NovelToon NovelToon
Cerita Kita

Cerita Kita

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Idola sekolah
Popularitas:784
Nilai: 5
Nama Author: cilicilian

kisah cinta anak remaja yang penuh dengan kejutan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyesalan

Pagi harinya, Dara sudah mengenakan seragam sekolahnya. Namun, mata Dara masih sembab, menunjukkan bahwa ia telah menangis semalaman tanpa henti. Lingkaran hitam di bawah matanya begitu jelas, mencerminkan betapa lelahnya ia secara fisik dan emosional. Jejak air mata masih terlihat di pipinya yang pucat.

Dara berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lelah dan sedih. Ia menatap matanya yang sembab dan merah. Bayangan gelap di bawah matanya tampak jelas. Ia mencoba untuk tersenyum, namun senyum itu terlihat paksa dan tidak alami.

Dara menghela napas panjang, menatap bayangannya di cermin. "Mata gue sembab banget…" gumamnya, suaranya terdengar letih, menunjukkan betapa lelahnya ia secara fisik dan emosional.

Dara menyentuh lembut matanya yang masih terasa perih. Ia juga mencoba untuk merias wajahnya dengan sedikit bedak dan lipstik, mencoba untuk menutupi bekas-bekas tangisnya. Namun, ia tahu bahwa itu hanya penutup yang sementara.

"Nggak papa Ra, kaya gini aja udah cukup," ucapnya menguatkan diri setelah merias wajahnya.

Kesedihan yang ia rasakan akan tetap ada, meskipun wajahnya sudah terlihat lebih baik. Ia membayangkan bagaimana penampilannya di sekolah nanti. Ia merasa malu dan tidak percaya diri. Ia ingin sekali menghilangkan semua bekas tangis di wajahnya bukan karena make up, tapi ia tahu itu tidak akan mudah.

Ia hanya bisa berharap teman-temannya tidak akan menyadari keadaannya. Hari ini, dirinya harus tetap bersekolah. Ia harus tetap kuat. Ia harus menghadapi hari ini, meski hatinya masih dipenuhi oleh rasa sakit dan kekecewaan.

Bagaimanapun Dara harus menjalani hari-harinya seperti biasa, walaupun hatinya masih terluka. Dan berharap, hari ini akan menjadi hari yang lebih baik. Ia berharap, ia bisa melewati hari ini dengan tenang. Ia berharap, ia bisa kembali ceria seperti dulu. Ia harus tetap kuat, untuk dirinya sendiri.

Dengan langkah yang teguh, meski di dalam hatinya masih bergejolak, Dara keluar dari kamarnya. Ia telah bersiap untuk pergi ke sekolah, mencoba untuk bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Satu per satu anak tangga ia turuni, dengan langkah yang pasti, menunjukkan tekadnya untuk tetap menjalani hari itu. Namun, di tengah perjalanan, pandangannya menangkap sosok kedua orang tuanya di ruang tamu. Mereka duduk di sofa, menatap ke arah tangga, menunggu kedatangannya.

Tatapan kedua orang tuanya membuat Dara berhenti sejenak. Ia merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Kenangan akan tamparan ibunya tadi malam masih begitu terasa di pipinya, membuatnya semakin tidak nyaman.

Ia berusaha untuk memasang wajah datar, sangat datar, mencoba untuk menyembunyikan semua rasa sakit dan kekecewaan yang tengah dirasakannya. Ia enggan untuk menatap kedua orang tuanya, terutama ibunya.

Namun, di balik sikapnya yang itu, tersimpan luka yang dalam dan kesedihan yang mendalam. Ia ingin menghindari percakapan dengan ibu dan ayah, terutama dengan ibunya. Ia tidak ingin mengingat kembali peristiwa semalam.

"Ra… makan dulu, ya… Kita makan sama-sama" Suara ibunya terdengar sangat lembut, jauh berbeda dari nada bicaranya tadi malam.

Kelembutan itu membuat Dara terkejut. Ia tidak menyangka orang tuanya akan mengajaknya makan bersama, terutama setelah kejadian tadi malam. Ini adalah hal yang selama ini ia harapkan, suatu bentuk perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.

Namun, bukan sekarang. Hati Dara masih dipenuhi oleh rasa sakit dan kekecewaan. Ia belum siap untuk makan bersama orang tuanya, terutama ibunya. Kenangan akan tamparan ibunya masih begitu terasa di pipinya, membuatnya enggan untuk berdekatan dengan ibunya.

Dara terdiam, tidak menjawab ajakan ibunya. Ia memasang wajah datar, sangat datar, mencoba untuk menyembunyikan semua perasaannya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang tuanya. Ia masih menyimpan rasa sakit dan marah yang mendalam. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana ibunya menamparnya tadi malam.

Sentuhan tangan ibunya yang penuh amarah itu masih terasa perih di pipinya. Ia tidak bisa memaafkan ibunya begitu saja. Ia membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka batinnya.

Dara menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Ia memberanikan diri untuk menatap ibunya, menunjukkan bahwa ia ingin berbicara. "Kenapa baru sekarang Mamah ngajak aku makan bersama?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit bergetar, menunjukkan bahwa ia masih menyimpan rasa sakit dan kekecewaan. Pertanyaan itu keluar dari lubuk hatinya yang terdalam, pertanyaan yang telah lama terpendam.

Ibunya terdiam, tatapan matanya berkaca-kaca. Ia merasa bersalah, menyesali semua kesalahannya selama ini. Ia tahu, ia telah lalai terhadap Dara. Ia telah melupakan kebutuhan Dara akan perhatian dan kasih sayang.

