NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 32 - Terbongkar: Bukan Soraya?

Napasku tertahan di dada, pertanyaan Darius barusan menggantung di udara, tetapi waktu tetap berjalan dan kedua bola mata itu tetap memindai setiap gerak-gerikku.

Perlahan aku menarik napas. “Aku rasa ... tidak ada, mungkin? Karena aku sendiri pun tak tahu apa yang kamu maksud sebagai ‘sesuatu’ itu. Aku—”

Belum selesai perkataanku, mendadak suara pintu apartemen diketuk begitu kencang. Berulang kali. Sampai-sampai kami mengira kami sedang ‘di-grebek’.

Kami pun berdiri dari sofa, melempar pandangan bersamaan, lantas Darius lebih dulu berjalan ke depan. Aku membuntuti dari belakang.

“Ibu?” Suaraku tercekat.

Pintu yang terbuka menampilkan perempuan separuh baya dengan napas yang ngos-ngosan, di belakangnya ada Ayah yang terlihat lebih tenang tapi ekspresinya itu tak dapat dibohongi.

“Kami dapat kabar tentang keluarga Darius,” suara ibu terdengar berat dan dingin. “Katanya mereka mendesak perceraian. Betul itu?” tanyanya kemudian tak sabaran.

“Barusan kami tahu soal itu,” ayah menimpali. “Dan kabar itu sudah tersebar. Secepat itu kalian hampir bubar?”

Aku dan Darius saling tatap, jelas belum menghadapi soal ini. Lebih anehnya lagi, mengapa persoalan ini begitu cepat sampai ke telinga mereka.

“Tunggu dulu.” Aku mencoba menenangkan ibu yang sepertinya benar-benar tak terima dengan situasi ini. “Kami bahkan belum tahu kalau kabar itu sudah sampai ke kalian...”

Melalui ujung mata aku melirik ke samping, menatap Darius yang maju selangkah. Suaranya mantap. “Aku tahu ini mengejutkan. Tapi kalian berhak tahu yang sebenarnya. Permintaan itu memang benar—tapi bukan dari kami. Aku pribadi tidak setuju dengan keputusan ayah dan ibuku.”

Ibu menerobos masuk, mungkin merasa tanggung berdiri di luar—takut juga didengar oleh penghuni apartemen yang lain dan dianggap sedang ada keributan.

Lantas Ibu duduk di sofa, diikuti oleh Ayah. Dan sambil melipat tangan di depan dada, Ibu memasang wajah serius. “Lalu kamu di pihak siapa, Darius? Kamu tidak sedang—”

“Tentu saja aku di pihak Soraya,” jawabnya tegas.

Darius menutup pintu, lalu ikut beranjak menuju sofa. “Sejak awal pernikahan ini berjalan dengan banyak tekanan. Tapi kami mencoba. Kami sedang dalam proses memperbaiki semuanya. Kami pun tahu, meski tak diberitahu secara transparan ... pernikahan ini hanya alat bagi kalian, kan?”

Aku mengembuskan napas, duduk di samping Darius. Benar, ini sudah sepatutnya dibuka secara gamblang. Kami sudah diujung tanduk, dan aku sempat berpikir bagaimana jika aku membongkar habis apa yang selama ini sengaja disembunyikan?

“Bukan begitu maksud kami, Darius.” Ibu terlihat sedang membela, seperti mencari-cari alasan.

“Kalian belum genap setahun menikah, dan mereka sudah bicara perceraian? Kita ini keluarga, Darius. Bukan penonton. Kamu pikir kami tidak akan tahu?” tambah Ibu kemudian.

Darius membungkukkan punggung, menatap kedua orang tuaku secara lebih jelas. “Saya tahu kabar ini menyakitkan, dan saya minta maaf karena kalian harus mendengarnya dari orang lain. Tapi satu hal yang harus kalian tahu, saya tekankan bahwa saya berada dipihak Soraya. Kami tidak akan bercerai.”

Aku segera mengalihkan pandangan pada Ibu, kulihat ekspresi lega terpancar jelas di wajahnya. Begitu pun dengan Ayah. Sepercik kebencian muncul dalam dadaku, kelicikan mereka dalam memanfaatkan begitu kentara.

Ini menyedihkan.

Ayah mengusap-usap dagu, menyipitkan mata dengan mata yang berfokus pada Darius. “Kamu yakin, Darius? Kamu bisa mempertanggung jawabkan apa yang kamu katakan hari ini? Lalu, kamu sadar kan bahwa kamu sedang menentang keluargamu sendiri?”

