangat nyaman.
...***...
Sekitar pukul 6.30 pagi, aku sedang mengendarai mobil untuk menyusuri jalur pesisir pantai di Kecamatan Cakrawana. Dengan mengandalkan denah yang tertera di berkas milik Michael Huang, aku menelurusuri jalanan tersebut secara manual karena lokasi ini sama sekali tidak terdaftar dalam aplikasi Maps.
Aku sampai turun beberapa kali untuk bertanya pada pedagang lokal mengenai lokasi misterius ini. Beberapa dari mereka mengaku tidak mengetahui tempat tersebut, sementara yang lainnya hanya memberikan petunjuk yang damang.
Setelah satu jam mondar-mandir di jalan ini, aku akhirnya memutuskan untuk melipir sejenak ke sebuah warung pinggir jalan. Aku memesan kopi dan juga beberapa potong roti seharga Rp6.000 sebagai sarapan di pagi hari ini. Saat pesanan tiba, aku segera menyantapnya dengan perlahan sambil menyulut sebatang rokok. Sepertinya, intensitas merokokku menjadi semakin meningkat akibat permasalahan ini.
Dengan rokok yang masih tercantol di bibir, aku sekali lagi membuka lembaran denah tersebut untuk mengira-ngira lokasi yang ingin dituju. Saat sedang mengamati denah itu dengan saksama, sang bapak pemilik warung tiba-tiba duduk di sebelahku untuk ikut menyantap sarapannya. Aku pun menyambut pria itu dengan hangat, sambil terus mencermati lembaran denah tersebut.
“Mau ke Desa Uyah Gesing, ya, Mas?” Tiba-tiba saja, sang pemilik warung menyampaikan sebuah pertanyaan, sambil ikut melihat denah yang sedang kupegang. Desa Uyah Gesing, ya. Sepertinya bapak ini mengetahui sesuatu tentang lokasi yang ingin kutuju.
“Saya nggak tahu namanya, sih, pak. Tapi intinya saya pengen datang ke tempat yang ada tanda silangnya ini.” Jawabku sambil menunjuk tanda silang pada denah tersebut.
“Permisi sebentar, ya.” Bapak pemilik warung kemudian mengambil lembaran denah tersebut, lalu menatapnya dengan penuh ketelitian. Matanya terlihat menyipit, seolah mencermati jalanan yang tergambar dalam denah tersebut. “Iya, ini letaknya di Desa Uyah Gesing, Mas.” Ucapnya dengan penuh keyakinan.
“Bisa tolong kasih tahu saya dimana lokasinya, pak? Dari tadi saya udah mondar-mandir di jalan ini, tapi nggak nemu-nemu juga.” Aku memohon petunjuk dari bapak pemilik warung ini.
Bapak pemilik warung itu kemudian mengembalikan lembaran denah tersebut kepadaku. Dia kemudian menyulut sebatang rokok sambil menatap ke arahku. “Nggak jauh dari sini, kok, Mas. Kira-kira sekitar 4 kilometer ke arah timur, terus nanti ada sebuah jalan kecil yang ada tepat di tikungan tajam. Nah, nanti mas tinggal masuk aja ke sana.” Jelasnya sambil menunjuk ke arah matahari terbit.
“Jalan kecil tepat di tikungan tajam, ya, Pak?” Tanyaku mengkonfirmasi karena sempat melewati tikungan tajam itu saat mondar-mandir tadi.
“Ho’oh, Mas.” Jawabnya singkat, sambil menghembuskan asap rokok ke udara. “Kalau boleh tahu, Mas-nya ada urusan apa ke sana?” Tanyanya lagi sambil menyantap sepotong roti miliknya.
“Saya mau ngurus sertifikat tanah, Pak. Kebetulan saya seorang notaris.” Jawabku sambil memperkenalkan diri secara singkat.
“Oalah, kalau gitu, honornya kecil, dong, Mas. Itu tuh Desa kecil yang miskin soalnya.” Wah, itu artinya si Michael Huang ini benar-benar kapitalis, ya. Dia ingin mengeluarkan modal yang sekecil-kecilnya, namun ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
“Yah, gitu lah, Pak. Tapi, yang namanya rejeki, mau sekecil apapun kan harus kita terima, toh?” Ucapku basa-basi, sambil menyeruput kopi hitam buatannya.
“Iya, benar banget tuh, Mas.”
...***...
Setelah menyusuri jalanan sempit yang dimaksud oleh Bapak pemilik warung tadi, aku akhirnya tiba di sebuah tebing karang yang lumayan tinggi dari bibir pantai. Karena tidak menemukan jalanan lagi, aku memutuskan untuk turun dari mobil dan mengamati lingkungan sekitar.
Angin laut yang lumayan kencang seketika menghamburkan rambutku yang sudah tersisir rapi. Mataku juga sempat dibuat kelilipan karena butiran-butiran pasir yang berterbangan. Dari kejauhan, aku bisa melihat bahwa ombak sedang berdebur kencang menghantam tepian tebing lainnya.
Aku berjalan perlahan-lahan menuju sisi kanan dari tebing ini. Seketika, mataku dikejutkan oleh sebuah pemandangan desa kecil yang ada di bawah tebing ini. Lokasinya lumayan masuk ke dalam serta agak meninggi, sehingga desa tersebut tidak kena hantam oleh ombak yang besar. Di dekatku, terlihat sebuah jalan setapak yang sepertinya hanya bisa dilewati oleh sepeda motor saja.
Di sepanjang bibir pantai, aku bisa melihat berbagai perahu nelayan yang terparkir di sana. Aku juga bisa melihat aktivitas para warga yang sedang sibuk menurunkan ikan dari perahu-perahu tersebut. Sepertinya, mayoritas pekerjaan para warga desa ini adalah nelayan.
Dugaanku terkait niat jahat Michael Huang ternyata benar. Dia berniat mengubah tanah masyarakat kecil yang sepertinya tidak memiliki sertifikat ini menjadi sebuah kawasan wisata pribadi milik perusahaannya.
Dari titik ini, sepertinya aku menjadi semakin benci dengan para mafia. Soalnya, selain mereka digambarkan dengan begitu keren di film Hollywood kesukaan Felicia, para mafia ini sering kali membuat pekerjaanku sebagai seorang notaris menjadi semakin ribet. Baik itu mafia tanah, mafia hukum, mafia bisnis, semuanya sama saja!
Aku kemudian mengangkat handphone untuk mengambil foto desa terpencil ini. Saat sudah berhasil mengambil beberapa gambar, aku kemudian mengunci mobil yang terparkir di atas tebing, lalu berjalan menyusuri jalan setapak ini. Kayaknya, hal pertama yang harus kulakukan saat sudah sampai di desa ini adalah bertemu dengan pimpinan mereka untuk mendiskusikan masalah ini.