Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Baru
Motor yang dikendarai Evan berhenti di depan gerbang kampus. Alya turun dari belakangnya. Dibukanya helm yang dipakainya, lalu mencium punggung tangan suaminya. Evan merapihkan jilbab Alya yang sedikit kusut karena helm. Tentu saja hal kecil tersebut membuat hati Alya menghangat.
“Kerjain soalnya yang benar. Jangan buru-buru.”
“Iya, mas.”
“Jangan lupa berdoa juga.”
“Pasti dong.”
“Kalau udah selesai, kabarin aku. Nanti aku jemput.”
“Iya, mas.”
Alya baru saja akan pergi, tapi Evan menahannya. Dia meminta Alya untuk mendekat, kemudian mendaratkan ciuman di keningnya. Apa yang dilakukannya tentu saja menarik perhatian orang-orang yang melewati mereka. Karuan saja wajah Alya memerah dibuatnya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Kendaraan roda dua milik Evan kembali meluncur meninggalkan Alya yang masih terpaku di tempatnya. Kemudian wanita itu berjalan masuk ke dalam kampus. Dia segera menuju gedung fakultasnya. Ujian saringan masuk diadakan berdasarkan fakultas yang dipilih. Alya bergegas mendekati papan pengumuman yang menempel nama-nama peserta ujian saringan masuk beserta ruangannya.
Ruang ujian Alya berada di lantai tiga. Wanita itu segera menuju lantai yang dimaksud. Sepuluh menit lagi ujian akan segera dimulai. Sudah banyak peserta yang datang ketika Alya masuk ke dalam kelas. Dia mencari meja yang sesuai dengan nomor ujian miliknya, lalu mendudukkan diri di sana.
Sepuluh menit kemudian, seorang dosen datang membawakan tumpukan soal. Alya terkejut melihat Gelar yang menjadi pengawas ujian di kelasnya. Pria itu segera menuju mejanya yang ada di bagian depan. Dia masih belum menyadari kalau Alya berada di kelas yang sama dengannya.
“Selamat pagi, semua,” sapa Gelar.
“Pagi, pak.”
“Ujian saringan masuk akan segera dimulai.Dimohon tas dimasukkan ke dalam laci. Hanya alat tulis saja yang ada di atas meja.”
Semua langsung melakukan apa yang dikatakan oleh Gelar, termasuk Alya. Gelar membuka amplop coklat berisikan soal. Peserta ujian tidak diberikan lembar jawaban. Jawaban langsung ditulis di kertas soal yang dibagikan. Cukup banyak juga lembaran soal untuk ujian saringan masuk ini. Kira-kira ada enam lembar.
Gelar mulai berjalan untuk membagikan lembaran soal, dimulai dari meja yang berada di dekat pintu masuk. Ketika sampai di meja yang ditempati Alya, pria itu terkejut. Tidak menyangka istri dari sahabatnya ternyata berada di ruangan yang diawasinya.
“Alya.”
“Bang, Ge.”
“Kerjakan yang benar ya. Jangan malu-maluin Evan,” bisiknya.
Hanya cengiran saja yang diberikan oleh Alya. Interaksi dua orang tersebut tertangkap oleh calon mahasiswi baru yang duduk di belakang Alya. Setelah selesai membagikan soal ujian, Gelar kembali ke mejanya.
“Waktu ujian 90 menit. Dimulai dari sekarang.”
Hanya lembaran kertas dan suara ketukan pulpen yang terdengar ketika para peserta ujian mulai mengerjakan soalnya. Dengan berhati-hati Alya membaca soal, kemudian memberi jawaban sesuai yang diketahuinya. Ternyata latihan soal semalam ada gunanya juga. Alya menemukan beberapa kesamaan soal dan tentu saja itu menguntungkan untuknya.
Di tengah keseriusannya mengerjakan soal, dia dikejutkan dengan kedatangan Gelar yang meminta tanda tangannya sebagai daftar kehadiran. Sekilas Gelar melihat jawaban yang diberikan Gelar. Segurat senyum tipis tercetak di wajahnya. Sepertinya Evan benar-benar mengajari istrinya itu.
