Karya Asli By Kiboy.
Araya—serta kekurangan dan perjuangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KiboyGemoy!, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Kekhawatiran seorang ibu adalah sesuatu yang merusak pikiran. Walaupun ia terkesan kasar, tapi itu adalah kebaikan anaknya.
Seperti Rasti yang menarik Araya secara kasar di belakang panggung. Ingin membawa anaknya menjauh dari pria yang tidak bertanggungjawab psdanua dulu.
Rasti hanya takut anaknya diambil walaupun sekedar kerja. Rasti tidak bisa, bagaimana jika Irdan tahu bahwa Araya adalah anaknya di saat mereka kerja sama? Araya pasti akan direbut, diambil, dan akan berpisah dengannya.
Rasti tidak melarang anaknya untuk meraih mimpi. Tapi saat mengetahui mimpi anaknya menjadi seorang dancer ia terkejut—ia takut Araya bertemu dengan pria yang menghancurkan hidupnya.
...
"Rasti!"
Irdan memanggil, suaranya menggema di balik panggung yang riuh.
Namun, Rasti tidak menggubris. Ia terus menarik tangan Araya, paksa. Rifan, Ruby, Lala, dan Raisa langsung mengejar mereka.
"Tante, acara masih berlangsung!" ucap Raisa berusaha menghadang langkah Rasti.
"Benar, Tante! Semua latihan Araya selama ini akan sia-sia kalau dia pergi sekarang!" tambah Ruby, cemas.
Namun Rasti tetap kukuh. Tangannya menggenggam Araya semakin erat.
"Ma, apa yang Mama lakukan? Lepaskan! Araya ingin menyelesaikan acara ini!" protes Araya, berusaha melepaskan diri.
Rasti berhenti sejenak. Tatapannya tajam, suaranya mengguncang:
"Dengarkan apa yang Mama katakan, Araya!"
Seketika, suasana menjadi hening. Di luar, sorak penonton masih terdengar—tapi di ruang sempit itu, waktu seolah berhenti.
"Rasti," suara Irdan kembali terdengar, lebih dekat. Ada nada memohon di dalamnya.
Setetes air mata mengalir di pipi Rasti. Araya bisa merasakan tangan ibunya bergetar. Meski wajahnya dingin, tubuhnya penuh kecemasan.
"Ayo, pulang!" tekan Rasti, lirih namun pasti.
Irdan tidak tinggal diam. Ia segera mengejar mereka. Melihat itu, langkah Rasti semakin cepat. Ia tahu, jika Irdan berhasil menyusul, semuanya akan berubah.
Rifan dan ketiga teman Araya berlari mengejar. Suasana semakin kacau.
"Ma, Mama kenal Pak Irdan?" tanya Araya di sela napasnya yang ngos-ngosan.
"Ya. Dia pria yang kejam," jawab Rasti dengan suara tercekat.
"Tapi dia baik, Ma..." sanggah Araya, bingung.
"Menurutmu mungkin begitu. Tapi menurut Mama—dia penjahat!" tegas Rasti, suaranya bergetar oleh luka lama.
"Rasti!"
Irdan akhirnya berhasil menggenggam tangan wanita itu. Gerakan Rasti terhenti.
Dengan kasar, ia menepis tangan Irdan.
"Lepas!" teriaknya.
Irdan menarik napas dengan kepala sedikit mendongak, menghirup udara ke dalam tubuhnya.
Dada Rasti sudah naik turun, air matanya terus mengalir tanpa henti.
Araya yang merasakan getaran hebat dari tangan ibunya merasa khawatir. "Ma, ada apa?" tanya-Nya.
Irdan melirik ke arah Araya lalu ke Arah Rasti yang sudah menatapnha penuh dendam. "Rasti, apa dia anakku?"
Rasti terengah, ia berusaha melepaskan tangannya dari Irdan.
"Pak Irdan, tolong lepasin tangan Mama," protes Araya oada Irdan, melinat ibunya tidak nyaman ia membuka suara.
"Aku tidak akan melepaskan tangan Ibumu," ucap Irdan terdengar egois.
Araya tidak suka dengan jwaban itu, ia sedikit maju dengan tatapan tajam. "Anda siapa, hah?! Lepaskan tangan Mama saya!" Gadis itu menarik tangan Rasti agar terlepas dari Irdan.
"Rasti, apa kamu akan terus menatap saya seprti itu, hmm?"
Araya melirik ke arah Rasti, wanita itu terus meneteskan air mata dengan napas yang memburu.
Araya memukul lengan Irdan karena tidak ingin melepas tangan Rasti. "Psk Irdan, lepas! Lepasin tangan Mama saya!" Berontaknya.
Sedangkan di lain Arah, teman-teman Araya mengeutkan kening melihat aksi yang Irdan lakukan.
