Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nenekku pahlawanku
Nenek Marwah sangat terpukul dengan kejadian sore itu. Ia tak habis pikir betapa kerasnya Aida, sang menantu yang kukuh ingin menjodohkan Silla dengan seorang duda kaya pilihannya.
Sebagai seorang nenek yang merawat Silla sejak kecil, hatinya merasa sangat sakit dan terpukul.
Nenek Marwah kehilangan kesadaran, beruntung pak Burhan, ayahnya Silla datang tepat waktu dan segera membawa nenek Marwah ke rumah sakit.
Pak Burhan memandang Aida dengan mata yang penuh dengan kemarahan. "Apa yang kamu lakukan, Aida? Kamu tidak peduli dengan perasaan ibu dan Silla?" dia bertanya, suaranya keras.
Aida berdiri tegak, tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Silla, Burhan. Aku ingin dia menikah dengan seseorang yang bisa memberinya kehidupan yang baik."
Pak Burhan menggelengkan kepala. "Dengan cara memaksakan keinginanmu seperti itu? Tanpa mempertimbangkan perasaan Silla dan ibu?"
Aida menyilangkan tangan. "Aku tahu apa yang aku lakukan, Burhan. Aku tidak perlu penjelasan darimu."
Pak Burhan semakin marah. "Kamu tidak peduli dengan keluarga ini, Aida. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri dan keinginanmu."
Aida memandang Pak Burhan dengan mata yang dingin. "Aku melakukan ini semua untuk kebaikan Silla, Burhan. Kamu tidak mengerti."
Pak Burhan tidak bisa menahan diri lagi. "Kebaikan? Kamu menyebut itu kebaikan? Ibu hampir pingsan karena ulahmu!"
"Jadi aku yang salah? Lalu kamu?" Bu Aida meninggikan suaranya. "Jika bukan karenaku, rumah itu akan tetap reyot sampai sekarang, Burhan! Ingat itu ... dan aku tak ingin Silla salah memilih pria seperti yang kulakukan dulu terhadapmu!"
Pak Burhan terkejut dengan kalimat terakhir Bu Aida, matanya membesar karena teringat masa lalu. "Jadi, ini tentang aku? Tentang kesalahanmu di masa lalu?" Pak Burhan merendahkan nada bicaranya.
Bu Aida mengangguk, mata yang penuh dengan penyesalan dan keteguhan. "Ya, Burhan. Aku tidak ingin Silla mengalami hal yang sama seperti aku. Aku ingin dia memiliki kehidupan yang lebih baik."
Pak Burhan memandang Bu Aida dengan mata yang kompleks, campuran antara kemarahan dan kepedulian. "Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, Aida. Tapi yang jelas, cara yang kamu lakukan ini tidak tepat."
Bu Aida tidak menjawab, dia hanya memandang Pak Burhan dengan mata yang penuh dengan tekad. "Aku akan terus melakukan apa yang aku pikir benar untuk Silla, Burhan. Meskipun itu berarti melawanmu."
Silla berdiri di antara Pak Burhan dan Bu Aida, air matanya mengalir deras saat dia melihat keadaan neneknya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Aku mohon, kalian berhentilah bertengkar," ucapnya lirih, suaranya terguncang oleh tangisan.
Pak Burhan dan Bu Aida terkejut, mereka saling memandang sebelum akhirnya memalingkan pandangan ke Silla. Pak Burhan mengambil langkah maju, berusaha menenangkan Silla. "Silla, tenanglah, Nak. Kami tidak ingin membuatmu sedih."
Bu Aida juga mendekati Silla, tapi Silla mundur, tidak ingin dia menyentuhnya. "Jangan, Mah. Nenek yang paling terpukul di sini. Apa kalian tidak malu bertengkar di depannya?" Silla kembali menangis, merasa sedih dan kecewa dengan pertengkaran orang tuanya.