Alya menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk mengurangi rasa pegal. Sebagian besar soal sudah diselesaikan olehnya. Hanya tersisa soal matematika saja. Melihat deretan angka sudah membuat kepalanya pusing. Alya mulai mengerjakan soal mata pelajaran yang paling tidak disukainya itu. Ternyata soal yang membuat Evan naik darah muncul juga. Untung saja suaminya itu menerangkan padanya dengan baik, walau harus diselingi pukulan pulpen di kepalanya.
Waktu hanya tersisa lima belas menit lagi. Setengah peserta ujian sudah selesai mengerjakan soal dan keluar dari ruangan. Di lembar soal Alya, hanya tersisa tiga soal pilihan ganda matematika. Malas untuk berpikir lagi, wanita itu menggunakan jurus pamungkas. Dia mengangkat pulpennya cukup tinggi, kemudian menjatuhkannya di antara pilihan abjad. Mana yang terkena titik pulpen, itulah jawaban yang dipilihnya.
Alya merapihkan alat tulisnya, memasukkan ke dalam tas, lalu berdiri dari duduknya. Dia berjalan menuju meja yang ditempati Gelar. Diserahkannya lembaran soal yang sudah dijawabnya, kemudian keluar dari kelas. Alya melihat jam di pergelangan tangannya. waktu menunjukkan pukul setengah sebelas kurang lima menit. Dia bermaksud menghubungi Evan. Namun tiba-tiba sebuah tepukan di pundak mengejutkannya.
“Hai..”
Alya menolehkan kepalanya. Di sampingnya sudah berdiri dua orang gadis. Satu menganakan hijab sepertinya, satu lagi berambut pendek, sebatas telinga. Kedua gadis itu mengikuti ujian saringan masuk di kelas yang sama dengan Alya.
“Hai juga,” balas Alya.
“Kamu ambil jurusan apa?” tanya gadis berambut pendek.
“Manajemen bisnis.”
“Wah sama dong kaya aku. Kenalin, Aku Anabel, panggil aja Abel.”
“Aku juga jurusan yang sama. Aku Kiara.”
Bergantian Alya menyambut uluran tangan mereka seraya menyebutkan namanya. Senang juga bisa mendapatkan teman baru dengan cepat. Gadis berambut pendek bernama Abel, sedang yang behijab bernama Kiara. Dan yang tadi duduk di belakang Alya dan melihat interaksinya dengan Gelar adalah Abel.
“Kamu mau langsung pulang?”
“Ngga. Aku nunggu jemputan.”
“Ya udah, gimana kalau kita ke kantin dulu. Cari yang seger-seger, mataku sepet abis ngerjain soal matematika,” seru Abel.
“Wah sama dong. Kirain aku aja yang ngga suka matematika,” jawab Alya senang.
“Matematika itu musuh bersama. Istilahnya enemy of the state, hahaha…”
Celetukan Abel tentu saja disambut tawa Alya dan Kiara. Ketiganya kemudian berjalan menuju lift. Tujuannya adalah kantin yang mereka belum tahu di mana letaknya. Tapi kantin adalah tempat paling terkenal di kampus, tentu saja tidak sulit untuk menemukan keberadaannya.
Sesampainya di lantai dasar, Abel langsung bertanya pada mahasiswa yang melintas. Dengan cepat dia langsung mendapat jawaban. Mereka berjalan menuju masjid kampus yang letaknya berada di sebelah gedung fakultas ekonomi. Letak kantin tidak jauh dari masjid tersebut.
Tak butuh waktu lama, mereka sudah berada di kantin. Ternyata kantin juga sudah ramai didatangi pengunjung. Beruntung mereka masih bisa mendapatkan meja kosong. Kantin di kampus ini mirip pujasera. Di sana terdapat beberapa stand yang menyediakan aneka makanan. Tapi di bagian sudut terdapat etalase yang menyediakan makanan prasmanan.
“Kalian mau apa? Biar aku yang pesanin,” tawar Abel.
“Aku pengen bakso. Minumnya air mineral aja,” ujar Kiara.
“Aku minum aja deh. Jus buah naga,” jawab Alya.
“Ok.”
