Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Keheningan menyelimuti ruangan ini selama beberapa menit. Aku tak bisa menyangkal apa yang di katakan oleh Mas Agam.
Entah dari mana dia bisa tau kalau aku memiliki perasaan yang berbeda setiap kali kita bersama.
Padahal sebisa mungkin aku menutupinya dengan bersikap biasa saja di depan Mas Agam. Aku juga berusaha untuk menepis perasaan itu karna sadar bahwa itu adalah sebuah kesalahan.
“Lalu bagaimana dengan Mas Agam.?” Tidak tau mendapat keberanian dari mana, bukannya mencari jawaban untuk menyangkal ucapan Mas Agam, aku malah menanyakan tentang perasaannya padaku.
"Biasanya wanita lebih peka soal perasaan." Ucapnya kemudian mengukir senyum tipis.
"Aku rasa kamu udah tau jawabannya tanpa perlu aku jawab." Tatapan Mas Agam berubah teduh dan dalam. Aku bisa mengartikan tatapan itu, karna sering mendapatkannya dari Mas Dirga.
Sepertinya aku dan Mas Agam memang memiliki perasaan yang sama. Kebersamaan dan interaksi di antara kami berdua telah menumbuhkan rasa di hati masing-masing. Terlebih, baik aku ataupun Mas Agam, kita sama-sama sedang merasa di kecewakan oleh pasangan.
"Tapi perasaan kita jelas salah Mas." Aku menunduk dan menggigit bibir bawah. Segala perasaan seketika berkecambuk. Rasa takut, cemas, gugup dan malu terasa bercampur jadi satu. Karna obrolan kali ini sudah menjurus soal hati.
Seandainya aku dan Mas Agam masih sama-sama sendiri, mungkin aku tak akan merasa cemas dan takut saat kami membahas soal perasaan.
"Aku tau, Bia." Sahutnya lirih. Mas Agam perlahan menyentuh tanganku dan menggenggamnya di atas pangkuanku.
"Jangan di paksa kalau memang nggak sanggup lagi menahan sakit dan kecewa. Lepaskan Dirga, aku siap menjadi penggantinya." Mas Agam begitu serius menatapku.
Sekarang aku mengerti kenapa Mas Agam selalu mencari cara agar bisa berduaan ku. Bahkan saat ini Mas Agam menjadikanku sebagai sekretaris pribadinya.
Dia mendekati ku bukan untuk membalas rasa sakit hati dan kecewanya terhadap Mbak Karina tapi lebih mengikuti perasaannya terhadap ku.
Berbeda denganku yang memiliki pikiran untuk membalas pengkhianatan Mas Dirga dengan sebuah pengkhianatan lagi.
“Aku memang sempat berfikir untuk melepaskan Mas Dirga, tapi belum berfikir untuk mencari penggantinya."
"Aku hanya kecewa dan ingin membalasnya saja dengan cara yang sama." Ujarku seraya menarik perlahan tanganku dari genggaman Mas Agam.
Hati dan pikiran tidak bisa sejalan. Rasanya tidak mampu untuk melakukan pengkhianatan meski ingin memberikan rasa sakit yang sama pada Mas Dirga.
"Untuk apa membalasnya.?"
"Apa kamu berharap Dirga akan sakit hati setelah kamu membalasnya dengan perselingkuhan juga.?" Tanyanya dengan senyum yang seolah mengejekku.
"Iya kalau Dirga sakit hati. Tapi gimana kalau Dirga malah tertawa bahagia karna pengkhianatan kamu bisa di jadikan alasan olehnya untuk bercerai dan agar dia bisa bersatu dengan selingkuhannya."
Penjelasan logis dari Mas Agam seketika membuatku sadar betapa bodohnya aku yang tidak berfikir sejauh itu.
Bahkan Mas Agam saja yang tidak membalas perselingkuhan Mbak Karina, bisa di tinggalkan begitu saja dan terang-terangan memilih selingkuhannya di banding suaminya sendiri yang selama ini sudah setia padanya.
Sekarang aku jadi semakin bingung harus bagaimana menyikapi perselingkuhan yang di lakukan oleh Mas Dirga.
