NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:371
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 — Hari Santai

SUASANA Sabtu pagi di rumah Adrian terasa lebih santai. Adrian, Dianti dan Larisa baru saja selesai jogging—dan mereka menikmati sarapan di dapur tanpa tergesa. Udara yang masuk lewat jendela membawa sisa kesegaran pagi. Tak ada yang terburu-buru. Tak ada yang takut terlambat ke sekolah. Atau telat ke kampus.

Namun ketenangan dapur sedikit terusik dengan kehadiran Davin. Dia muncul di dapur sambil menyeringai lebar. Rambutnya tampak agak acak-acakan seperti baru saja melewati malam yang begitu panjang—dan ransel besar tersampir di pundaknya.

“Selamat pagi semua,” sapanya ringan—dan tanpa permisi dia mengambil sopotong roti panggang dari tangan adiknya.

“Hei!” protes Larisa kesal. “Lihat, Ma! Apa Risa yang suka bikin kacau di rumah ini?”

Dianti cepat-cepat mengganti roti panggang di tangan Larisa yang masih menggantung di udara—sebelum putrinya meracau tentang “hidup yang tak pernah damai” dan “kakak yang layak diasingkan ke Antartika.” Lalu dia menoleh pada putranya dengan senyum hangat yang justru membuat Davin merasa tak enak.

“Kamu mau ke mana, Sayang?”

“Ke rumah Rayan, Ma. Ada tugas.”

Dianti mengangguk pelan, masih tersenyum. “Ya, tentu saja. Tapi bongkar dulu isi ransel kamu, please.”

Adrian urung membawa gelas kopi ke bibirnya, lalu menoleh pada istrinya dengan alis terangkat.

Davin menatap ibunya seakan tak percaya. “Seriously, Mom?”

“Kalau kamu ingin dihukum sampai Senin pagi, nggak usah dengarkan Mama. And I’m not kidding.”

“Wah, Kak Davin kena grounded?” cetus Larisa. Ada rasa puas membayang di wajahnya seolah Davin langsung kena karma karena perbuatannya barusan.

“Aku nggak kena hukuman,” ralat Davin datar.

“Whatever. Sekalian sita ponsel, tablet dan laptopnya, Ma. Biar Kak Davin tau gimana rasanya hidup di Kutub Selatan.”

“Ada apa ini?” tanya Adrian heran.

Davin tersenyum santai pada ayahnya. “Nggak papa, Pa. Mama cuma pengen ngelakuin razia paling dramatis di dunia.”

Dianti tak menanggapi. Dia berdiri tenang sambil melipat tangan di dada. Satu per satu Davin mengeluarkan isi ranselnya ke atas meja dapur. Laptop, tablet, ponsel, kamera saku, charger, power bank dan gulungan kabel.

Davin menatap ibunya dengan santai. “Oke, Ma?”

“Kak Davin kayak pengedar narkoba,” celetuk Larisa seakan tanpa sadar.

“Risa!” tegur Dianti.

Larisa memutar bola matanya, lalu menggigit roti panggangnya dengan tak acuh. “I’m just saying it. Orang nggak akan dicurigai, kecuali dia tersangka.”

“Nggak selalu.” Davin tersenyum pada adiknya. “Bisa juga aksi edan Mama ini sebagai bukti cinta.”

Dianti tidak tersenyum. “Smart boy,” ujarnya singkat.

Davin menutup ritsleting ranselnya. “Davin pergi dulu, Pa, Ma.”

Dia lalu meluncur pergi sebelum dicegah ibunya lagi.

--

“Lo beneran nggak punya perasaan, Prof,” keluh Rayan sambil menguap lebar. Dia masih seperti berjalan dalam tidur. Rambutnya awut-awutan—dan dia hanya bertelanjang dada. “Lo kelewat pagi nongol di rumah gue. Negara kita bahkan nggak sedang berperang sama bangsa lain.”

“Sekarang udah jam sembilan, Bro,” ujar Davin datar. Dia mengeluarkan ponsel, laptop dan tabletnya.

“Tapi ini masih jam tidur gue. Sekarang weekend. Para demit aja libur hari ini.”

“Lo tidur aja lagi. Gue cuma butuh tempat yang tenang buat riset.”

