"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Kisah Pahit
"I'm sorry."
Mark memeluk Jessy seraya memberikan ciuman di dahi. Ia menyadari dirinya telah kelewatan mengajak Jessy bercinta saat hubungan mereka tidak baik-baik saja.
Jessy masih menangis. Selain menahan kesakitan, ia juga menanggung rasa bersalah yang begitu besar kepada Ibu Magda dan Justin. Mark mengatakan tidak akan pernah mau melepaskannya.
"Tolong, jangan pernah berpikir untuk pergi. Aku bisa gila kalau kamu tinggalkan, Baby."
Wajah Mark tampak memelas, membuat orang yang melihatnya tak akan betah untuk lama-lama marah padanya. Sorot mata Mark terlihat tulus bahwa ia benar-benar takut kehilangan dirinya.
"Seumur hidup, baru kali ini aku menginginkan sesuatu untuk diriku sendiri, yaitu kamu ... Aku hanya menginginkanmu, Jessy." Mark menyibakkan helaian rambut yang menutupi wajah Jessy.
"Why me?" tanya Jessy. Ia masih menitihkan air mata.
"I don't know. Aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu. Sejak kamu menumpahkan minuman ke bajuku, aku sudah menyukaimu."
Setiap mengingat tubuh kokoh yang saat ini ada di hadapannya, perasaan bersalah di hati kian bertambah. Sosok lelaki sempurna itu seharusnya akan menjadi ayah mertuanya jika hubungan dengan Justin berjalan dengan lancar. Tanpa ia tahu, selama ini ia telah memberikan tubuhnya kepada lelaki itu.
Ia tidak pernah menyangka, pertemuan dengan Mark di London akan membawanya pada hubungan yang sangat rumit. Hubungan yang tidak bisa dibenarkan baik di mata dunia maupun di mata Tuhan sekalipun.
"Inilah alasan kenapa aku tidak pernah mengatakan kalau aku tahu kamu murid istriku," kata Mark.
"Itu sangat keterlaluan, Pak. Diam-diam saya tidur dengan suami dosen saya sendiri. Hahaha ... Betapa kurang ajarnya saya sebagai seorang mahasiswa." Jessy menertawakan perbuatannya sendiri.
"Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Kita melakukan hal ini atas kemauan sendiri. Aku akan tetap merahasiakannya agar kamu merasa nyaman."
Jessy menggeleng. "Semua tidak akan sama lagi, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan ini. Anda harus berhenti dan kembali pada keluarga yang mencintai Anda. Saya hormat dan sayang pada Ibu Magda. Saya tidak bisa merebut kebahagiaan dari orang yang saya sayangi."
Mark tidak menyukai perkataan Jessy. "Apa kamu tidak menyayangiku? Kamu sama sekali tidak peduli padaku? Kamu tidak peduli perasaanku? Apa aku juga bukan orang yang penting bagimu?"
"Pak, bukan begitu ...," bantah Jessy.
Setelah mewati kebersamaan selama beberapa bulan, tentu saja muncul rasa sayang dan peduli Jessy kepada Mark. Ia tahu Mark bukan orang yang jahat, bahkan memperlakukannya dengan sangat baik.
"Saya mengatakan hal ini karena peduli. Anda harus kembali kepada keluarga dan hidup bahagia," kata Jessy.
"Bagaimana kamu menginginkan aku bahagia tapi menyuruhku meninggalkanmu? Sementara hal yang membuatku bahagia adalah dirimu, Jessy. Aku mencintaimu." Mark juga tampak bersedih mendengar keinginan Jessy.
"Mungkin Bapak hanya salah mendeskripsikan hubungan kita sebagai cinta. Bapak tidak mencintai saya, ini hanya sekedar hasrat Bapak terhadap saya." Jessy mengelak dari pengakuan perasaan yang baru saja Mark utarakan.
"Kalau hanya butuh pelampiasan hasrat, aku bisa melakukannya dengan wanita manapun yang aku mau. Bahkan wanita yang orang kenal sebagai istriku, aku tidak pernah menyentuhnya. Wanita yang pernah aku tiduri hanya kamu dan itu karena aku menyukaimu."
Jessy melebarkan mata mendengar penjelasan Mark. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku tidak mencintai istriku!" tegas Mark.
Jessy mengingat kembali awal kebersamaan mereka. Pantas saja waktu itu Mark mengatakan tidak ada penyesalan dan rasa bersalah jika berselingkuh di belakang istrinya. Ternyata ada masalah dalam hubungan antara Ibu Magda dan Mark.