Seandainya bertanya langsung dan menunjukkan bukti yang aku miliki, belum tentu juga Mas Dirga akan mengakuinya. Dia terlalu hebat dalam mencari seribu alasan. Salah satunya alasan untuk membohongiku selama ini.
...****...
Saat ini aku sedang fokus mempelajari berkas di meja kerjaku. Meja yang masih satu ruangan dengan Maa Agam, hanya saja di beri pintu dan tembok kaca sebagai pembatas. Jadi aku bisa melihat Mas Agam di mejanya meski dengan jarak yang lumayan jauh.
3 jam yang lalu obrolan kami berakhir setelah seseorang mengetuk pintu ruangan. Saat itu juga aku langsung pindah duduk ke sofa seberang. Dan tak berselang lama seorang pria paruh baya masuk ke dalam ruangan. Pria yang ternyata bernama Airlangga, orang tua Mas Agam.
Ternyata pesona dan kharisma yang dimiliki oleh Mas Agam merupakan turunan dari sang Papa.
Karna di usia Pak Airlangga yang sudah di atas 50 tahun, beliau masih memiliki pesona dan kharisma yang cukup kuat.
Tapi Pak Airlangga lebih berwibawa saat bicara, dia juga orang yang sangat serius.
Berbeda dengan Mas Agam yang sedikit nyeleneh saat di rumah, walaupun dia juga tampak. berwibawa saat berbicara dengan Papanya.
fokusku langsung pecah saat ponselku bergetar.
Ponsel yang aku letakan di atas meja kerjaku, sengaja hanya dibuat bergetar agar tidak terlalu mengganggu jika ada yang menelfon ataupun mengirim chat.
Aku reflek menoleh Mas Agam setelah melihat nama Mas Agam tertera di layar ponselku.
Tapi saat menoleh, pria itu tampak sedang menatap laptop di depannya.
"30 menit lagi jam makan siang."
"Kamu mau makan apa.? Biar aku pesankan sekalian."
Setelah membaca pesan dari Mas Agam, aku kembali menoleh. Tapi posisi Mas Agam masih tetap sama seperti tadi.
"Makasih Mas. Nanti Bia mau makan di kantin aja."
Ku kirim jawaban pesan dari Mas Agam sembari menatap ke arahnya. Kali ini Mas Agam meraih ponsel, aku tau dia sedang membaca balasan chat yang aku kirimkan padanya.
"Makan di sini, Bia. Temani aku makan.!"
Aku baru saja membaca balasan dari Mas Agam. Dia sampai menyematkan tanda seru di akhir kalimat. Kalau sudah seperti itu, aku pasti tidak boleh menolaknya.
...****...
Makanan sudah tertata di atas meja. Mas Agam rupanya memesan makanan dari salah satu restoran terdekat. Mas Agam tampak santai saja dan menikmati makanan pertamanya. Sementara aku merasa sangat canggung dan gelisah.
"Dari pagi kita nggak keluar ruangan ini. Gimana kalau karyawan lain berfikir macam-macam sama kita.?" Aku memberanikan diri mengutarakan hal yang membuatku gelisah sejak tadi.
Itulah kenapa aku menolak tawaran Mas Agam dan berniat pergi makan sendiri ke kantin. Agar orang-orang tidak berfikir macam-macam padaku. Apalagi aku sangat yakin kalau semua karyawan disini tau kalau aku bisa menjadi sekretaris tanpa ada proses apapun. Hal itu saja sudah pasti menimbulkan kecurigaan di pikiran mereka.
"Peduli apa sama pikiran orang lain. Lagipula mereka juga nggak akan berani bicara macam-macam tentangku." Mas Agam menjawab acuh. Tentu dia bisa bicara seperti itu karna dia pimpinan di perusahaan ini. Jadi sudah pasti mereka tak akan berani membicarakan hal buruk tentang Mas Agam. Yang ada, aku pasti akan jadi bahan omongan mereka.
"Palingan aku yang habis jadi bahan pembicaraan mereka."Sahutku pasrah. Karna dulu aku pernah mengalami hal seperti ini, dan hari itu juga aku langsung dijadikan bahan gosip di kantor.
"Nggak usah khawatir," Mas Agam mengacak pucuk kepalaku.
"Mana berani mereka membicarakan kamu. mereka masih butuh pekerjaan di sini." Ucapnya kemudian mengulum senyum.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong