NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 — Deadly Pool

PADA istirahat kedua, Sasha menyantap makan siang di kantin sekolah bersama Tari, Naya dan Elisa. Mereka duduk di meja yang agak menyudut dekat jendela. Suasananya hampir sama riuhnya seperti istirahat pertama. Suara obrolan para siswa dan dentingan sendok memenuhi udara.

Tak lama kemudian Davin dan Rayan bergabung dengan mereka. Keduanya membawa piring dan gelas masing-masing. Hanya ada satu kursi yang kosong. Rayan membiarkan Davin mengambil kursi itu. Dengan sigap dia menarik kursi dari meja lain yang kebetulan tak berpenghuni ke samping Naya—dan duduk di situ.

Elisa langsung waspada ketika menangkap seringai lebar Rayan—dan seolah tanpa sadar dia menutup piring dengan telapak tangan seperti anak kecil yang menolak makan sayur. Dia seakan takut kalau sayap ayamnya diserobot Rayan lagi.

Rayan mengangkat paha ayamnya ke depan wajah Elisa seolah memamerkan sebuah trofi. “Rileks, Lis,” katanya setengah geli. “Paha ayam gue lebih gede.”

Elisa mendengus pelan. “Kalau lo kleptomania,” gumamnya datar, “lo tetap doyan nyuri punya orang.”

“Wah, berarti lo nggak ikhlas soal telur rebus di taman tadi. Padahal gue bilang lo the best, lho.”

“Elisa kayak gajah,” celetuk Sasha sambil tertawa. “Dia ingat terus kesalahan kecil kamu sampai tahun depan.”

Rayan hanya menyeringai tanpa rasa berdosa. Dia mengambil sendok dan garpu, lalu menyantap nasi sopnya dengan lahap. Setelah beberapa suapan, dia merogoh ponselnya.

“Gue baru aja dapat bad history tentang kolam renang angker itu dari fans yang ngasih challenge,” ujarnya. “Biar gue kirim chatting-nya ke grup, jadi semua bisa baca. Monggo. Read and weep.”

Mereka meraih ponsel masing-masing, kecuali Naya dan Elisa.

“Gue nggak mau baca,” ujar Elisa setengah tak acuh.

“Aku nggak pernah mau baca,” timpal Naya datar. “Mendingan aku nggak tahu ketimbang aku nyesel datang ke kolam itu.”

Sasha membaca deretan obrolan yang diteruskan Rayan ke grup. Dia memegang ponsel di tangan kirinya—sedangkan tangan kanannya menggenggam sendok. Pelan-pelan ekspresinya berubah—dan suapannya terhenti.

Menurut cerita yang beredar di tengah warga sekitar, kolam renang tua itu berdiri bagai monumen muram di kawasan perumahan yang sudah lama ditinggalkan. Tragedi demi tragedi menempel pada tempat itu seperti noda darah yang tak bisa hilang.

Sekitar tiga belas tahun lalu, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun ditemukan tak bernyawa di kolam dangkal khusus anak-anak. Air hanya setinggi lutut orang dewasa, tapi entah bagaimana dia bisa mati lemas. Dan kebetulan gadis cilik itu adalah cucu pemilik kolam renang.

Beberapa saksi mata mengatakan bahwa mereka melihat badannya mengapung dan wajahnya pucat. Kejadian yang tidak masuk akal, menurut mereka, karena airnya dangkal sekali.

Sejak saat itu, kolam renang resmi ditutup. Namun kejadian-kejadian lain justru makin menjadi.

Sasha mengangkat wajahnya dengan mata melebar. “Astaga, anak bego ini baru ngasih tahu sekarang? Setelah kita pergi ke sana?”

“Makanya gue bilangin nggak usah sok jago,” gumam Elisa tanpa menoleh. Tapi, meskipun dia tak ikut membaca, dia ikut merasa berdebar.

“Baca aja sampai tuntas,” ujar Rayan enteng, sambil terus menyuap nasi sopnya. “Baru nanti kita nangis bareng.”