Darius mengangguk mantap. “Aku sadar. Tapi aku juga sadar, bahwa Soraya tidak pernah layak diperlakukan seperti ini. Aku tahu kesalahan-kesalahan kami. Tapi bukan berarti aku akan melepaskannya begitu saja hanya karena orang tuaku memaksakan kehendak.”

Aku menggigit bibir bawahku, menunduk dan menahan air mata yang menggenang. Tangan Darius perlahan menyentuh punggungku, ringan tapi cukup memberi isyarat: aku di sini.

Berulang kali aku menarik napas yang terasa menusuk-nusuk dada. Teringat kembali apa yang telah aku lewati selama hampir dua bulan ini. Meski sebentar, tapi aku merasa telah kehilangan hampir seluruh hidupku.

“Soraya, ayo ikut Ibu,” ajaknya yang sudah berdiri dari sofa.

Aku mendongak, tak ada pilihan. Dia menggandengku lebih dulu, menuntunku menuju balkon. Kami berdiri berhadapan, melawan arus angin yang membuat rambutku terseok-seok.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Nerissa? Apa yang dikatakan Darius benar, kan?” Ibu bertanya sembari mendekatkan wajah, tangannya di bawah sana mencengkramku begitu kuat.

Mataku terpejam kuat-kuat sebentar. “Ibu tidak mendengar apa yang dikatakan Mas Darius tadi?”

“Ibu butuh kejelasannya dari mulutmu, Nerissa!” kecaman itu diungkapkan di depan wajahku yang meringis karena jarak yang terlalu dekat.

“Kami melakukan perjanjian kontrak baru. Sekarang ibu puas kan?”

Cengkraman di bawah sana melemah, aku menyeret pandangan pada ibu yang terlihat sedang mengerutkan kening.

“Maksud kamu apa?”

Aku mengempiskan dada, bahuku turun sambil memasang wajah teramat lelah. “Aku pernah bilang bukan? Bahwa mereka, Soraya dan Darius tidak pernah benar-benar saling mencintai. Mereka terikat dalam kontrak perjanjian, sama seperti kalian. Seperti kontrak dalam kontrak.”

“Dan waktuku ada di sini, berada dalam pernikahan ini, hanya sampai dia benar-benar mendapatkan ingatannya yang hilang. Saat ini dia sedang fokus pada pengobatannya, tahu artinya kan, Bu? Jadi—”

“Jadi kamu seharusnya berusaha lebih keras lagi!” potong Ibu dengan nada yang mengandung penekanan.

“Bu? Apa Ibu tidak mengerti juga?” Aku bertanya sembari tersenyum getir.

Ibu melotot, telunjuknya terangkat dan diarahkan padaku. “Kamu yang tidak mengerti, Nerissa! Waktumu tidak banyak, tapi malah leha-leha. Kamu belum hamil juga, kamu tidak ingat apa yang selalu Ibu tekankan pada kamu?”

“Bu, kami tidak saling mencintai. Aku tidak mau berkorban lebih jauh lagi. Dia juga tidak mau memiliki anak dariku. Tolong pahami situasinya, Bu!” Aku setengah berteriak, memegangi kedua bahunya sambil setengah mengguncangnya.

Mataku berkaca-kaca. “Aku sudah kehilangan Arjuna, Bu. Pria yang sangat aku cintai, tapi sekarang dia bersama wanita lain karena aku sudah ada dalam situasi ini.”

“... Dan kalau aku mau, kalau aku begitu tega, aku bisa mengatakan pada Darius bahwa aku bukanlah Soraya! Tapi apa, Bu? Aku tetap di sini, menghormati keinginan Ibu.”

“Apa untungnya kamu tetap bertahan tapi jika kamu tidak—”

“Tunggu, apa maksudnya ini?”

Jantungku berhenti berdegup. Suara itu ... milik Darius. Dan ketika pandanganku bertemu dengan manik kebingungan itu, aku mencelos seketika.

“Siapa yang bisa menjelaskan tentang ini?” Darius berjalan mendekat ke arah kami.

“Apa maksudnya bahwa perempuan ini...” Telunjuknya itu mengarah padaku. “... perempuan yang kusebut sebagai Soraya, ternyata justru mengaku bukanlah Soraya?”

Aku menelan ludah, saling melirik ke arah Ibu.

***

1
范妮
Hai, nona bulan
aku mampir ..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!