Dara terus berbicara, suaranya sedikit tertahan karena menahan tangis. "Mamah… Mamah nggak inget waktu Dara minta Mamah sama Papah buat nemenin aku makan? Padahal itu nggak ada satu jam… tapi kalian nggak pernah mau…" Dara melanjutkan, suaranya mulai terisak, menunjukkan bahwa ia tidak mampu menahan kesedihannya lagi.

Ia mengingat semua saat-saat di mana ia meminta perhatian dari orang tuanya, namun selalu ditolak. Ia merasa sangat sedih dan kecewa. Air mata mulai mengalir di pipinya.

"Tapi kenapa baru sekarang kalian minta Dara buat makan bareng, Mah?" Dara bertanya lagi, suaranya semakin lirih, menunjukkan rasa sakit hati yang mendalam.

Ia merasa tidak dihargai, tidak diperhatikan, dan tidak dicintai. Ia merasa kesepian dan terabaikan. Ia ingin orang tuanya menyadari kesalahannya, menyadari betapa mereka telah melukai hatinya. Ia ingin orang tuanya berubah, menjadi orang tua yang lebih baik. Ia ingin mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Ia ingin merasa dicintai dan dihargai.

"Bisa nggak sih Mah, Pah luangkan waktu sehari aja buat aku? Meskipun aku sudah besar aku juga tetep butuh perhatian dari kalian!" Dara berbicara dengan suara yang gemetar, namun tetap tegas.

Kalimat-kalimat itu keluar dari lubuk hatinya yang dalam, menunjukkan perasaan kecewa dan sakit hati yang sudah lama ia pendam. Ia ingin merasakan kehangatan keluarga yang selama ini ia rindukan, perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.

Keheningan menyelimuti ruangan. Kedua orang tuanya terdiam membisu, mendengarkan keluhan Dara yang selama ini mereka abaikan. Terutama ibunya, air mata sudah mengalir di pipinya. Ia merasakan sesal yang mendalam. Ia tidak menyangka bahwa Dara, anaknya mengalami kesedihan sebesar ini. Rasa bersalah kini menyelimuti hatinya. Ia bahkan sangat menyesali kesalahan dan kekurangannya sebagai orang tua.

Dara melanjutkan ceritanya, suaranya menunjukkan kekecewaan dan rasa sakit hati. "Aku mengerti kalian kerja banting tulang, siang malam buat aku agar aku hidup yang layak, tapi apakah kalian memikirkan perasan aku yang harus tinggal sendirian di rumah ini tanpa perhatian dan kasih sayang dari kalian?" Dara melanjutkan, suaranya sedikit terisak. Ia mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Ia merasa kesepian dan terabaikan, meski secara materi ia hidup berkecukupan.

"Bohong kalau aku nggak menikmati kekayaan ini mah, aku bahkan sangat menikmati tetapi aku tidak pernah menikmati kasih sayang dari kalian," Dara berkata dengan suara yang hampir tak terdengar, menunjukkan betapa dalam luka di hatinya. Ia menyadari bahwa kekayaan materi tidak bisa menggantikan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.

Dara meninggalkan rumah dengan air mata yang bercucuran dan hati yang terluka. Ia meninggalkan orang tuanya yang tengah terpukul, menyesali semua kesalahan yang telah mereka perbuat.

Ibunya terduduk lemas di lantai, memandang kepergian Dara. Ia tidak mampu mencegah Dara pergi, tidak mampu menghentikan langkah kaki Dara yang meninggalkan rumah. Rasa sesal dan penyesalan begitu besar memenuhi hatinya. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu yang baik bagi Dara.

"Dara… maafin Mamah, Ra… Mamah memang nggak becus sebagai ibu…" ujarnya, suaranya terisak, menunjukkan betapa dalamnya penyesalan yang ia rasakan.

Air mata mengalir deras di pipinya, menunjukkan betapa hancurnya hatinya. Ia menyesali semua kesalahannya, menyesali semua waktu yang telah ia sia-siakan. Ia menyadari bahwa ia telah melupakan hal terpenting dalam hidupnya, kasih sayang dan perhatian untuk anaknya.

Suaminya menghampiri, menempatkan tangannya di pundak istrinya. Ia merasakan kesedihan istrinya, memahami betapa hancurnya hati istrinya. "Mah… ini salah kita yang membuat Dara seperti ini…" ujarnya, suaranya terdengar berat, menunjukkan betapa menyesalnya ia.

Ia menyadari bahwa mereka berdua telah membuat kesalahan yang besar. Mereka telah lalai terhadap kebutuhan Dara akan kasih sayang dan perhatian. Mereka telah terlalu fokus pada pekerjaan dan materi, hingga melupakan hal yang paling berharga, yaitu keluarga.

Mereka harus bertanggung jawab atas semua ini. Mereka harus memperbaiki kesalahannya, mereka harus berjuang untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan kasih sayang Dara. Jalan yang harus mereka tempuh masih panjang dan berat.

Mereka harus belajar menjadi orang tua yang lebih baik, orang tua yang lebih peka terhadap perasaan anak mereka. Mereka harus menunjukkan pada Dara bahwa mereka menyayangi Dara, bahwa mereka menyesal atas semua kesalahan yang telah mereka perbuat. Keheningan menyelimuti mereka, hanya isak tangis sang ibu yang memecah kesunyian. Mereka menyadari bahwa perjalanan untuk memperbaiki hubungan dengan Dara masih panjang dan penuh tantangan. Mereka harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan kasih sayang Dara.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!