Davin berusaha tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel—karena dia merasa Sasha sedang menatapnya. Mungkin ingin mengukur seberapa parah ekspresi kecut pada wajahnya—atau karena alasan lain.

Tragedi berikutnya lebih miris. Beberapa tahun setelah kolam ditutup, sepasang remaja belasan tahun ditemukan kaku di bangku tribun. Posisi mereka saling berpelukan—dan wajah mereka membeku dengan ekspresi ketakutan.

Salah seorang warga mengatakan bahwa ekspresi mereka seperti baru melihat sesuatu yang tak bisa ditanggung oleh manusia, Tidak ada luka. Tidak ada darah. Tapi bau amis samar tercium di udara.

Empat-lima tahun lalu, seorang bocah laki-laki berusia dua belas tahun hilang tanpa jejak. Dia terakhir kali terlihat sedang bersepeda melewati halaman depan gedung. Hingga kini, tubuhnya tak pernah ditemukan.

Beberapa ahli spiritual berkata bahwa anak itu tak perlu dicari lagi. Anak itu sudah ditarik ke dunia sebelah kata mereka. Namanya sudah dihapus dari dunia ini.

Di sebuah rumah sederhana sekitar dua ratus meter dari lokasi, seorang gadis berusia dua puluh satu tahun ditemukan gantung diri di kamarnya. Tidak ada surat. Tidak ada alasan yang jelas. Warga percaya arwah penghuni kolam renang menuntut jiwa-jiwa di sekitarnya. Sejak saat itu rumah-rumah di area itu dijual murah. Namun tak seorang pun mau membelinya.

Tak berapa lama warga setempat kembali dihebohkan dengan tragedi lain. Seorang lelaki baya, penjaga malam yang baru seminggu bekerja di sana, ditemukan terbujur kaku dekat kolam dalam. Matanya terbuka, mulut sedikit menganga, wajahnya seakan membeku dalam jeritan terakhir. Anehnya, tubuhnya baru ditemukan dua hari setelah dia meninggal. Padahal patroli polisi sudah mengecek malam sebelumnya.

Banyak warga sekitar mengaku mendengar suara anak-anak berlarian, cipratan air, dan tawa kecil dari arah kolam pada tengah malam. Seorang ibu muda bercerita bahwa dia pernah mendengar suara bola jatuh ke air. Padahal kolam itu sudah bertahun-tahun kering.

Sekitar satu tahun lalu, seorang pemuda pernah nekat masuk untuk membuat konten video. Dia sempat merekam siluet hitam melintas di ruang loker. Padahal dia sendirian di situ.

Beberapa jam kemudian, dia mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dan tewas seketika.

Sasha menutup mulutnya dengan telapak tangan. Selera makannya buyar entah ke mana.

“Ya Tuhan, untung kemarin kita bisa pulang dengan selamat,” desisnya ngeri. Dia menatap Davin. “Kamu… nggak takut?”

“Kalau Prof D takut,” ujar Rayan nyaris tanpa ekspresi, “vlog kami nggak sampai episode tiga belas.”

Davin hanya sedikit mengangkat bahu—tidak menanggapi.

“Apa juga gue bilang?” celetuk Elisa sambil melap bibirnya dengan tisu. “Mereka cowok fearless. Dan cowok-cowok kayak mereka nggak ngerti cinta.”

“What?” cetus Rayan antara kaget dan kecut. “Apa hubungannya aksi kami dengan cinta?”

Elisa kembali mendengus. “Nanti lo akan ngerti sendiri setelah dewasa.”

Rayan menoleh ke arah Davin dengan senyum ditahan. “Lo ngerti maksudnya, Prof?”

Davin menyisihkan piringnya yang sudah kosong. “Nggak.”

“Perlu kita pahami?”

“Mungkin nggak. Karena Elisa sendiri nggak ngerti maksudnya.”

Tawa mereka pecah.

Sasha merasa sedikit plong setelah tertawa. Tragedi berdarah itu memang tak begitu mencekam karena hanya dia dengar dalam cerita urban.

Dia melirik Davin. Dia bisa bercanda. Tapi kenapa kalau di depanku dia cuma lancar bicara hal-hal teknis?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!