"Jadilah kuat untuk segala hal yang membuat mu patah."
_Zia
"Aku mencintai segala kekurangan mu, kecuali kepergian mu."
_Darren
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DEMAM
...RINTIK HUJAN...
...“Kau tidak akan tau artinya kesakitan sebelum tau artinya kehilangan.”
...
Darren pulang kerumah dengan pakaian yang tak lagi rapi, rambutnya acak-acakan, wajahnya sangat tampak kelelahan.
Zia dengan senyum yang seperti biasanya menghampiri suaminya, mengambil alih barang-barang suaminya.
Zia mencium punggung tangan Darren, sedikit heran karena taka da ciuman atau usapan ringan yang biasa dia dapatkan.
“Mas Darren mau mandi dulu atau makan malam dulu?” Tanya Zia dengan pelan.
Darren hanya menatap tajam Zia, dia berlalu menaiki tangga untuk sampai kekamarnya. Zia bingung dengan perubahan sikap suaminya, dia mengikuti Darren.
Zia tak banyak tannya, mungkin saja suaminya kelelahan. Jadi dia menyiapkan keperluan suaminya untuk mandi, dia juga menyiapkan pakaian ganti untuk suaminya.
“Mas, bajunya aku taruh disini. Nanti kalau udaha mandi langsung kebawahnya makan malam.” Ucapnya.
Darren yang duduk di sofa tak menanggapi, dia hanya terus membuka kancing kemejanya. Membuat Zia menggambil nafas panjang, dengan perlahan berjalan kearah suaminya lalu mengambil alih kegiatan Darren.
“Aku bantu mas.” Ujar Zia. Membuka sisa kancing kemeja itu.
Darren? Darren hanya diam, membiarkan istrinya melakukan apapun. Dia memang kelehan, kepala sedikit pusing karena pekerjaan yang bahkan sampai detik ini belum juga selesai.
“Sudah mas, sekarang mandi. Aku tunggu dibawahnya.”
Darren berlalu masuk kedalam kamar mandi tanpa menjawab ucapan istrinya, sedangkan Zia berlalu keluar dari kamar untuk menyiapkan makan malam yang hanya perlu ditatah di meja makan.
“Mas Darren pasti kecapean seharian mengurusi pekerjaan, jadi jangan berfikir yang tidak-tidak Zia. Itu tak baik.” Ucapnya. Menenagkan hatinya yang gelisah karena sikap suaminya.
Setelah menatap semuan menata semuanya, untuk mengusir rasa bosannya dia memainkan beda persegi panjang itu.
Zia merasa suaminya itu sangatlah lama hingga membuatnya bosan, menatap kelantai dua. Tak ada tanda-tanda suaminya turun untuk makan malam.
“Mas Darren ngak turun makan malam?”
Zia menatap makanan itu, apakah dia harus makan malam sendiri lagi? Zia harus memastikan suaminya itu sudah makan diluar atau belum, dengan segera dia naik kelantai dua untuk memastikan Darren.
Tok
Tok
“Mas, mas Darren.” Panggil Zia. Pintu kamar itu terbuka lebar, kamar yang gelap gulita menyambut Zia. Hanya lampu kecil yang berada didekat tempat tidur saja yang tak dimatikan.
“Loh sudah tidur rupanya, benar-benar kecapean.” Ucap Zia pelan. Mengusap kening suaminya dengan pelan, tapi dia merasakan panas saat menyentuh kulit itu.
“Astagfirullah, keningnya panas.” Ucap Zia.
“Panas, mas Darren demam?” Tanyanya. Memeriksa kembali suhu tubuh suamiya. “Benar, mas Darren demam.” Lanjutnya.
Zia duduk ditepi tempat tidur, merapikan selimut yang dipakai suaminya. “Mas, bangun dulu yah. Makan sedikit lalu minum obat.”
Darren tak sepenuhnya tertidur, dia perlahan membuka kelopak matanya. Menatap Zia yang cantik walau kurang cahaya dalam ruangan ini.
Zia mengusap rambut suaminya dengan pelan. “Makan dulu yah lalu minum obat.”
Darren mengangguk pelan, tubuhnya sedikit menggigil dan dia merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk.
“Aku turun kebawa dulu, tunggu sebentar mas.”
Zia meninggalkan Darren yang kembali menutup matanya, saat dikantor dia melewatkan makan siangnya. Hanya kopi yang mengisi lambungnya. Mungkin juga dia kurang istirahat setelah dari Bandung kemarin.
Zia kembali dengan napan yang bersini makanan dan obat, serta baskom ukuran kecil untuk mengompres suaminya.
“Mas.” Panggil Zia pelan. “Ayok bangun dulu.” Lanjutnya.
“Mmm, dingin Zia.” Ucap Darren pelan. Bahkan suaranya hampir tak terdengan oleh Zia.
Zia tersenyum. “Sebentar saja mas, makan lalu minum obatnya. Biar demamnya turun.”
Darren mengangguk, dia jika sedang sakit tak pernah manja. Jika diperintah minum obat dia tak pernah menolak, begitu juga ketikan makan sekalipun lidahnya terasa pahit dan tenggorokannya terasa kasar dan sakit.
“Bismillah, pelan-pelan mas. Sandarran disini.”
Zia ikut duduk di tepih tempat tidur, lalu mengambil makanan. Darren menatap Zia dengan mata sayunya.
“Bismillah, ayok mas.”
Darren membuka mulutnya, menerima suapan dari Zia. Menguyahnya dengan pelan terasa pahit saat dia menguyah makanan itu.