"Justin?" tanya Jessy.
"Ya, aku tahu kamu pasti akan menanyakannya," tebak Mark. "Cukup panjang kalau ingin diceritakan. Sebenarnya dia adalah keponakanku," lanjutnya.
Jessy masih bingung dengan cerita Mark.
"Aku rasa Justin itu seusiamu. Selisih umur kami 13 tahun, apakah wajar saat aku berusia 13 tahun telah memiliki anak?"
Jessy mangguk-mangguk. Memang aneh jika Justin adalah anak Mark.
"Justin anak kakakku, Michael Jonathan. Setelah lulus SMA, kakakku menghamili seorang wanita bernama Magdalena Wilson, dosenmu. Mereka dinikahkan saat berusia 18 tahun dan lahirlah Justin. Tidak ada masalah apapun dalam pernikahan mereka, kedua keluarga juga mendukung. Akan tetapi, 5 tahun kemudian, kakakku meninggal karena kecelakaan."
"Keluarga Wilson tidak rela anaknya menjanda di usia yang sangat muda. Mereka memintaku yang saat itu masih 18 tahun untuk menikahi kakak iparku menggantikan kakakku. Aku tidak bisa menolak karena perusahaan keluargaku sangat bergantung dengan suntikan dana dari perusahaan mereka."
"Kamu mungkin tidak tahu rasanya dipaksa menjadi seorang suami sekaligus ayah di usia yang sangat muda."
Jessy melihat raut kesedihan di mata Mark saat menceritakan kisah itu. Ia terhanyut dalam perasaan yang Mark rasakan. Digenggamnya tangan Mark untuk menguatkan.
"Setelah menikah, aku menghabiskan waktuku di London untuk berkuliah dan bekerja. Aku hampir tidak pernah tinggal bersama Magda. Kami hanya sesekali bertemu di acara-acara penting untuk menunjukkan bahwa hubungan keluarga Jonathan dan keluarga Wilson masih baik-baik saja."
"Aku kehilangan masa mudaku dan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk jatuh cinta. Sampai akhirnya aku bertemu denganmu, Jessy,"
"Kalau kamu bertanya kenapa waktu itu aku menerima tawaran gilamu sebagai sugar daddy, jawabannya karena kamu orang pertama yang membuatku bisa jatuh cinta."
Jessy tak bisa berkata-kata. Ia bingung ingin menyalahkan Mark atau tidak.
"Hubungan kita tetap salah, Pak. Ini harus diakhiri," kata Jessy.
"Apa yang harus aku lakukan agar kamu tetap di sisiku? Haruskah aku bercerai?" tanya Mark.
"Pak ...."
Bukan hal itu yang Jessy mau. Mengakhiri pernikahan yang telah lama terjalin bukanlah perkara mudah, apalagi pernikahan itu melibatkan dua keluarga besar dan dua perusahaan besar.
"Sebenarnya aku tidak peduli jika hubungan ini terkuak. Aku hanya berusaha melindungimu agar tidak tersakiti oleh orang-orang di luar sana."
Jessy terdiam sejenak. "Apa Bapak juga tahu, siapa pacar saya?" tanyanya.
Mark memasang wajah ingin tahu. Sejak lama ia penasaran dengan lelaki yang diakui Jessy sebagai pacarnya. Bahkan, ia sempat menyuruh orang untuk mencari tahu siapa pacar Jessy. Hasilnya nihil, tidak ada yang tahu lelaki yang Jessy cintai.
"Siapa?" tanya Mark.
"Justin," jawab Jessy lirih.
Mark seketika merasa lidahnya kelu. Ia tidak menyangka jika lelaki yang Jessy sukai adalah keponakannya sendiri.
"Hah! Ini tidak mungkin," kekeh Mark. Rasanya tidak mungkin ia bersaing dengan keponakannya sendiri memperebutkan cinta Jessy.
"Makanya, Pak. Hubungan yang sangat tidak pantas ini harus kita akhiri. Akan ada banyak orang yang tersakiti jika kita meneruskannya," pinta Jessy seraya bangkit dari ranjang menuju ke arah kamar mandi.
Sementara, Mark masih termenung memikirkan Justin. Ia begitu menyayangi keponakannya. Bahkan, salah satu alasan ia bertahan dengan pernikahan itu adalah untuk Justin sampai akhirnya anak itu kelak bisa meneruskan perusahaan milik ayahnya.
realistis dunk