Akibat kenakalan dari Raya dan selalu berbuat onar saat masih sekolah membuat kedua orangtuanya memasukkan Raya ke ponpes. setelah lulus sekolah.
Tiba disana, bukannya jadi santri seperti pada umumnya malah dijadikan istri kedua secara dadakan. Hal itu membuat orangtua Raya marah. Lalu apakah Raya benar-benar memilih atau menolak tawaran seperti orangtuanya?
Tingkah laku Raya yang bikin elus dada membuat Arsyad harus memiliki stok kesabaran yang banyak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pinkberryss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masakan pertama
"Gimana kabarmu, sayang?" tanya Diana dari sebrang sana.
"Baik kok ma, mama sendiri?" Raya menjawab kali ini dirinya sedang rebahan di dalam kamarnya.
"Baik banget," Diana salah fokus pada leher Raya yang nampak memerah.
"Raya, itu apa?"
"Apa maksudnya ma?"
"Leher kamu kenapa kok bisa merah-merah gitu, nggak alergi kan? Nggak mungkin ada serangga giginya bisa segede itu," Raya langsung teringat jika lehernya seperti itu gara-gara Arsyad dan sampai sekarang belum hilang karena dia mulai mengenakan hijab saat diluar rumah.
"Em— nggak kok ma ini karena lagi cuaca panas saja," jawabnya asal tapi tentu saja itu bohong tidak mungkin Raya berkata jujur karena malu ketahuan sudah melakukan itu.
"Ya sudah kalau gitu takutnya kenapa-kenapa. sudah dulu ya mama ada urusan ke luar." Raya mengangguk dan penggilan video call terputus.
"Untung aja mama percaya." dia menghembuskan napasnya lalu turun ke bawah menemani Bu Sofiyah memasak.
Di sana Diana masih bergelut dengan pikirannya sendiri karena leher anaknya. Dia meski percaya tapi bukan sepenuhnya.
"Memang ada yang aneh, tapi apa ya?"
"Ada apa ma?" Burhan bertanya saat masuk ke dalam kamar menemui istrinya yang tak kunjung keluar.
"Nggak kok pa cuman tadi video call Raya lehernya merah-merah gitu eh taunya karena cuaca panas ya," Burhan ikut penasaran dengan perkataan istrinya.
"merah-merah gimana maksudnya? Kayak semacam ruam gitu?" tanyanya dijawab anggukan Diana.
Namun tiba-tiba mereka sama-sama tahu jangan-jangan leher Raya begitu karena ulah...
"Ma!"
"Pa!" panggilnya barengan.
"Jangan-jangan kita akan punya cucu pa?" raut Diana senang sambil memegangi kedua lengan Burhan.
"Kok gitu sih ma!" Burhan masih tidak percaya bahkan seperti tak rela jika putri satu-satunya sudah melakukan hal itu.
"Loh nggak seneng emangnya?" Diana langsung memasang wajah galaknya dan tatapan tajam menghunus Burhan hingga dia ketakutan.
"Eh em nggak ma papa cuma syok saja,"
"Yasudah kita pergi yuk." alamat kalau Burhan memanjangkan perihal tadi, yang ada istrinya uring-uringan dan malah tidak dapat jatah harian.
"Ya kan wajah dong mereka sudah sah!" ucapnya sambil mendelik ke arah Burhan saat mereka berjalan menuruni tangga.
...****************...
Kini Raya sedang belajar memasak sendiri dan ibu mertuanya disuruh duduk saja, kalau tidak tahu tinggal bertanya. Bu Sofiyah nampaknya senang melihat perubahan dalam diri Raya menantunya, tak sia-sia dan hanya perlu dididik dengan cara yang lembut namun tegas bukan membentak hingga jadilah seperti ini.
Bu Sofiyah mencium aroma lezat dari sayur yang ditumis Raya. Meski dia sangat kaku memegang spatula karena tidak terbiasa. Pak Umar dan Arsyad menuju meja makan yang ternyata sudah diisi beberapa makanan, hanya saja tinggal sayur yang dimasak oleh Raya.
"Harum sekali baunya," kata pak Umar seraya mendudukkan tubuhnya di kursi.
"Iya bi ini nak Raya yang masak semuanya,"
"Semuanya?"
Bu sofiyah mengangguk, "Iya, kalau nasinya tadi umi." Tak lama Raya datang dengan membawa mangkuk berisi sayur.
"Sini duduk," Arsyad mempersilakan Raya duduk di sampingnya dan dia yang mengambilkan makanan untuk istrinya.
