Sean, seorang Casanova yang mencintai kebebasan. Sean memiliki standar tinggi untuk setiap wanita yang ditidurinya. Namun, ia harus terikat pernikahan untuk sebuah warisan dari orang tuanya. Nanda Ayunda seorang gadis yatim piatu, berkulit hitam manis, dan menutup tubuhnya dengan jilbab, terpaksa menyanggupi tuntutan Sean karena ulah licik dari sang Casanova.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Nanda masih berdiri dibibir kolam. Fokus matanya tertuju pada riak air kolam yang bergelombang. Mencari-cari sosok pria kekar yang menceburkan diri di sana.
"Kak!"
Nanda memanggil lagi.
Tak ada sahutan, hanya air yang masih setia membuih kecil.
"Tidak mungkin sekali masuk langsung tenggelam di dasar kan?" Nanda bertanya pada dirinya sendiri,"Kecuali..."
Tak lama kepala Sean menyembul, tangannya menggapai-nggapai udara. Seseorang yang sedang berjuang dari kungkuman air dan mengisi paru-parunya dengan udara semampunya tak mungkin bisa mengeluarkan suara untuk berteriak. Nanda tau itu.
Refleknya, mencebur ke dalam air. Meraih tubuh pria tinggi itu dengan sisa tenaganya. Harapannya hanyalah, semoga Sean tidak ikut menenggelamkannya.
"Injak dasar kolamnya, kak!"
Terus mencoba mendekat dan meraih tangan Sean yang bergerak sembarang. Saking sembarangnya, tangan itu sempat menyentuh payu dara Nanda.
"Astaghfirullah! Kakak sentuh-sentuh apa sih?" Nanda mengomel, tapi, ia coba meredam amarahnya orang hampir tenggelam biasanya memang tak sadar dengan reflek anggota tubuhnya.
Setelah berjuang cukup keras, Nanda berhasil meraih tubuh Sean. Tubuh lelaki itu cukup tinggi, dan air kolam hanya sebatas dadanya. Asalkan Sean berpijak dengan benar, Nanda bisa menuntun lelaki itu ke tepian kolam. Walau hati masih merasa dongkol tangan Sean sudah menyentuh salah satu payu daranya.
"Nekad banget sih! Ngapain kakak nyebur ke air kalau nggak bisa berenang?" omel Nanda mengangkat tubuhnya naik sampai duduk di pinggir kolam. "Mana pegang-pegang sembarangan lagi!" dengan wajah frustasi mengingat rasa tangan kekar Sean yang mendarat di gunungnya.
"Apa kamu pikir aku sengaja? Mana aku tau yang kupegang itu dadamu! Kayak aku nggak pernah pegang dada wanita saja. Punyamu itu kecil."
Nanda mendesis kesal, rasanya kesal sekali dengan omongan suaminya itu. Sangat merendahkannya.
Melihat wajah Nanda yang merah padam menahan amarah dan malu bersamaan. Sean jadi merasa bersalah lagi. Kenapa rasanya ia mudah sekali merasa bersalah pada gadis hitam manis ini?
"Maaf..."
Nanda mendesah pelan.
"Bisa naiknya nggak?" seraya berdiri, mengulurkan tangan dengan sedikit condong ke arah Sean yang masih berdiri dalam dan berpegangan di bibir kolam.
Sean menyambut uluran tangan Nanda, gadis itu mencoba menarik tubuh Sean yang sudah tentu lebih besar darinya. Bisa saja ia jahil dengan menarik tubuh Nanda sampai jatuh lagi tercebur ke air. Tetapi, ia tau ini bukan waktunya untuk itu.
"Pijakkan kakimu, berusahalah naik, aku bantu tarik."
"Ish, malah ngasih tau!" Kesal Sean, "tau begini, mending aku ceburin skalian ke kolam," menggerutu dalam hati. Meski begitu tetap mengikuti arahan dari Nanda. Hingga ia akhirnya bisa keluar dari air.
"Percaya kan kalau aku nggak bisa renang?"
Nanda tak menjawab, masih merasa kesal dengan kelakuan Sean yang ia anggap sembrono. Asal masuk ke dalam air padahal nggak bisa renang. Jika lewat pasti sudah mati tenggelam.
"Bagaimana? Mau mengajariku berenang?"
"Entahlah," ujar Nanda menggeleng malas.
