seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
restoran bayangan
Di depan teras rumah yang diterangi lampu-lampu lembut, malam itu Merlin dan Dika duduk santai sambil menikmati suasana setelah menyantap sepiring bakso hangat yang dipesan lewat ojek online. Aroma kaldu gurih dan segarnya daun bawang masih terasa samar di udara, menambah keakraban di antara mereka.
“Sumpah, bakso ini juara, Mas! Rasanya kayak bikin semua masalah hilang sejenak,” ujar Merlin sambil menyuap bakso dari mangkuk kecil di tangannya.
Dika tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Iya, Aina. Lagipula, di balik segala intrik dan misi berat kita, ada momen sederhana kayak gini yang bikin hidup tetap manis. Aku setuju deh, bakso ini obat penawar lelah.”
Mereka saling bertukar pandang penuh canda. Merlin menyandarkan punggungnya. Merlin diam sejenak sepertinya dia ingat sesuatu yang mengganjal pikirannya
"Aku heran, Mas," ucapnya dengan nada bercampur tawa dan keheranan, "pesta pernikahan kita ada-ada aja orang yang tidak dikenal, tiba-tiba bayar segala biaya penyelenggaraan. Mulai dari hotel, paket pelaminan, segala macem… kayaknya ada yang sangat mau bikin acara kita meriah."
Dika menatapnya sambil menyipitkan mata, tersenyum geli. "Nah, kalau kamu mikir itu mungkin karena tabungan gojekku udah sampe milyaran, Aina, kamu pasti mikir ulang deh."
Merlin menggeleng sambil mengingat kembali momen-momen aneh semasa persiapan pernikahan mereka—undangan misterius, transfer sejumlah besar dana ke rekening penyelenggara, hingga kerumitan administrasi yang tiba-tiba jadi lancar tanpa hambatan.
"Entah, Mas. Tapi aku penasaran. Mungkin ada maksud tersembunyi di balik semua itu. Kebetulan, di tengah segala kejutan dan rahasia yang sudah kita lalui, aku merasa ada sesuatu yang belum tuntas terkait kasus dan jaringan itu."
Dika menatap Merlin serius. "Aina, aku selalu percaya kita punya tujuan lebih besar di balik semua ini. Pesta pernikahan kita hanyalah salah satu bagian dari rencana. Mungkin ada seseorang atau sekelompok orang yang ingin memastikan bahwa kita tetap bersatu dan dalam keadaan siap menjalankan misi kita."
Merlin tersenyum sambil menggenggam tangan Dika, "Aku gak mau ada lagi misteri yang mengancam kita, Mas. Aku mau semuanya transparan dan kita tahu persis siapa yang ada di belakang semua ini. Soalnya, aku gak ingin kehilanganmu seperti kehilangan orang-orang yang pernah kita punya di masa lalu."
Dika berdiri di depan bangunan kecil yang baru direnovasi, tampak sederhana namun mengundang selera. Papan nama terpampang dengan huruf tebal: "Rasa Bahari", sebuah restoran seafood yang tak mencolok, dirancang khusus agar identitas aslinya sebagai agen rahasia tetap tersembunyi.
Di pagi hari pembukaan, angin laut menyapa lembut dan aroma garam bercampur harum bumbu-bumbu khas dapur Dika memenuhi udara. Seluruh masyarakat dari berbagai penjuru kota diundang secara cuma-cuma untuk menikmati santapan, sebagai bentuk apresiasi kepada komunitas yang selalu mendukung satu sama lain.
Suasana di dalam restoran pun begitu hidup. Meja-meja kayu yang diatur rapi, dihiasi bunga segar, dan lampu-lampu gantung yang redup menciptakan suasana hangat. Senyum lebar tamu yang datang mengiringi sambutan ramah dari para pegawai yang tersenyum penuh kegembiraan.
Dika sendiri tidak banyak bicara di depan umum. Ia lebih memilih mengawasi dari balik dapur terbuka, memastikan setiap hidangan keluar dengan sempurna. Di balik apron putihnya, tersimpan rahasia bahwa semua pekerjaan dan kesibukannya selama ini bukan hanya soal memasak; itu adalah bagian dari misinya sebagai agen yang menyusup ke dunia kriminal, di mana ketelitian dan kehati-hatian adalah kunci untuk menjaga keseimbangan.
Di sela-sela keramaian, sesekali Dika terlihat berbaur di antara para tamu, tersenyum dan memberikan sapaan hangat. Bagi masyarakat, restoran ini adalah bukti nyata bahwa Dika adalah sosok yang peduli—seorang pelaku usaha yang selalu hadir dalam suka dan duka bersama mereka. Namun, hanya sedikit yang tahu bahwa di balik senyum ramahnya, tersimpan jaringan rahasia dan misi penting yang harus diselesaikan di dunia yang jauh lebih gelap.
Malam itu, di antara tawa riang dan hidangan lezat, Dika merasa bahwa meski jalan hidupnya berliku, ia telah menemukan satu oasis kedamaian. Sebuah tempat di mana masyarakat berkumpul, menikmati hasil kerja keras, dan bersama-sama menatap fajar baru dengan harapan.