"Jangan biar aku ambil sendiri, harusnya aku juga kan yang ambilin kamu makanan?"
"Nggak apa-apa." baik Bu sofiyah dan pak Umar sama-sama saling pandang menahan senyumnya melihat interaksi antara anak dan menantunya yang sangat romantis dan harmonis.
"Enak sekali nak udangnya," pak Umar mencicipi udang yang ditumis Raya meski rasanya selalu pedas.
"Beneran Abi?" tanyanya excited sekali.
pak Umar mengangguk menatap menantunya, "Seperti masakan umi tapi yang ini ada bedanya." jawaban pak Umar membuat mereka semua terdiam.
"Bedanya yang masak menantu sendiri dengan usahanya," Bu Sofiyah tertawa pelan.
"Lain kali masakin mas begini lagi," bisiknya.
"yang mana?"
"Semuanya mas suka." Arsyad sangat pandai sekali kalau begini, mampu membuat rona pipi Raya semakin terlihat.
Mereka makan malam dengan tenang dan menikmati setiap masakan dari Raya untuk pertama kalinya, meski dulunya hanya bisa rebus air, kini bisa memasak apapun tapi yang ringan saja. Dulunya pernah bikin ceplok telur tapi gosong, sekarang sudah tidak pernah lagi namun kurang matang akibat takut gosong. Maklum lah ya, namanya orang belajar pasti ada kekacauan tapi kalau konsisten pasti beda lagi hasilnya.
...****************...
Di rumah Malik, mereka juga masih menikmati makan malam a bersama keluarganya. Inayah memasak rendang disuruh suaminya sendiri katanya ingin tapi dilarang beli, memang ada-ada saja, meski prosesnya lama tapi terbilang cukup singkat karena dagingnya hanya sedikit dan bumbunya Inayah beli sendiri alias bumbu jadi. Ya bagaimana masaknya, lah Malik sendiri mintanya pas sudah memasuki sore hari.
"Enak sih tapi kok rasanya agak beda ya sama dulu umi masak?" gerakan tangan Inayah terhenti saat akan menyendok kan makanan ke dalam mulutnya.
"Ya gimana sih bi kan umi beli bumbunya langsung, lagian mana sempat abi sendiri mintanya baru tadi, terus juga harus dimasakin sekarang juga! Jadi kesel deh umi, dah lah lain kali makan aja sendiri cari warteg sana!" omel Inayah pada Malik, sedangkan Farah menahan tawanya karena melihat wajah abinya yang tertekan karena omelan dari sang istri.
"Sabar abi... Sabar jangan tersulut emosi," ucap Farah sambil mengelus lengan abinya.
"Yang lagi marah bukan Abi nak! Noh umi kamu ngapain juga abi yang harus disuruh sabar jangan emosi," Malik mendengus kesal juga kepada anaknya, bisa-bisa dia disuruh meredam emosi padahal yang emosi Inayah.
"Iya-iya sudah kita lanjut makan aja!" setelahnya tak ada suara apapun yang keluar, hanya suara piring dan sendok.
"Farah," panggil uminya.
"Iya umi?"
Inayah sedikit melirik ke arah suaminya, "Abi mu dapat telepon dari pak Husen." dia menjeda kalimatnya.
"Katanya beliau mau deketin anaknya yang bernama Ikram sama kamu, dan kira-kira besok kalau jadi mereka mau kunjung kesini," lanjutnya.
Farah terdiam menatap wajah Inayah tak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Iya nak, Abi dapat pesan lagi tadi kalau besok tidak ada kegiatan atau jadwal dadakan mereka jadi kesini, sore," sahut Malik menatap Farah.
"Gimana ya... Farah kan masih sekolah umi,"
"Sebentar lagi lulus kok, lagipula bukan menikah sayang, hanya ingin saling kenal mengenal itu saja tidak lebih," jawab Inayah sambil tersenyum.
"Tapi menurut abu kalau kamu tidak siap ya nggak apa-apa bisa diundur nanti abi kirim pesan ke beliau. Besok bukannya libur sekolah ya?" Farah mengangguk karena jadwal ujiannya telah selesai hari ini besok sudah mulai libur.
"Hanya bertemu saja nak, umi dan abi tidak memberatkan kamu apapun itu." Farah akhirnya mengangguk pelan dan melihat itu Inayah tersenyum lega akhirnya anaknya mau meski hanya sebatas bertemu.
•
•
•
Gimana nih nasibnya Zaidan, apa iya dia ada rasa suka sama Farah?
Dukung author Denga kasih bintang lima ya... Like sebanyak-banyaknya. Makasih!!