"Kenapa?" Sean menelisik wajah ragu Nanda. Tatapan mereka beradu, Nanda sendiri tak yakin untuk mengajari, apalagi Sean pria dewasa, merasa enggan saja bersinggungan nanti.
Tubuh Nanda basah kuyup, begitupun dengan piyamanya. Semakin menampakkan lekuk tubuhnya, teraba oleh pandangan mata Sean, membuat jakun pria itu turun naik.
Aneh memang, hanya tubuh berbalut piyama basah saja membuat susah menelan ludah. Padahal, puluhan wanita sudah ia coba, lihat bahkan tanpa sehelai benang pun. Harusnya, gadis berkulit hitam seperti Nanda tidak ada dalam daftarnya. Tapi, kenapa hanya begini saja membuat sesuatu di dalam sana berdesir.
Sean membuang wajahnya kesamping. Meruntuk hasrat diri yang tiba-tiba naik.
"Dia bukan tipemu, Sean!" Umpatnya dalam hati."Ada banyak wanita mengantri, kenapa malah tegoda dengan yang seperti ini?"
Nanda sendiri merasa tak nyaman dengan tubuh basahnya. Dan suasana yang tiba-tiba jadi begitu kikuk. Melangkah kaki masuk.
"Mau ke mana?" tanya Sean reflek melihat ke arah istrinya.
"Ganti! Basah, bikin nggak nyaman. Gara-gara kakak nih," ucap Nanda melanjutkan langkah.
Sean mendengus,"apa-apaan dengan tubuh ini?" Mengumpat lagi membenahi celananya yang tiba-tiba terasa sesak.
.
.
.
"Jadi bagaimana?"
"Apanya?"
"Belajar renang!" ucap Sean sedikit keras. Jengkel.
Nanda meletakkan sendok ya, rasanya hilang selera makan malam itu. Jika ingat saat menolong Sean tenggelam tadi. Walau Nanda tau Sean tak sengaja, tetap saja tangan itu lancang menyentuh dadanya.
"Dua ratus," ucap Nanda sambil menunjuk lengannya.
"Seratus, seratus lima puluh, dua puluh lima dua kali." Nanda menunjuk anggota tubuhnya mulai dari lengan, pinggang, tangan yang tadi sempat tersentuh oleh Sean saat menolong.
Pria itu membuka mulutnya tak percaya.
"Lima ratus," pungkas Nanda terakhir menunjuk dadanya.
"Kenapa dadamu mahal sekali!?" Protes Sean semakin tak percaya.
Brak!
Sean terlonjak kaget karena Nanda tiba-tiba menggebrak meja dan melotot tajam padanya.
"Cepat bayar!"
Sean bergidig, "sebenarnya uang sebanyak itu kau pakai buat apa?" menggerutu pelan.
.
.
.
Di dalam kamar, Nanda duduk bersila diatas ranjang. Di hadapan, terhampar beberapa lembar uang merah dan biru, buku tabungan serta kalkulator.
Dengan lincah jarinya menekan tombol di kalkulator menghitung jumlah tabungannya. Gadis itu terlonjak kaget tiba-tiba Sean masuk dan langsung menjatuhkan diri dihadapan. Berbaring dengan santai di depan uang Nanda.
"Apa-apaan sih? Asal masuk aja!" Omel Nanda menarik selimut guna menutupi rambutnya yang memang ia biarkan terurai. Di dalam kamar, Nanda memang tidak memakai jilbabnya. Siapa yang menebak Sean akan asal masuk ke kamarnya."Apa aku nggak punya prifasi di sini?"
"Ini rumahku!" jawab Sean santai menjadikan tangan sebagai bantal.
"Lalu asal masuk saja ke kamarku?" tuntut Nanda mengapit dengan satu tangan di bawah dagu, selimut yang menutupi kepala.
"Pintu kamarmu terbuka, jadi aku masuk saja."
"Terbuka bagaimana?" Nanda heran karena tadi sangat yakin jika pintu kamarnya menutup.
"Aku lewat, ada celah cahaya dari sini, jadi aku masuk saja."
Nanda mendesis, makin jengkel saja dengan Sean yang seenaknya.
"Sudahlah, ngapain di tutupi? Aku juga sudah lihat," tukas Sean duduk.
