"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Sadewa melangkah keluar dari pintu utama supermarket sambil map hasil pertemuannya dengan pihak manajemen. Dia langsung mencari keberadaan Syifa tapi Syifa tidak ada di bangkunya.
Alis Sadewa mengerut. Dia melangkah cepat ke arah bangku itu. Jantungnya sudah berdetak tak beraturan. Di lantai, dia melihat tablet milik Syifa tergeletak dan layar kacanya retak. Sadewa segera mengambilnya dan menatap layar yang kini mati. Perasaannya langsung diselimuti kekhawatiran.
“Syifa?” panggil Sadewa mencari Syifa.
Sadewa semakin panik. Dia berlari ke area parkir, tempat sopir pribadinya menunggu di mobil. “Kamu lihat Syifa? Dia kemana?” tanyanya cepat.
“Maaf, Tuan. Saya tidak melihat Bu Syifa keluar,” jawab sopir itu.
Sadewa mengembuskan napas panjang dan berat, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia menekan nomor Syifa dengan tangan gemetar. Tak lama, suara operator terdengar: Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Dia hubungi lewat whatsapp jiga tidak terhubung.
Dadanya seolah diremas sesuatu. Dia segera berbalik, kembali masuk ke dalam supermarket dengan langkah panjang. Keringat dingin mulai menetes di pelipisnya.
Begitu sampai di bagian keamanan, dia menghampiri penjaga.
“Aku mau lihat rekaman CCTV hari ini. Sekarang juga. Istriku sepertinya diculik.”
“Istri Pak Dewa?” Petugas itu terkejut, tapi langsung bergerak. Dia membuka rekaman dari kamera-kamera yang mengarah ke pintu depan dan area luar supermarket.
Sadewa mencondongkan tubuhnya ke layar. Detik-detik berganti. Orang-orang berlalu lalang. Lalu…
“Berhenti!” serunya.
Gambar di layar menunjukkan Syifa duduk di bangku, kemudian tiba-tiba seorang yang mengenakan penutup wajah membekap wajah Syifa, menariknya dari bangku, dan menyeret tubuhnya menuju sebuah mobil jeep hitam yang parkir hanya beberapa meter dari lokasi.
Sadewa mengepalkan tangannya dengan rahang yang mengeras. “Zoom nomor plat-nya.”
Petugas memperbesar tampilan hingga nomor kendaraan terbaca jelas.
Sadewa mengambil foto langsung dari layar menggunakan ponselnya. “Simpan potongan rekaman ini dan kirim ke HP-ku. Sekarang.”
“Siap, Pak!”
Segera setelah itu, Sadewa keluar dari ruang keamanan sambil menekan nomor Hendri.
“Hendri, cek nomor plat dari foto yang aku kirim barusan. Syifa diculik. Lacak mobil itu. Aku mau laporan setiap lima menit. Jangan sampai kehilangan jejak!”
“Siap, Pak. Saya langsung kerahkan tim.”
Kemudian Sadewa berjalan cepat menuju mobilnya. Begitu duduk di kursi pengemudi, dia langsung menyalakan mesin dan menghubungi Nayara.
Begitu sambungan terhubung, suara Nayara terdengar di seberang.
“Halo?”
“Kak Naya, Syifa diculik,” katanya tanpa basa-basi. Suaranya berat dan penuh emosi. “Ini bukan ulah Kakak, kan?”
“Sadewa... buat apa aku menculik istri kamu?”
“Karena hanya beberapa orang yang tahu dia istriku.”
“Musuh-musuhmu pasti jauh lebih pintar dari yang kamu kira. Mata-mata mereka bisa mencium kelemahan dari jauh. Dan aku sudah bilang dari awal, menikahi wanita biasa yang lemah hanya akan membuka celah.”
Sadewa semakin emosi. “Aku yang gagal menjaganya."
“Iya, bagaimanapun juga, dia bukan bagian dari dunia kita. Wanita seperti dia bisa jadi korban dengan mudah.”
“Aku akan menemukannya sendiri.”
Setelah menutup telepon, dia segera mengirim pesan pada semua anak buahnya.
“Istriku telah diculik. Kalian cari sampai dapat. Aku kirim fotonya. Sebarkan ke semuanya."
Pesan itu terkirim dan langsung terbaca oleh puluhan anak buahnya.
"Aku pasti akan menemukanmu."
***
Di dalam ruang kerjanya yang remang, Sadewa duduk membungkuk di depan meja, menatap layar ponselnya yang sudah belasan kali dia cek.
“Tuan," Hendri masuk ke dalam ruangan Sadewa
Sadewa mendongak. Mata pria itu tampak merah dan letih. Bajunya masih sama seperti siang tadi hingga tengah malam hari itu.
“Kami sudah lacak semua CCTV di sepanjang jalur keluar kota. Mobil jeep itu ditemukan di perbatasan barat kota sekitar pukul 17.00 dan sudah ditinggalkan.”
“Ditinggalkan?” ulang Sadewa.
“Iya, Tuan. Dan setelah dicek oleh tim forensik, nomor platnya palsu. Kendaraan itu juga sudah dilucuti identitasnya—nomor mesin sekaligus nomor rangka. Sampai saat ini, mereka masih mencari sampai ke luar kota."
Sadewa mengusap wajahnya yang kusut dengan tangannya. Dia menarik napas panjang, lalu bangkit dari kursinya. Dia berjalan menuju jendela kaca yang besar, menatap kelam malam di luar sana. Hatinya gelisah, pikirannya tak berhenti memutar kemungkinan terburuk.
"Besok pagi, adakan konferensi pers. Syifa harus segera ditemukan."
***
"Arlan, aku mau pulang!" Syifa membuka pintu kamar yang ditempatinya tapi Arlan menahannya. Meskipun Arlan tidak menyakitinya tapi dia tidak mungkin terus berdiam diri.
"Tidak! Kamu di sini saja bersamaku."
Syifa menepis tangan Arlan yang terus menahan lengannya. Dia sudah lelah sedari tadi memberontak dan bernegosiasi dengan Arlan. "Sebenarnya apa mau kamu?"
"Aku ingin menghancurkan Dewa," kata Arlan sambil tersenyum miring. Dia duduk di sofa yang berada di kamar itu dan terus menatap Syifa.
"Kamu tidak akan bisa menghancurkannya!"
"Aku tidak mungkin menyakitimu, maka dari itu, ceraikan dia dan menikah denganku. Aku akan menuruti apapun yang kamu mau. Termasuk ... tidak lagi balas dendam dengan Dewa. Bagaimana?"
kan pengen doubel bab gitu😊😊😊
semoga saling percaya dan saling menjaga... pondasi yang utama...