Kemudian dokter mendekati keluarga itu, dan menjelaskan kondisi nenek Marwah yang tak bisa diabaikan.
Dokter mendekati keluarga itu dengan wajah yang serius. "Saya perlu berbicara dengan Anda semua tentang kondisi Nenek Marwah," dia memulai. "Berdasarkan hasil pemeriksaan, Nenek Marwah menderita gejala struk ringan."
Pak Burhan, Bu Aida, dan Silla saling memandang, khawatir. "Apa itu artinya, Dok?" Pak Burhan bertanya.
Dokter itu kembali menjelaskan, "Struk ringan dapat disebabkan oleh tekanan darah tinggi, stres, atau faktor lainnya. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya."
Silla menangis lagi, merasa takut kehilangan neneknya. "Apa yang bisa kami lakukan untuk membantu Nenek saya, Dok?"
Dokter memberikan instruksi, "Untuk sekarang, kami akan merawat Nenek Marwah di rumah sakit. Kami juga akan memberikan pengobatan untuk mengurangi gejala struk."
Silla berdiri dengan mata yang merah dan wajah yang tegang, menatap ibunya dengan penuh kekecewaan dan kemarahan. "Semua ini karena Mamah," ucapnya, suaranya bergetar karena emosi. "Mamah yang memulai semua ini dengan memaksakan keinginan Mamah tanpa memikirkan perasaan Nenek dan aku."
Silla semakin marah, air matanya mengalir deras. "Aku tidak akan memaafkan Mamah jika sampai Nenek kenapa-kenapa! Mamah harus bertanggung jawab atas apa yang telah Mamah lakukan!"
Bu Aida terkejut dengan reaksi Silla, dia tidak siap untuk menghadapi kemarahan putrinya yang begitu besar. Dia mencoba untuk mendekati Silla, tapi Silla mundur, tidak ingin mendengar apa pun dari ibunya saat ini.
Pak Burhan menepuk punggung Bu Aida dengan lembut, gestur yang mencoba menenangkan situasi. Namun, di balik tindakan itu, Pak Burhan menyimpan perasaan yang kompleks. Dia merasa bersalah atas masa lalu yang sulit, ketika kondisi ekonomi keluarga mereka tidak menentu, dan dia tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Aida dan anak-anak mereka.
Tapi di sisi lain, Pak Burhan juga merasa kecewa dengan sikap keras Aida yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain dan memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan keluarga. Dia berharap Aida bisa lebih memahami dan empati terhadap Silla dan ibunya, Nenek Marwah.
Pak Burhan menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang bercampur aduk di dalam hatinya. Dia tahu bahwa situasi ini membutuhkan ketenangan dan kebijaksanaan untuk menyelesaikannya.
"Melihat kemarahan Silla, aku rasa kamu sudah mengatakan tentang perjodohan itu ... dan lihatlah hasilnya ...." Pak Burhan menjeda ucapannya, ia sangat berhati-hati memilih kata, tak ingin pertengkaran semakin keruh.
"Silla masih terlalu kecil untuk dipaksa menikah, biarkan dia menikmati masa mudanya, aku yakin putri kita tak akan menjadi gadis bodoh. Dia juga sedang menikmati pekerjaannya sekarang kan?"
Pak Burhan melanjutkan dengan nada yang lembut dan hati-hati, "Aku rasa sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali rencana perjodohan itu. Silla masih muda dan memiliki masa depan yang cerah di depannya. Aku yakin dia bisa membuat keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri."
Dia memandang Bu Aida dengan mata yang penuh pengertian, "Kita tidak ingin memaksakan sesuatu yang belum tentu baik untuk Silla. Biarkan dia menikmati masa mudanya, dan kita bisa mendukungnya dalam setiap langkah yang dia ambil."
Pak Burhan berharap dengan pendekatan yang lembut ini, Bu Aida bisa memahami pandangannya dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya.
...****************...
Bersambung