Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Terjebak
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Abraham jauh dari kata damai. Langit masih berselimut kabut tipis ketika suara teriakan seorang wanita menggema di halaman depan.
Seorang perempuan berpakaian minim dengan rambut yang sengaja dibiarkan digerai.
“Aku ingin bertemu dengan anakku! Biarkan aku masuk!” serunya dengan raut serius.
Para penjaga berdiri menghadang seorang wanita berambut panjang dengan kacamata hitam menutupi separuh wajahnya itu.
Tubuhnya dibalut gaun berwarna merah marun yang mencolok yang minim bahan, seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan wanita biasa.
Jessica.
Wanita yang selama ini dikira telah meninggal, kini kembali dengan keinginan mengambil Steven.
“Maaf, Nona, Anda tidak diizinkan masuk,” ucap salah satu penjaga dengan tegas.
Jessica melepaskan kacamatanya, menampakkan sorot mata penuh kemarahan.
“Aku ibu kandung Steven! Aku punya hak untuk membawanya!” desisnya sambil menatap tajam.
Tuan Abraham yang mendengar keributan itu segera keluar dari dalam rumah, diikuti oleh Joseph, Giorgio, dan Marsha.
Wajah pria tua itu mengeras saat melihat wanita yang dulu menjadi bagian dari keluarga mereka berdiri di sana, hidup, bernapas, dan tanpa rasa malu membuat keributan.
“Pergi dari sini, Jessica,” suara Tuan Abraham dingin dan penuh otoritas.
Jessica tertawa sinis. “Jadi begini caramu menyambut mantan menantumu? Aku hanya ingin membawa anakku!”
Kemudian Joseph yang baru saja keluar langsung melangkah maju, matanya menatap Jessica dengan penuh kebencian.
“Anakmu?” Ia terkekeh dingin. “Lucu sekali.”
Jessica mengernyit. “Apa maksudmu?”
Joseph mengeluarkan sebuah amplop dari dalam jasnya, lalu melemparkannya ke arah wanita itu.
“Buka dan lihat sendiri.”
Jessica mengambil amplop itu dengan tangan gemetar. Perlahan, ia menarik keluar lembaran hasil tes DNA. Matanya menyusuri tiap baris tulisan sebelum wajahnya seketika memucat.
“Ini… bohong!” serunya dengan suara bergetar.
“Bohong?” Joseph melipat tangan di dada. “Itu hasil tes DNA. Steven bukan anak kandungku.”
Suasana mendadak hening.
Marsha yang berdiri di samping Giorgio membeku di tempatnya. Tuan Abraham mengepalkan tangan, mencoba menahan amarahnya. Sementara itu, Jessica hanya berdiri kaku, seakan baru saja dijatuhi hukuman mati.
“Aku tidak pernah tidur denganmu secara sadar, Jessica,” lanjut Joseph, suaranya semakin tajam. “Malam itu… aku tidak ingat apa-apa. Dan sekarang aku tahu kenapa. Kau menjebakku.”
Jessica menggeleng. “Tidak… itu tidak benar…”
“Kau pikir aku tidak menyelidiki?” Joseph mendekat, matanya memerah mengekspresikan sedang diluapi amarah.
“Kau merencanakan semuanya. Kau membiarkan pria lain menghamilimu, lalu menjeratku dengan pernikahan paksa. Dan ketika kau merasa lelah, kau pura-pura mati agar bisa melarikan diri.”
Marsha membekap mulutnya, tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Tuan Abraham menghela napas berat, lalu menatap Jessica dengan tajam.
“Jadi, selama ini kau menipu kami semua? Bahkan sampai tega memalsukan kematianmu?”
Jessica menggigit bibirnya, matanya berair.
“Aku… Aku tidak bisa merawat Steven saat itu. Aku masih muda, aku tidak siap—”
“Omong kosong!” suara Tuan Abraham menggelegar. “Dan sekarang, setelah bertahun-tahun, kau tiba-tiba muncul dan ingin mengambilnya? Setelah kau tinggalkan dia begitu saja?”
Jessica terdiam.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak bisa berkata-kata.
“Dengar baik-baik, Jessica.” Suara Tuan Abraham rendah, tapbepenuh penekanan. “Steven mungkin bukan anak kandung Joseph, tapi dia tetap cucuku. Aku yang membesarkannya, aku yang merawatnya. Dan aku tidak akan pernah membiarkan wanita sepertimu menyentuhnya lagi.”
Jessica mundur selangkah, matanya berkaca-kaca.
“Aku akan menggugat hak asuh,” katanya dengan suara lirih.
