Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Berjalan lesu, aku menaiki tangga menuju kamar kosanku dengan belanjaan yang penuh di kedua tangan, sehingga aku terpaksa menggigit batang rokok yang sedari tadi aku hisap. Mencari ke seluruh kantung di tubuhku, aku menyadari bahwa celana jeans yang aku pakai memiliki kantung belakang yang cukup dalam, hingga menyembunyikan kunci kosanku.
Hai lagi, wahai engkau sangkar sempit yang aku sebut rumah, lama tidak berjumpa. Minum satu sachet kopi hitam malam ini sebelum tidur, mungkin akan sangat cocok menemani tembakau untuk bermimpi.
Mataku terasa begitu kering, bukti dari betapa lelahnya aku bekerja hari ini. Bukan, bukan tubuhku, yang lelah yaitu jiwa dan pikiran. Belakangan ini banyak hal yang terjadi di luar kendaliku, terkadang hingga aku merasa bahwa, ini berlebihan.
Galon air terdengar berdegup, gelembungnya naik perlahan-lahan dalam pantauanku yang ingin segera menikmati akhir hari. Aku buka celanaku, menyisakan hanya kemeja panjang yang menutup hingga sebatas paha, sebagai ungkapan kebebasan yang tidak akan aku miliki di luar sana.
Di atas bangku yang menghadap ke arah jendela, aku menaikkan kedua kaki, memeluk lutut menunggu kopi menjadi hangat dan siap aku minum. Sesekali angin melintas melalui telingaku, menjadi himne (lagi dengan makna mendalam) yang sendu kudengar sendirian.
Sepertinya, aku harus menemui Ibu. Meminta pencerahan mengenai hidup dan langkah apa yang sebaiknya aku ambil kedepannya. Namun mana sampai hati, aku pulang dalam kondisi begini. Pulang ke desa hanya untuk mengadukan segala masalahku kepada Ibu, sedangkan aku tidak mengetahui apa saja yang telah dia lalui tanpa diriku di sana. Terkesan, tidak adil.
Aku meraih ponsel, memikirkan ibu, memberi sedikit kerinduan kepada anak gadis satu-satunya. Rindu belai kasih seorang janda yang kesepian di desa.
Detak keyboard ponsel berbunyi bergantian, ketika aku mulai mengirim pesan singkat kepada ibu.
"Buk, gimana kabarnya? Airin kangen."
*ting!*
"Sehat ndo (panggilan ibu kepadaku), ada apa? Kamu lagi sedih ya?"
hmph, ketimbang menjadi ibu yang luar biasa, kau lebih cocok aku panggil cenayang. "Airin kangen ibu." Jawabku yang kehabisan kata-kata.
*Dering panggilan masuk dari ibu.*
"Halo Ndo, ada apa sayang, ayo deh cerita sama ibu." Suara ibu parau dan bergetar, terdengar ringkih membuatku tidak tega. Akan tetapi, walaupun suaranya menandakan umur kian menelan, dia masih saja khawatir dengan apa yang dilalui anaknya di kota.
"Aku. . Kangen ibu." Nafasku tertahan, tidak beraturan. Mengulang terus kalimat rindu.
Aku mulai menangis tanpa alasan di telepon. Aku mengadu kepada ibu mengenai betapa melelahkannya menjadi seorang manusia, betapa curang nya semesta yang memberikan jalan panjang kepada hidupku. 10 menit aku habiskan untuk menangis tanpa kalimat, membiarkan ibu mendengarkan tanpa bicara di telepon. Selama itu juga, meski berjauhan, aku merasa bahwa kini aku tengah berada di dalam pelukan ibu.
Ibuku adalah orang yang sakti. Tidak perlu pembuktian dalam kesaktiannya, karena sebagai contoh, bila aku demam tinggi, aku hanya perlu belaiannya untuk menurunkan suhu tubuhku. Dikala berjauhan seperti ini, ibu bisa terasa hadir sangat dekat dalam buaian. Dan terakhir, ibu juga bisa menyelesaikan segala masalahku meski dia hanya diam dan mendengarkan.
Dari ibu aku belajar, bahwa tidak semua masalah harus di selesaikan. Ada beberapa poin yang sebenernya aku harus sadar jika, masalah itu memang harus ada, dan harus tetap ada demi mencegah masalah lain datang.