“Riset apaan? Jangan bilang lo mulai terobsesi sama si Umbral ini. Mending lo fokus sama Sasha aja. Modalnya emang agak gede. Tapi dia worth it banget. Gue liat lo juga sering natap bibirnya.”

“What?”

Rayan menguap lagi. “Nggak usah pura-pura bego, Prof. Lo boleh aja jenius, tapi lo sedang berhadapan sama profesor cinta.”

Davin menyeringai kecut. “Bro, lo juga belum pernah pacaran kayak gue!”

“Ah, itu cuma soal waktu. Yang penting, semua metode dan jurus-jurus mautnya udah gue hafal di luar kepala. Coba lo ngomong serius sama Sasha, lo pasti langsung kayak cowok bego. Gue nggak.”

“Oke, Profesor Cinta, gue angkat topi. Lo sangat jago dalam urusan cinta. Sekarang gue mau konsentrasi. Boleh?”

Rayan menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. Dia berjalan ke dapur untuk mencuci wajah. Siraman air segar membuat rasa kantuknya berkurang drastis. Dia lalu memeriksa isi kulkas. Tapi seperti dugaannya, isi kulkas ludes. Semua temannya memang cuma rajin menguras semua makanan dan minuman di sana tanpa pernah berpikir untuk ikut mengisinya.

Tak lama kemudian dia muncul lagi di ruang santai keluarga sambil membawa dua gelas kopi instan. Dia meletakkan sebuah gelas di depan sahabatnya, lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi.

“Thanks,” ucap Davin tanpa menoleh.

“Kalau gue jadi lo, gue pasti nggak bakal.…”

“Tolong diam dulu, Bro,” potong Davin serius. “Coba dengerin, ini suara Umbral di kolam renang kemarin.”

“No kidding?” cetus Rayan kaget. “How…. Ah, lupain aja. Sekarang masih kelewat pagi untuk dengerin hal-hal teknis.”

“Dengerin, Bro.”

“Iya, dari tadi gue dengerin. Gila, lo bisa ngerekam suara Umbral. Nanti kita masukin ke konten, Prof.”

“Bunyinya kayak detak jantung,” gumam Davin.

“Terlalu bagus. Di telinga gue malah mirip musik fals dari neraka.”

“Kenapa dia baru muncul di kolam renang semalam?” gumam Davin sambil terus mengamati pola suara Umbral. “Kenapa dia nggak muncul di kuburan, atau di kamar mayat rumah sakit, atau di tempat-tempat lain yang pernah kita eksplor?”

“Lo nanya gue?”

“Nggak. Gue nanya sama jin yang berdiri di belakang lo.”

“Hahaha. Lucu banget.”

Davin terus menyimak gelombang bunyi Umbral. Dia masih belum tahu apakah lokasi merupakan hal yang signifikan bagi entitas nonfisik itu. Bila ya, portal Umbral tak bisa sembarangan muncul di suatu tempat. Namun hanya di tempat-tempat tertentu.

Portal? Kayak apa bentuknya? Kayak lubang aneh yang mengambang di udara? Kayak *blac**k hole*? Atau seperti apa? Dan apakah di kolam renang semalam merupakan lokasi portalnya?

“Sasha dan Elisa pergi shopping nanti siang,” ujar Rayan, sejenak membelokkan perhatian Davin dari laptop. Dia sengaja hanya mengintip percakapan para cewek di grup WhatsApp mereka. Tak ikut berkomentar apa pun. “Mall harus kita hindarin saat ini, Prof. Kita belum gajian. Lo percaya, nggak? Gue nggak dapat transferan Mama minggu ini.”

“Mungkin Tante Desi lupa.”

“Mama nggak boleh lupa soal transferan. Gue masih perlu makan di Jakarta, Prof.”

“Lo nggak minta?”

“Belum. Hmm, Naya pergi ke Bandung sama Tante Yuli. Saudara sepupunya melahirkan. Dan... Tari otw ke sini.” Rayan mengernyitkan keningnya. “Gue heran dia selalu tau kalau lo ada di sini.”

“Lo lebay, Bro.”

“Beneran. Dia cewek creepy. Dan lo musti hati-hati, menurut gue.”

“Hati-hati kenapa?”

“Mungkin dia tau cara bikin lo kehilangan akal sehat. Mungkin pake semacam pelet atau apa. Tahu-tahu kalian udah menikah.”

“Hahaha. Lucu banget.”