Tuan Abraham tertawa dingin.
“Silakan coba.”
Jessica menatap satu per satu wajah mereka. Marsha yang menatapnya dengan sorot tajam, Giorgio yang terlihat jijik, dan Joseph yang menatapnya seolah ia hanyalah seorang asing yang tidak berharga.
Akhirnya, dengan langkah gontai, ia berbalik.
“Kalian akan menyesal,” katanya sebelum melangkah pergi.
Tetapi tak ada satu pun dari mereka yang menahannya.
***
Mentari pagi menyelimuti taman keluarga Abraham dengan sinarnya yang hangat. Udara sejuk dan semerbak wangi bunga mawar memenuhi atmosfer taman pagi itu.
Marsha sedang berjongkok di antara semak bunga, jemarinya dengan hati-hati memetik kelopak-kelopak mawar putih dan merah muda, mengumpulkannya ke dalam keranjang rotan yang ia bawa.
Ia begitu menikmati momen itu—ketenangan yang jarang ia dapatkan sejak menjadi bagian dari keluarga Abraham.
Namun, kehadiran seseorang di belakangnya membuatnya menegang.
“Marsha.”
Marsha mengenali suara itu. Ia menutup matanya sejenak sebelum akhirnya berdiri perlahan, membalikkan badan dan menemukan Joseph berdiri di sana.
Pria itu mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, rambutnya tampak sedikit berantakan seolah ia belum tidur dengan baik.
Tatapan matanya begitu dalam, seakan mencari sesuatu yang tersembunyi di dalam benak Marsha.
“Joseph?” Marsha mencoba bersikap wajar.
“Ada apa?” tanyanya berusaha tenang.
Joseph melirik sekitar, memastikan bahwa Giorgio tidak ada di sekitar mereka sebelum akhirnya melangkah lebih dekat.
“Sya, aku rasa… aku tidak perlu menjelaskan apa pun. Kamu sudah tahu kalau aku belum sepenuhnya menikah,” katanya, suaranya bergetar samar.
Marsha menegang, jemarinya mencengkeram keranjang bunga lebih erat. Ia menatap Joseph dengan serius.
“Joseph, apa pun yang terjadi… aku ini adalah kakak iparmu sekarang,” ungkap Marsha, suaranya tenang namun tegas.
“Jadi, jika kamu memiliki masalah, sebaiknya cerita pada Mas Gio saja. Aku tidak mau ada kesalahpahaman.”
Joseph tersenyum pahit. “Kesalahpahaman?”
Ia menghela napas berat. “Apa kamu lupa, Sya? Hari itu… ketika kita bertemu pertama kali, kamu mengatakan bahwa kamu sangat menyukaiku.”
Marsha membeku.
Joseph melangkah lebih dekat, suaranya melembut, seakan ingin menghidupkan kembali kenangan mereka.
“Aku ingin kamu tahu… aku pun juga merasakan hal yang sama.”
Marsha menunduk, mencoba menata pikirannya. Napasnya terasa berat, dan jantungnya berdebar tak menentu.
Namun, ia menepis perasaan itu.
“Sekarang situasi dan kondisinya berbeda, Joey,” katanya lirih. “Aku milik Giorgio, dan dia adalah kakakmu. Tolong mengerti.”
Joseph tersenyum getir. “Aku tahu. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku, Sya.”
Marsha menggeleng. “Jangan lakukan ini…”
Joseph menarik napas dalam, lalu berkata dengan nada penuh tekad, “Aku akan menceraikan Jessica. Setelah itu, aku akan memperjuangkanmu.”
Marsha menatapnya, tercengang. “Joey, jangan seperti ini…”
“Aku hanya ingin kamu kembali padaku.” Suara Joseph terdengar putus asa. “Apa tidak ada sedikit pun rasa untukku? Apa aku benar-benar sudah tidak ada di hatimu?”
Marsha menggigit bibirnya. Air mata nyaris menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu betapa dalam perasaan Joseph, dan itu menyakitinya.
Namun, hatinya kini sudah terikat pada Giorgio.
“Maaf, Joey,” ucapnya lirih. “Aku sudah memilih.”
Joseph tertawa kecil, penuh kepedihan. Ia menatap Marsha dengan tatapan yang sulit dijelaskan—antara kecewa, sakit hati, dan harapan yang hancur.
“Aku akan tetap menunggu, Sya,” katanya akhirnya sebelum berbalik, meninggalkan Marsha yang masih berdiri di antara mawar-mawar yang kini terasa kehilangan keindahannya.
Bersambung....