Abel bergegas menuju stand bakso dan mie ayam. Dia memesan satu mangkok bakso dan satu mangkok mie ayam untuknya. Kemudian menuju penjual jus, memesan minuman jus buah naga untuk Alya. Sedang dirinya mengambil minuman teh kemasan dan air mineral untuk Kiara.
“Kamu pesan apa, Bel?” tanya Kiara.
“Mie ayam.”
“Kamu ngga mau makan atau nyemil, Al?”
“Ngga ah. Minum aja.”
“Kamu dijemput siapa, Al? Kakak?” tanya Kiara.
“Bukan. Dijemput suamiku.”
“Hah?”
Baik Kiara, maupun Abel terkejut mendengar jawaban Alya. Tak menyangka gadis muda yang baru saja mendaftar kuliah ternyata sudah memiliki seorang suami. Alya hanya tertawa pelan melihat keterkejutan teman barunya ini.
“Kamu udah nikah?”
“Udah.”
“Emang umur kamu berapa?”
“19 tahun.”
“Beda setahun doang sama kita. Kok kamu mau sih nikah muda?” Kiara masih belum percaya Alya sudah menikah di usia semuda itu.
“Suamimu om-om ya?”
“Hahaha… ada-ada aja kalian. Suamiku masih muda, baru 22 tahun. Kita dijodohin, aku ngga punya alasan nolak juga. Ya udah kita nikah deh.”
“Pasti kalian ngga saling cinta. Terus kalian tidurnya pisah kamar. Suami kamu jutek bin ngeselin tapi lama-lama jatuh cinta sama kamu, dan bucin parah.”
“Jiaaahhh.. kebanyakan baca novel online nih.”
Abel menoyor kepala Kiara. Tak mau kalah, Kiara juga balas menoyor kepala Abel. Kedua gadis ini sudah bersahabat sejak jaman SMA dan memutuskan kuliah di kampus yang sama, di jurusan yang sama pula. Pelayan datang membawakan pesanan mereka, menghentikan adegan toyor menoyor.
“Al.. bener kan?” tanya Kiara yang masih penasaran dengan kisah pernikahan Alya.
“Apanya?”
“Itu soal yang aku bilang tadi.”
“Suamiku emang kadang ngeselin. Tapi sejauh ini dia baik sama aku. Dia juga sayang sama aku. Malahan dia ngajarin aku sebelum ikut ujian ini. Kita sudah tinggal terpisah dari orang tua, dan… kita tidurnya satu kamar.”
“Ooh..”
Hanya itu saja yang keluar dari mulut Kiara. Sepertinya benar otaknya sudah terkontaminasi karena sering membaca novel online dengan tema perjodohan atau nikah paksa. Di mana sang pria berkarakter jutek, nyebelin, membuat kontrak selama pernikahan, tidur terpisah tapi ujung-ujungnya bucin.
“Kalian langsung dikasih rumah gitu?” kali ini giliran Abel yang bertanya.
“Bukan dikasih tapi dikontrakin rumah selama setahun. Tahun depan, kita yang harus bayar kontrakannya. Jadi dikasih modal dulu buat kumpulin uang selama setahun.”
“Suami kamu kerja di mana?”
“Di restoran.”
Alya sengaja tidak mengatakan kalau Evan juga bekerja sebagai dosen luar biasa di kampus ini. Dia takut kalau dua gadis yang baru dikenalnya ini menyukai suaminya. Kalau dia diterima masuk ke kampus ini, aman. Alya akan bisa mengawasi suaminya juga. tapi kalau gagal, bahaya.
“Eh, Al. Kamu kenal ya sama dosen yang ngawas di kelas kita tadi,” tanya Abel tanpa basa-basi.
Salah satu tujuan Abel berkenalan dengan Alya, adalah untuk mencari tahu tentang Gelar, dosen tampan yang tadi mengawasi jalannya ujian dan sukses membuyarkan konsentrasinya beberapa saat.
“Oh itu bang Gelar, temannya suamiku.”
“Serius? Wow sepertinya kita memang dipertemukan oleh semesta.”
“Maksudnya?”
“Al.. lo percaya ngga cinta pada pandangan pertama?”