“Pahit.” Ujar Darren.
Zia tersenyum, mengusap pipi suaminya. “Tidak apa-apa mas, namanya juga lagi demam. Habis ini minum obatnya.”
Zia merawat Darren dengan baik, menyuapi Darren yang tak rewel. Tak seperti abinya yangg ketika sakit seperti bayi besar hingga terkadang membuat uminya pusing.
“Sud-ah Zia.”
“Yasuda, minum obatnya dulu baru kembali tidur.”
Darren menerima obat yang diberikan Zia, lalu menelannya. Zia kembali membaringkan Darren, lalu membungkus sampai leher Darren dengan selimut tebal.
Zia mengompres Darren dengan handuk kecil, sesekali dia memijit tubuh Darren. Zia masih bisa merasakan selimut tebal ini hangat karena suhu tubuh suaminya.
***
Aron menatap tajam selembar foto yang memperlihatkan Darren tengah memeluk erat seorang wanita yang sangat jelas wajahnya.
“Sial, saya kecolongan.” Umpatnya dengan pelan.
“Bisa-bisanya saya punya anak seperti Darren Ya Allah.”
“Sudah diberi istri yang sempurnah, dia malahan memilih modelan kaya gitu? Darren anak siapa sih?”
“Saya ngak akan biarin kamu lolos kali ini, kita lihat saja.”
Aron merobek foto itu lalu meremasnya dengan kuat, melemparnya pada tempat sampah didekat meja kerjanya.
“Buat anak sendiri menyesal tidak apa-apakan? Biarkan saja Darren menyesal.”
***
Cuaca pagi ini tak kunjung bersahabat. Hujan tak henti-hentinya membasahi bumi dari semalaman, disusul aroma tanah yang membumbung tinggi ke udara. Bahkan angin pun ikut mengibas kencang hingga menusuk indera penciuman, sinar matahari pun kini tak turut menghiasi langit yang mendung.
Percikan air hujan terus membasahi tiap inci tangan seorang perempuan cantik dengan balutan hijab yang senantiasa menutpi mahkotanya, kini berdiri tegak diatas balkon kamar rumahnya. Menatap hamparan jalan dengan senyumnya yang tak kunjung pudar, memejamkan matanya. Menikmati udara dingin pagi ini.
Dia menyukai hujan, baginya hujan selalu bisa membawa ketenangan dalam hatinya. Memberikan perasaan aman, hujan juga bisa menutupi kesedihannya.
“Tuhan akhir cerita seperti apa yang kau sediakan untuk rumah tanggaku?” Paraunya menatap teduh ke atas. Menghela nafas pelan dan kembali menatap jalan didepannya.
“Zia.” Panggilan dari arah belakang.
Zia berbalik lalu tersenyum saat melihat siapa yang baru saja memanggilnya, berjalan mendekat kearah tempat tidur lalu duduk disebelah suaminya.
“Kenapa mas? Butuh sesuatu?” Tanyanya.
Darren mengangguk, dia menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Dia sudah merasa jauh lebih baik, hanya saja suranya kian serak karena pilek.
“Boleh ambilkan dokumen diruang kerja saya.” Jawabnya dengan pelan. Berharap Zia bisa mengambilkan dokumen itu.
Zia menatap jengkel pada suaminya. “Mas Darren untuk sekarang ini tidak perlu memikirkan pekerjaan, lebih baik istirahat yang banyak.” Jelas Zia. Dia tak mau jika suaminya bekerja masih dalam kondisi sakit, walaupun demamnya sudah turun tapi pileknya yang belum sembuh.
Darren medengus. “Saya sudah sembuh Zia, jadi tolong ambilkan dokumen itu.”
“Tidak mas Darren!”
“Zia.”
“Mas Darren keras kepala!” Ujar Zia kesal.
Darren tak lagi menyaut. Dia memilih diam sambil memainkan benda perseg panjang itu dengan game online.
Zia tersenyum. “Mas aku kebawah dulu, mau beres-beres.”
“Hm.”
Setelah Zia pergi. Darren mendapat panggilan dari kekasihnya, siapa lagi jika bukan wanita model cantik tapi hati yang busuk.
Darren mengangkatnya, rupanya menelponya dengan video call.
“Hai.” Darren menyapa Melinda dengan senyumnya.
“Loh suara kamu kenapa sayang? Kamu sakit?” Tanya Melinda diseberang.
Darren hanya mengangguk. “Yah, tapi sudah mendingan.”
“Baguslah, aku kangen. Kamu kapan mau datang?”
“Kita liat saja nanti, saya banyak pekerjaan akhir-akhir ini. Ada masalah di perusahaan.”
“Tapi aku kangen kamu sayang, atau aku pindah ajah kejakarta biar bisa bareng kamu terus?”
“Lalu pekerjaan mu?”
“Aku udah berhenti, contrak aku udah sampai.”
“Begitukah?”
“Iya sayang, jadi aku mau pindah ke Jakarta. Aku mau bareng kamu terus, gimana?”
Darren berfikir, lalu mengangguk. “Baiklah.”
“Nah gitu dong, aku pindah minggu ini.”
“Hm.”
di lanjut Thor,,, penasaran 🤔
moga Darren cepat menyadari nya🤔🤭🤲
lanjut Thor. ku ingin si Darren hancur,, udah menyia yia kan berlian
yakinlah Lo bakalan nyesel Darren,,,
bikin tuan arogan bertekuk lutut 💪👍🏻😍