"Rasti, jawab!" Tiba-tiba saja nada bicara pemuda itu meninggi membuat Araya berhenti memukulnya. Araya meraih kera baju Irdan lalu mengguncangnya.
"Pak Irdan, ada apa dengan bapak?! Kenapa Bapak membentak Mama saya?!" teriaknya.
Rasti menarik Araya agar gadis itu menjauh. "S-setelah sekian lamanya akhirnya kita bertemu lagi." Suara Rasti bergetar, menahan sesak.
"Tapi kita sudah tidak memiliki hubungan. J-jadi lepaskan tanganku," ucap Rasti, tangan satunya berusaha membuka genggaman Irdan yang semain erat.
"Rasti, sekali aku akan bertanya padamu. Apakah dia adalah anakku?" tanya Irdan serius.
Rasti menggeleng, wanita itu menggigit bibir bawahnya kuat. Masih bersikeras membuka genggaman Irdan
"Dia anakku kan?!"
Araya yang berada di tengah-tengah mereka merasa bingung dan tidak mengerti apa yang Irdan katakan. Araya adalah anaknya? Bukankah itu sedikit ngaur.
Rasti menatap tajam pria itu. "Tidak! Dia bukan anakmu!"
"Jangan bohong, Rasti!"
"Lalu apa, huh?! Apa kamu lupa dengan kelakuanmu di masa lalu, huh?"
Dada Irdan tiba-tiba saja bergetar dan berdegup dengan kencang seakan pikirannya terbang ke masa lalu.
"Pak Irdan, mengatakan bahwa Araya adalah anaknya? Apa aku tidak salah dengar?" Heboh Lala.
"Kelihatannya benar. Tante Rasti terlihat sangat mengenalnya," timpal Ruby.
"Bagaimanapun kalian semua harus diam di sini, jangan berani-berani ikut campur." Ruby dan Lala mengangguk.
Raisa melirik ke arah Rifan. "Rifan apa kau dengar?"
Rifan mengangguk pelan.
"A-aku minta maaf..."
"Lepas!" teriak Rasti ingin tangannya di lepas.
"Rasti, maafkan aku. Aku menyesal telah melaukan hal itu, dan aku..."
Plak!
Dada wanita itu bergemuruh hebat. Napasnya mulai tercekat, seperti ada beban besar yang menghimpit paru-parunya. Ketakutan terbesar Rasti perlahan menjadi nyata—ia takut Irdan mengatakan semuanya, mengungkap kebenaran di hadapan Araya... dan di hadapan dunia.
Kebenaran bahwa Araya adalah anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan.
Anak haram.
Dan itu akan menghancurkan gadis itu.
“D-dia bukan anakmu,” ucap Rasti dengan suara gemetar, namun tegas.
Genggaman tangan Irdan melemah. Rasti segera menarik tangannya. Ia menggenggam Araya dan menyeretnya pergi dari sana secepat mungkin.
“Ma, kenapa Pak Irdan berkata seperti itu? Apa benar... dia Ayahku?” tanya Araya dengan suara lirih, hampir tak terdengar, namun penuh harap dan bingung.
“Bukan! Dia bukan Ayahmu!” teriak Rasti, tepat di depan wajah Araya.
Araya terkejut. Tubuhnya kaku, suaranya hilang. Ia memilih diam, meski pikirannya bergemuruh.
Namun langkah mereka kembali terhenti saat suara lantang itu menggema di udara:
“RASTI!!! SAYA BENAR-BENAR MENYESAL! SAYA MENYESAL TELAH MENGABAIKAN TANGGUNG JAWAB SAAT KAU MENGANDUNG!”
Langkah Rasti terhenti mendadak. Mata wanita itu terbelalak, napasnya terhenti sesaat.
Araya, yang berjalan dalam kebingungan, ikut tersentak. Suara Irdan memukul batinnya seperti palu godam.
"Apa Araya tidak salah dengar?" pikirnya. Ia ingin menoleh, ingin melihat wajah pria itu lagi... tapi—
Rasti semakin kuat menggenggam tangannya. Lebih erat dari sebelumnya. Ia menarik Araya untuk menyeberang jalan.
Namun...
BRUGH!
Suara hantaman keras menghentikan segalanya.
Waktu seolah membeku. Seluruh mata yang melihat membelalak. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terlalu cepat datang.
Tubuh Rasti dan Araya terpental. Udara dipenuhi suara jeritan, bunyi rem mendecit, dan dentuman logam yang bergetar. Darah mereka mengalir deras di aspal jalanan yang hitam.
Rifan, Ruby, Raisa, dan Lala yang melihat kejadian itu tak mampu bergerak. Getaran di tubuh mereka seperti menghancurkan detak jantung masing-masing. Seolah dunia runtuh tepat di depan mata mereka.