“Percaya aja sih.”
“Nah itu yang gue rasain sekarang.”
“Preeett,” sambar Kiara.
“Sirik aja, lo! BTW pak Gelar udah nikah atau belum?”
“Belum.”
“Yess!! Kalau pacar?”
“Setahuku juga belum.”
“Yess lagi!!”
“Tapi.. setahuku dia juga lagi suka sama cewek lain.”
“Bhuahahaha… layu sebelum berkembang.”
Kiara tertawa puas mendengar jawaban Alya. Berbeda dengan Abel yang langsung mendung. Cintanya yang baru muncul, kini harus layu sebelum berkembang. Alya hanya tertawa saja melihat reaksi Abel. Bagaimana pun juga, dia lebih setuju Gelar bersama sahabatnya, Nana.
Ketiganya meneruskan pembicaraan. Kali ini mereka membicarakan tentang rencana kuliah. Ketiganya berharap diterima di kampus ini dan kalau bisa berada satu kelas bersama. Baik Kiara maupun Abel merasa cocok berteman dengan Alya. Selain cantik, Alya juga ramah dan enak diajak bicara.
Tiba-tiba saja datang dua orang lelaki menghampiri meja mereka. Kiara mengenali dua lelaki tersebut, mereka tadi berada satu kelas saat ujian saringan masuk. Tanpa meminta persetujuan, kedua lelaki tersebut langsung duduk di bangku yang Alya tempati, membuat gadis itu menggeser duduknya.
“Kita ikut di sini, ya. Semua meja udah penuh,” ujar salah satunya beralasan.
“Kita tadi satu kelas,” jelas yang satunya lagi.
“Iya, gue lihat kalian kok tadi,” jawab Kiara.
“Kenalin, gue Mario.”
“Gue Dandi.”
“Kok namanya mirip sama yang kena kasus ya kalau disatuin, hihihi..” komen Kiara.
Mario yang awalnya tidak mengerti langsung tertawa ketika tahu maksud pembicaraan gadis di depannya. Seperti halnya Abel dan Kiara, Mario juga Dandi berteman sejak SMA. Mereka juga memutuskan kuliah di kampus yang sama dan mengambil jurusan yang sama pula.
“Kalau kalian siapa?” tanya Dandi.
“Gue Abel, ini Kiara, ini Alya,” Abel memperkenalkan dirinya dan juga kedua temannya.
“Hai, Al,” sapa Mario dengan wajah menggoda. Wajar saja kalau pria itu langsung menyapa Alya, karena dialah yang terlihat paling cantik di mata Mario.
“Jaga ya tuh mata. Alya udah ada yang punya,” seru Abel.
“Pacar?”
“Suami.”
Mulut Mario langsung terbungkam. Gadis yang menarik perhatiannya sejak di dalam kelas tadi, ternyata sudah ada pemiliknya. Dia harus putar arah dan mencari gebetan lain karena tidak mau menyandang gelar pebinor di belakang namanya.
“Sama Kiara atau Abel aja. Mereka masih available kayanya,” ujar Alya.
“Ih males. Kalau dia seganteng pak Gelar sih ngga apa-apa,” jawab Abel.
“Pak Gelar, siapa?”
“Yang ngawas ujian tadi.”
“Ck.. percuma ganteng kalau dianya kaga ngelirik elo.”
“Hahaha..”
Ternyata Mario dan Dandi adalah sosok pria yang menyenangkan. Kelimanya langsung terlibat perbincangan seru. Abel yang paling cerewet dan bocor langsung nyambung dengan obrolan kedua pria ini. Sedang Alya lebih banyak menyimak sambil mengirimkan pesan pada Evan untuk menjemputnya.
“Sekarang ngga ada ospek kan?” tanya Dandi.
“Ngga ada. Ospek kan udah dihapus, soalnya banyak kejadian ngga benar.”
“Tapi sebagai gantinya katanya ada sih. Ngga ekstrim sih, cuma buat tanda aja kalau kita mahasiswa baru,” terang Mario.
“Apaan tuh?” tanya Kiara penasaran.