“Kalau aku pengen punya suami, aku pasti milihin cowok yang lebih edan dari Davin,” ujar Tari tiba-tiba muncul di ruang santai keluarga. Suaranya tenang dan datar. “Mirip kamu, Ray. Dan kamu pasti nggak bakalan bisa nolak. Trust me.”

Rayan menelan ludah. Sesaat tadi dia nyaris terperanjat karena Tari tahu-tahu muncul di hadapannya seperti jatuh begitu saja dari langit-langit rumahnya. Tapi sekarang dia merasa setengah ngeri karena mendengar kata-kata gadis itu. Untuk pertama kalinya, dia merasa keder mendengar ancaman seorang cewek.

--

Tari menghempaskan tubuhnya di sofa tanpa suara. Dia tahu ucapannya barusan menghantam logika Rayan—dan tampaknya Rayan bahkan setengah percaya bahwa dia punya kemampuan magis untuk mempengaruhi emosi dan pikiran cowok yang diinginkannya. Padahal tidak.

“Suara apa itu?” tanya Tari sambil mengernyitkan alisnya. “Rasanya aku pernah dengar.”

“Memang,” sahut Davin. “Ini suara Umbral.”

Wajah Tari sedikit menegang. “Oh, pantesan suaranya agak familiar. Nggak sama, sih. Tapi ada nada yang kayak pernah aku dengar.”

“Manusia normal hanya bisa dengar di rentang 20 Hertz sampai sekitar 20 kilohertz,” jelas Davin. “Suara yang terekam di kolam renang kemarin… berada jauh di atas batas itu, masuk ke wilayah ultrasonik. Biasanya, frekuensi ultrasonik ini dipakai atau dimiliki hewan tertentu—kelelawar, lumba-lumba, bahkan beberapa jenis paus—untuk navigasi dan komunikasi. Suara Umbral ini nggak cocok dengan pola yang ada di database biologis. Frekuensinya berada di kisaran 40 sampai 55 kilohertz. Itu angka yang mustahil diproduksi oleh manusia, dan sulit dijelaskan secara ilmiah. Dia bukan hanya fenomena suara biasa, tapi sesuatu yang bekerja di luar logika akustik yang kita kenal. Yang bikin aku takjub, lo bisa dengar itu, Ri.”

Tari nyaris tak memberi reaksi apa-apa. Dia hanya menatap Davin agak lama—seperti ingin menyampaikan sesuatu. Davin hampir saja mengangkat alisnya. Tapi tidak jadi.

“Secara biologis, aku ngerasa kemampuan itu makin berkembang dalam diriku, Dev,” gumam Tari datar. “Bukan hanya dengar suara. Tapi juga sesuatu yang lain. Dan aku bahkan bisa ngelakuin hal-hal nggak masuk akal.”

“Hal-hal nggak masuk akal?”

“Dalam beberapa bulan terakhir, aku sering ngelakuin semacam ritual pada tengah malam—khususnya pada saat witching hour. Kamu percaya, nggak? Aku bisa manggilin Rendy datang ke kamarku.”

“Rendy adik lo itu?”

“Ya.”

“Ah, nonsens.”

“Aku bisa ngelakuin itu sama kamu,” ujar Tari tetap tenang. “Tapi risikonya, kamu bisa ngalamin insiden fatal di jalan. Kamu kayak dalam pengaruh sihir.”

“Gila. Jadi, secara fisik gue dikuasain?”

Tari tersenyum kecil. “Bukan cuma fisik. Tapi juga psikologis.”

Rayan tampak makin gelisah di kursinya. “Oke, gue mau mandi dulu. Nanti gue mau pesan makanan. Lo doyan pizza, Ri?”

Tari nyengir lebar. “My favorite food. Tapi yang spesial. lho.”

“Tentu saja yang spesial. Emangnya gue kere?” gerutu Rayan sambil berjalan ke kamarnya.

Davin dan Tari saling bertukar pandang, sambil susah-payah menahan ledakan tawa mereka.

“Menurut kamu, dia percaya?” bisik Tari geli.

Davin hampir gagal menahan tawanya. “Tentu saja dia percaya. Lo malahan bikin dia shocked. Dia pasti nggak berani ngomong sembarangan lagi di depan lo.”

Tari tertawa kecil. Mana mungkin dia punya kemampuan magis seperti itu? Hhh, emangnya dia keturunan vampire?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!