Di balik hiruk-pikuk restoran seafood sederhana, Aina tak hanya menjadi pendamping yang selalu hadir di sisi suaminya—ia menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi Dika. Setiap pagi, sebelum restoran membuka pintu, Aina sudah berada di sana, menyapa setiap tamu yang datang dengan senyum hangat dan sapaan tulus.
Di balik kesibukan mengatur dekorasi dan memastikan semua berjalan sempurna, Aina selalu menyempatkan diri memeriksa dapur dan ruangan depan. Bagi dirinya, restoran bukan sekadar bisnis—melainkan simbol kerja keras dan pengabdian Dika yang selama ini disembunyikan di balik identitas rahasia.
Dalam setiap gerak-gerik dan perhatian yang Aina berikan, tampak jelas betapa dalam cinta dan dukungan yang mengalir untuk suaminya. Saat Dika merasa letih karena tugas-tugasnya sebagai agen rahasia, Aina selalu ada untuk mengingatkan bahwa usaha dan pengorbanan itu tak akan sia-sia. Di setiap tegukan teh hangat di sela-sela rapat kecil atau obrolan ringan di sudut teras, Aina memberikan semangat yang tulus:
"Mas, aku bangga padamu. Tiap langkah yang kamu ambil, tak hanya membangun usaha ini, tapi juga melindungi kebenaran. Aku percaya, meski dunia di luar penuh bayang-bayang, cinta kita akan selalu menerangi jalan."
Kata-kata lembut itu menjadi balsam bagi hati Dika yang selama ini menyimpan beban masa lalu dan misi berat. Saat ia melihat Aina terlibat dengan penuh antusiasme dalam menyemarakkan setiap acara, ia merasa bahwa dukungan istrinya adalah anugerah tak ternilai.
Dalam sejenak hening, di antara tawa dan canda para tamu yang menikmati hidangan lezat, kedua hati itu saling berbisik dalam diam. Cinta yang tumbuh semakin dalam, menguatkan tekad untuk bersama menghadapi segala rintangan yang menghadang di depan—sebuah janji bahwa di balik segala rahasia dan intrik, kehangatan kasih sayang keluarga akan selalu menjadi pelita dalam kegelapan.
Restoran Rasa Bahari sore itu ramai. Wajah-wajah pelanggan tersenyum puas, menikmati sajian laut yang lezat. Dika dan Aina memantau dari kejauhan. Ini hari ketiga sejak restoran dibuka, dan semuanya berjalan lancar.
Namun, di tengah kesibukan, seorang pelayan datang tergesa ke dapur.
“Pak Dika, ada tamu yang nyari Bapak. Katanya keluarga…”
Dika mengernyit. Ketika ia keluar, matanya langsung menangkap sosok perempuan berjilbab merah marun berdiri di dekat pintu, menggandeng seorang gadis remaja. Wajah itu tak asing. Rina—mantan istrinya, dan Laila—anak perempuannya.
Aina yang tengah memeriksa kasir juga melihat mereka. Ia sempat menahan napas. Tanpa berkata apa-apa, ia mendekat perlahan.
“Mas,” ucap Rina pelan tapi tegas, “aku tidak datang untuk ribut. Aku hanya ingin bicara.”
Dika menunduk. “Kita bisa bicara di belakang,” katanya.
Mereka bertiga masuk ke ruang staf. Aina, tetap tenang, ikut masuk. Ia tak ingin ini jadi rahasia. Dika duduk di antara dua wanita itu.
Rina mulai bicara, suaranya lirih. “Aku sudah bercerai. Aku tak sanggup lagi menanggung biaya sekolah Laila. Aku tahu kamu sudah punya kehidupan baru. Tapi Laila anakmu juga. Dia butuh ayah.”
Laila hanya menunduk. Dika menarik napas dalam. “Kenapa sekarang, Rin? Setelah semua ini?”
“Karena aku tahu siapa kamu sebenarnya sekarang,” balas Rina, menatap Aina sekilas. “Aku tahu kamu bukan sekadar tukang ojek atau pedagang. Kamu orang yang bisa jaga Laila dari bahaya.”
Aina diam, matanya menatap dalam. Ia tahu, dalam dunia yang mereka jalani sekarang—dunia penuh ancaman, konspirasi, dan musuh tersembunyi seperti Chen dan Bayangan—hadirnya Laila bisa membuka celah baru.
Dika mengangguk pelan. “Aku akan urus semuanya. Tapi jangan sebar siapa aku sebenarnya. Kalau sampai mereka tahu… Laila bisa jadi sasaran.”
Rina mengangguk. “Aku ngerti. Aku janji.”
Setelah mereka pergi, Aina berdiri diam di teras restoran. Dika menghampiri, menatap istrinya.
“Aku nggak pernah ingin kamu tahu begini, tapi aku nggak bisa lari dari tanggung jawabku.”
Aina menoleh. “Aku bukan takut kamu punya masa lalu. Aku takut masa lalumu jadi umpan musuh kita.”
Dika menatap langit sore yang mulai kemerahan. Di balik senyum restoran dan keramahtamahan, ancaman masih mengintai. Ia tahu, setelah ini, semua akan berubah.