“Gue ngga tau. Tahun kemarin, semua maba fakultas ekonomi disuruh bawa bukunya dengan tempat lain sebagai wadahnya, bukan tas, selama seminggu.”
“Kaya gimana contohnya?”
“Ada yang bawa keranjang belanjaan, ada yang pake kantong keresek, ada yang pake dus, pokoknya macem-macem deh. Nah kalau tahun ini gue ngga tau juga. Tapi gue yakin sih. Pasti nyentrik dan bikin malu.”
“Hahaha…”
Tak ayal Alya ikut tertawa mendengarnya. Dia jadi penasaran juga. Kira-kira apa aturan yang diterapkan senior mereka untuk menandai kalau mereka adalah mahasiswa baru. Wanita itu terlonjak ketika mendengar ponselnya berdering. Ternyata Evan yang menghubunginya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Kamu di mana, Al?”
“Aku di kantin, mas. Mas di mana?”
“Aku udah sampe. Kamu tunggu aja di sana.”
“Iya, mas.”
“Siapa, Al?” tanya Abel setelah panggilan Evan berakhir.
“Suami gue udah dateng.”
“Widih jadi penasaran pengen lihat suaminya Alya kaya gimana bentukannya.”
Bukan hanya Abel, tapi Kiara, Mario dan Dandi juga penasaran dengan wujud pria yang berstatus sebagai suami teman baru mereka. Tak lama kemudian Evan sampai di kantin. Tangan Alya langsung melambai pada suaminya itu. Refleks semua yang sedang bersamanya menolehkan kepala ke pintu masuk kantin.
“Itu laki lo, Al?” tanya Abel dengan mata tak berkedip.
“Iya.”
“Sumpah demi apapun. Suami lo ganteng banget. Masih ada stock satu ngga yang kaya gitu?”
Sebuah toyoran mendarat di kepala Abel, sang pelaku tak lain dan tak bukan adalah Kiara. Tapi gadis itu juga mengakui apa yang dikatakan sahabatnya. Suami Alya gantengnya ngga kaleng-kaleng. Berbeda dengan Mario dan Dandi yang tiba-tiba saja merasa seperti upil di bawah meja jika dibandingkan dengan Evan.
“Udah selesai ujiannya?” tanya Evan begitu sampai di dekat meja.
“Udah, mas.”
“Ayo.”
“Aku pulang dulu, ya. Mudah-mudahan kita diterima dan satu kelas. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Abel dan Kiara tanpa melepaskan tatapannya dari Evan, begitu juga Mario dan Dandi.
“Mereka kenapa?” tanya Evan bingung sambil melangkah meninggalkan kantin.
“Aneh aja lihat bule masuk kampus, hahaha,” jawab Alya asal.
“Bisa aja kamu.”
Keduanya segera melangkah menuju parkiran motor. Beberapa mahasiswi yang dilintasi oleh Evan, tak bisa menahan pandangannya untuk tidak melihat pria itu. Tapi Evan nampak tidak peduli, dia malah merangkul bahu Alya.
“Itu yang tadi nongkrong bareng kamu di kantin, siapa?”
“Teman satu kelas yang ujian bareng aku tadi.”
“Kamu bilang siapa aku?” tanya Evan lagi sambil memakai helmnya.
“Aku bilang mas, kakak aku.”
“Apa?!” tanya Evan kesal.
“Bercanda, mas. Ngga usah sewot gitu, hehehe. Aku bilang kok kalau udah nikah. Mereka tau kok, mas suami aku.”
“Awas aja kamu kalau ngaku masih single.”
“Emang mas mau ngapain kalau aku ngaku masih single?” tantang Alya.
“Aku bakal bikin kamu melendung.”
“Ish..”
Sebuah pukulan pelan mendarat di punggung Evan. Alya segera naik ke belakang suaminya. Dan tak lama kendaraan roda dua itu meluncur pergi. Alya memilih duduk menyamping, karena mengenakan gamis. Dia memeluk erat pinggang Evan seraya menyandarkan kepalanya ke punggung sang suami. Sebuah senyum tercetak di wajah Evan.
☘️☘️☘️
Evan udah panik aja, wkwkwk...
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/