"Bukan muhrim!" Ketus Nanda.
"Aku suamimu! Bukan muhrim bagaimana?" Gemas, Sean menjitak jidat Nanda yang masih tertutup poni sebagian.
"Aaauu! Sakit!" Pekik gadis hitam manis itu menggosok jidatnya yang kena sentil.
Hiks
Melihat Nanda seperti mau menangis, Sean jadi tak tega.
"Coba lihat!" Mencondongkan tubuh ke arah Nanda. Menyingkirkan poni hitam legam dari kening istrinya.
"Kok bisa merah ya, padahal kulimu hitam."
"Ini sakit tau!" Mata coklat itu terlihat berair.
"Iya, maaf," ucap Sean meniup kening Nanda yang masih merah. Satu tangannya menyingkirkan poni ke samping. Dari jarak sedekat ini, pikiran Sean malah melayang kemana-mana.
Merasa tidak beres, Sean menarik diri jauh. Jadi canggung dan salah tingkah sendiri. Sementara Nanda yang memang tak tau apa yang Sean rasakan mengusap lagi keningnya. Wajah hampir menangis dan bibir yang sedikit mengerucut itu semakin menambah kesan imut di wajah Nanda. Apalagi selimut itu tak menutupi kepala Nanda dengan sempurna.
"Mumpung di kamar, terkam saja, Sean." Setan di dalam diri Sean berujar.
Menggeleng pelan.
"Pas ini di atas ranjang. Tinggal dorong aja, dia sudah dalam kungkunganmu!" Setan itu berbisik lagi.
Sean menggeleng lagi, kali ini ia berdiri.
"Tidak bisa! Pikiran macam apa ini?" menggerutu pelan.
"Kak!?" Nanda merasa sangat aneh dengan Sean sekarang.
Sean melihat ke arahnya. Gadis ini semakin terlihat imut saja. Menelan ludah. Mata Sean beralih pada salep dingin di atas nakas samping ranjang.
Langsung mengambil salep itu, mengusir gugup.
"Nih, Pake salap!"
Patuh, Nanda mengambil salep dari tangan Sean yang terulur ke arahnya. Membukanya, lalu mengoles ke kening yang memerah.
Setelah mati-matian mengusir rasa asing di dadanya, Sean melirik deretan uang, buku tabungan dan kalkulator di atas ranjang.
"Untuk apa ini?"
"Aku mau beli motor," jawab Nanda menyimpan salepnya
Sean mengernyit, "untuk?"
"Rasanya boros kalau setiap pulang pergi Pake ojek online. Jadi aku berencana membeli motor. Yang bekas-bekas saja."
"Aahh, jadi uang hasil malakmu buat ini?"
"Terserah kakak mau bilang apa." Terdengar ketus merapikan uang. Lupa jika tangan nya sedang memegangi selimut hingga benda itu leppas begitu saja.
"Sudah biarkan saja," ujar Sean saat Nanda hendak memasang lagi selimutnya.
"Tidak usah pakai jilbab lagi kalau di rumah. Hanya ada aku dan kamu. Siapa lagi yang lihat?"
Nanda mencebik.
"Aku suamimu!"
Sekarang mendengus.
"Tidak usah beli motor," ucap Sean tiba-tiba, membuat Nanda menatapnya reflek.
"Di garasi ada dua motor yang bisa kamu pakai. Gantinya, ajari aku renang."
Nanda terdiam dan hanya menatap. Membuat hati kecil Sean tak yakin mau.
"Baiklah."
Di luar dugaan memang, Nanda menyetujui.
"Tapi, Kaka harus nurut kalau diajari."
"Baiklah."
"Jangan nyari kesempatan pegang-pegang."
"Ish, siapa juga yang mau! Orang tadi nggak sengaja." Kini Sean yang mencebik. "Aku balik ke kamar," pamitnya, menyimpan tangan di saku celana.
Tiba-tiba saja ia merasa senang. Bibirnya terus melekuk ke atas tanpa ia bisa ajak turun barang sejenak.
"Apa sih? Begini saja kok."
dah tau sean udah muak sama kamu udah dblokir pula ehhh PD bgt sok nlpon2
🤭👍🌹❤🙏
sean siap siap otakmu dipenuhi nanda nanda dan nanda 🤣🤣
biar tau rasa tuhhh si Seannn 😝😏😏